Sejak periode pertama kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu getol dalam hal pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol. Namun, benarkah pembangunan infrastruktur tersebut dapat mendorong roda perekonomian seperti yang selama ini diharapkan?
PinterPolitik.com
“Good debt is powerful tool, but bad debt can kill you.” – Robert Kiyosaki, penulis buku Rich Dad, Poor Dad
Baru-baru ini, publik tengah dihebohkan dengan tantangan debat terkait utang negara dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kepada para pengkritik yang selama ini berkoar-koar di sosial media dan televisi.
Bak gayung bersambut, tantangan Luhut kemudian diamini oleh dosen senior Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Djamester Simarmata. Selaku sosok yang tidak setuju dengan kebijakan utang pemerintah, ia telah lama sebenarnya ingin menyuarakan kritiknya terkait kebijakan tersebut.
Tidak hanya Djamester, mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang juga kerap mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah – khususnya terkait utang – juga diketahui bersedia menghadiri debat yang dimoderatori oleh ProDem tersebut.
Berbagai antusiasme kemudian berdatangan dalam merespon wacana debat yang rencananya akan dihelat pada 24 Juni ini. Politisi dari Partai Demokrat Jansen Sitindaon dalam akun Twitter pribadinya misalnya, turut mengekspresikan antusiasmenya dengan menyebut akan membeli tiket langsung di pinggir “ring” debat.
Pun begitu dengan juru bicara Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin yang juga tidak ketinggalan berkomentar dengan menyebutkan Rizal Ramli mestilah memenangi debat tersebut.
Akan tetapi, cukup patut disayangkan, debat akbar terkait kebijakan utang negara ini justru batal dihadiri oleh Rizal Ramli, yang notabene merupakan pihak yang begitu dinantikan.
Di luar benar tidaknya debat ini teraktualisasi, melihat antusiasmenya, kita tentu memahami bagaimana isu terkait utang negara yang notabene digunakan untuk membangun infrastruktur begitu menarik perhatian banyak pihak.
Wih, berarti proyek ibu kota baru emang nggak ditunda ya? #infografis #politik #pinterpolitik https://t.co/ZdNSE1ycgs pic.twitter.com/E9waQICUHd
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 11, 2020
Tidak hanya saat ini, pada Pilpres 2019 lalu, isu mengenai utang negara yang terus bertambah karena pembangunan infrastruktur memang menjadi isu gorengan yang begitu mumpuni, khususnya dari kubu penantang dan oposisi pemerintah.
Lantas, apa yang dapat dimaknai dari besarnya atensi publik terhadap isu utang negara ini?
Faktor Kelekatan
Apabila kita sedikit meluangkan waktu untuk berselancar di sosial media, kita mungkin akan banyak melihat komentar “sedikit-sedikit utang” atau “pemerintah berutang terus” ketika menanggapi pemberitaan terkait utang negara.
Mengacu pada Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point, konteks terus dibiarkannya pandangan-pandangan minor terkait kebijakan utang tersebut dapat memicu suatu hal yang disebut dengan social epidemic atau epidemi sosial.
Epidemi sosial adalah penyebaran gagasan, pesan, perilaku, dan produk melalui suatu populasi dengan cara yang sama seperti penyebaran virus. Untuk terciptanya epidemi sosial ini, Gladwell menekankan konsep yang disebut dengan stickiness factor atau faktor kelekatan.
Faktor kelekatan adalah cara untuk membuat sebuah pesan begitu menular dan terus diingat, yang mana itu akan membuat pesan yang disampaikan akan memiliki dampak yang jauh lebih besar. Boleh jadi, konsep faktor kelekatan telah begitu baik dimainkan oleh oposisi, sehingga itu seolah membuat sebagian besar pihak memandang kebijakan utang pemerintah sebagai suatu bencana atau epidemi.
Sebagaimana diketahui, dengungan pihak oposisi yang menyebut bahwa pemerintah telah salah dalam berutang, ataupun terkait kebijakan pembangunan infrastruktur yang membuat utang negara membengkak, hampir setiap hari kita dengar di berbagai media. Besar kemungkinan, hal tersebut terjadi karena adanya faktor kelekatan, yang mana itu membuat isu mengenai utang negara begitu melekat di benak publik.
Akan tetapi, tentu harus dipertanyakan, benarkah pesan berantai yang berhasil disebar oleh berbagai pihak terkait pemerintah selalu berutang merupakan suatu hal yang negatif? Ataukah itu hanya merupakan sentimen negatif semata?
Di sini kadang-kadang kita merasa sedih Bu @susipudjiastuti 🙃. Mau bilang "tenggelamkan", tapi sekarang udah nggak ada lagi. Duh. #infografis #politik #pinterpolitik https://t.co/fmHyxCOnt1 pic.twitter.com/i5PyIC0BL4
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 11, 2020
Menepis Sentimen Negatif
Jika mengacu pada Frances Coppola dalam tulisannya di Forbes, terdapat prasangka keliru yang kerap kali menyelimuti dalam kebijakan utang negara. Tidak seperti prasangka atau sentimen yang menyebutkan pemerintah dapat dengan mudah mengajukan utang, Coppola menyebutkan bahwa terdapat batasan yang jelas terkait sejauh mana pemerintah dapat mengajukan utang.
Coppola juga memberi perhatian terkait adanya sentimen yang menyebutkan bahwa utang berkelanjutan (debt sustainability) merupakan indikasi yang buruk bagi suatu pemerintahan. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah yang baik sebenarnya ditandai dengan kemampuannya untuk melakukan utang secara berkelanjutan.
Untuk memahami hal tersebut kita dapat membayangkan cara kerja bank. Jika diberikan pertanyaan, kira-kira apakah bank akan memberikan pinjaman kepada pihak yang dinilai tidak memiliki pengaturan keuangan yang baik atau berpotensi gagal bayar? Tentu tidak bukan. Bank hanya akan memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang dinilai dapat mengembalikan pinjaman.
Dengan kata lain, negara yang mampu mengajukan pinjaman berkelanjutan sebenarnya menunjukkan bahwa negara terkait dinilai mampu untuk membayar.
Lebih lanjut, Coppola menjelaskan terdapat kunci yang membuat utang berkelanjutan tidak akan merugikan negara. Tegasnya, utang berkelanjutan akan baik-baik saja apabila bunga utang yang dibayarkan setiap tahunnya, sama atau di bawah produk domestik bruto (PDB).
Konteks yang disebutkan Coppola terlihat jelas dalam pernyataan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (PPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman yang menyebutkan bahwa utang Indonesia masih di batas aman karena rasio utang terhadap PDB berada di level 35 persen. Di tahun 2020 sendiri, anggaran pembayaran bunga utang mencapai Rp 295 triliun, yang mana, angka ini jauh dari PDB triwulan I-2020 yang mencapai Rp 3.922,6 triliun.
Selain itu, bagi negara yang ingin melakukan akselerasi pembangunan, alih-alih mengakumulasi dana yang dapat memakan waktu yang lama (menabung), melakukan pinjaman atau utang adalah langkah yang masuk akal untuk diambil. Upaya ini dikenal sebagai borrowing for growth.
Hmmm, ada apa dengan @pln_123 ? Katanya tahun ini ada utang jatuh tempo Rp 35 triliun ya? Uppps. #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/fmHyxCOnt1 pic.twitter.com/RfGxFgWiXh
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 11, 2020
Mengubah Paradigma Infrastuktur
Selaku negara berkembang, Presiden Jokowi tentu sadar, dalam ambisi pembangunan infrastrukturnya, pilihan berutang adalah langkah yang mesti harus diambil kendatipun kerap menerima sentimen negatif.
Keberanian Presiden Jokowi dalam mengambil kebijakan tersebut agaknya memang perlu untuk diapresiasi. Akan tetapi, apabila mantan Wali Kota Solo itu ingin memaksimalkan manfaat ekonomi yang nantinya dapat dihasilkan dari pembangunan infrastruktur, maka paradigma pembangunan infrastruktur harus diubah.
Pada periode pertama kepemimpinannya, terlihat jelas Presiden Jokowi fokus pada hard infrastructure, misalnya dengan membangun jalan tol, waduk, hingga jembatan. Tentu kita memahami rasionalisasi dari fokus ini, yakni pertumbuhan ekonomi memang memerlukan infrastruktur fisik, misalnya jalan tol untuk mempercepat distribusi barang.
Akan tetapi, akan menjadi tidak maksimal hard infrastructure yang dibangun apabila tidak disokong oleh sumber daya manusia (SDM) yang memadai bukan? Oleh karenanya, pada periode kedua ini, Presiden Jokowi perlu memberikan fokus khusus terhadap soft infrastructure, yakni pembangunan layanan yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan standar ekonomi, kesehatan, budaya, sosial, dan pendidikan. Contohnya adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Dalam tulisan yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF), disebutkan bahwa soft infrastructure adalah aspek penting yang membantu Tiongkok dalam menjaga pertumbuhannya tetap stabil dan berimbang. Ini adalah faktor yang memaksimalkan hard infrastructure yang telah masif dibangun.
Seperti halnya banyak sentimen di luar sana yang menyebut pemerintahan Presiden Jokowi seperti meniru Tiongkok, misalnya dengan meniru penerapan state capitalism. Bukankah meniru keberhasilan negeri Tirai Bambu dalam membangun soft infrastructure adalah opsi yang sudah seharusnya diambil saat ini?
Bagaimanapun juga, tentunya hal tersebut bergantung atas kebijaksanaan sang pengampu kebijakan publik di Istana sana. Kita tunggu saja, seperti apa kebijakan utang berkelanjutan ataupun pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintahan Presiden Jokowi pada periode kedua ini. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.