Site icon PinterPolitik.com

Menanti Jokowi Hindari Mao Zedong

Menanti Jokowi Hindari Mao Zedong

Mao Zedong dan Jokowi (Foto: istimewa)

Pertemuan antara Jokowi dan Prabowo yang belum terwujud menjadi gambaran masih tingginya tensi politik pasca Pilpres 2019. Namun, konteks ini bisa saja berbahaya jika polarisasi politik yang telah terjadi terakumulasi dan berujung pada gesekan yang lebih besar. Kerusuhan 22 Mei 2019 – terlepas dari tuduhan ditunggangi oleh pihak tertentu – adalah indikator yang jelas terkait dampak tersebut, hal yang bisa bertambah parah jika militer juga ikut dalam gesekan politik ini.


PinterPolitik.com

“Political power grows out of the barrel of a gun”.

:: Mao Zedong (1893-1976), founding father Republik Rakyat Tiongkok ::

Belum lahirnya konsesi politik – sering diartikan sebagai kondisi ketika pihak yang kalah mengakui secara terbuka keunggulan lawannya – pasca Pilpres 2019 memang membuat banyak pihak khawatir terkait kondisi Indonesia dalam waktu-waktu ke depan.

Pasalnya, polarisasi yang telah terjadi sejak sebelum pemungutan suara mengakar cukup dalam di masyarakat. Kerusuhan 22 Mei 2019 lalu kemudian menjadi kulminasi kondisi politik yang ada, apalagi dengan dugaan tunggangan pihak tertentu di belakangnya. Hal inilah yang membuat banyak pihak mempertanyakan jalan keluar apa yang harusnya diambil oleh elite-elite politik nasional untuk mengatasi kebuntuan politik yang ada.

Wacana cohabitation alias “politik kumpul kebo” – di mana kubu Prabowo Subianto diajak masuk ke koalisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – memang terus digalang oleh banyak pihak. Partai Demokrat disebut sebagai faksi paling awal yang mencoba mencari titik tengah kebuntuan politik ini.

Belakangan, wacana ini disebut-sebut diambil alih dan digerakkan oleh PDIP sendiri sebagai partai pemenang Pemilu 2019, sekaligus pengusung utama Jokowi. Walaupun demikian, cohabitation belum mendapatkan momentumnya, seiring masih disidangkannya gugatan kubu Prabowo yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). (Baca: Siasat PDIP, Political Twist “Kumbo”)

Jurnalis senior asal Selandia Baru, John McBeth dalam tulisan terbarunya di portal Asia Times menyinggung tentang hal ini. Dalam bahasa yang lebih general, McBeth menyebutkan bahwa belum terjadinya konsesi politik ini menunjukkan bahwa  tidak ada perdamaian yang mudah di awal periode kedua kekuasaan Jokowi.

Selain membahas secara keseluruhan arah politik kubu-kubu yang ada, ia juga menyinggung konteks yang disebutnya sebagai “disgruntled soldiers” atau ketidakpuasan yang nyatanya ada di kubu tentara. McBeth bahkan menyinggung posisi mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang disebutnya ada di sekitar gerakan militer yang mendukung Prabowo, pun dalam kaitan hubungannya dengan gerakan macam Alumni 212.

Ia juga menyinggung bagaimana kondisi ini memang menjadi ujung proses “de-Gatot-isasi” atau pembersihan pengaruh Gatot dari militer pasca dicopot dari jabatannya sebagai Panglima TNI dan pensiun dari militer.

McBeth juga menyinggung soal posisi-posisi penting di militer yang sebelumnya ditempati oleh “orang-orangnya” Gatot, kini telah beralih ke tokoh-tokoh baru, seiring tongkat komando yang kini ada di Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

Namun, menurutnya, sekalipun telah memiliki kontrol lewat Panglima TNI Hadi Tjahjanto, tantangan hubungan sipil-militer akan terus menghantui Jokowi di periode kedua kekuasaannya ini.

Konteks yang digambarkan oleh McBeth ini tentu menarik karena menjadi wajah pertautan militer dalam konteks kekuatan politik dan legitimasi pemerintahan Jokowi. Sebagai kubu yang dipandang memiliki kekuasaan atas senjata, posisi militer ini tentu menentukan posisi politik Jokowi – hal yang pernah dijadikan doktrin politik oleh Mao Zedong di Tiongkok.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah solusi apa yang akan diambil Jokowi?

Political Power out of Gun?

Sebagai pemimpin terbesar Tiongkok, Mao Zedong dikenal sebagai orang yang punya pendekatan khusus ketika berbicara tentang militer dan kekuatan politik.

Giri Deshingkar dari Institute of Chinese Studies, New Delhi menyebutkan bahwa Mao Zedong adalah satu-satunya pemimpin yang menulis secara detail doktrin politik dan militernya, sebelum Deng Xiaoping juga melakukannya di kemudian hari.

Karena militer erat hubungannya dengan senjata, maka kekuasaan politik dalam pemikiran Mao tidak bisa dilepaskan dari ujung senjata. Setidaknya hal ini bisa dilihat dalam salah satu ungkapan paling terkenal yang melekat pada sosok Mao yang berbunyi: “Political power grows out of the barrel of a gun” – kekuasaan politik bertumbuh dari ujung barel senjata.

Ungkapan ini pertama kali diucapkan Mao pada 7 Agustus 1927 dalam sebuah rapat darurat Partai Komunis Tiongkok. Di tahun-tahun selanjutnya, penggalan kata-kata itu menjadi kutipan yang identik dengan Mao.

Walaupun konteksnya untuk menekankan pentingnya pengambilalihan kekuasaan di awal-awal Republik Rakyat Tiongkok, namun kata-kata Mao itu seolah menjadi penegas kekuatan politiknya secara keseluruhan: datang dari ujung senjata.

Ini kemudian menjadi gambaran secara kesuluruhan model dan sistem pemerintahan Tiongkok di bawah kekuasaan pria yang salah satunya dijuluki sebagai “lingdao hexin” atau “pemimpin inti” tersebut. Beberapa sumber menyebut bahwa ada suatu masa ketika hanya dalam 4 tahun, tercatat sampai 45 juta orang menjadi korban politic out of the barrel of a gun ala Mao

Mao juga dituduh bertanggungjawab atas tewasnya 500 ribu orang cendikiawan dan kelompok liberal. Konteks ini tentu menarik, mengingat golongan cendikiawan dan kelompok liberal tentu saja menjadi orang-orang yang cukup terpandang di masyarakat dan punya dampak politis jika menggerakkan massa.

Sementara secara total, pemimpin yang dianggap paling berjasa untuk Tiongkok ini disebut bertanggung jawab atas meninggalnya sekitar 70 juta jiwa dan menjadikannya “pemimpin paling kejam” di dunia.

Secara moral, aksi Mao ini tentu bisa dianggap sebagai hal yang kejam. Namun, dalam kaca mata politik kekuasaan, ini adalah cara yang efektif untuk memperkuat kekuatan politiknya. Mao bisa mengamankan kekuasaannya sekaligus meminimalisir ancaman dari pihak-pihak yang bisa merongrongnya.

Dengan kata lain, political power grows out of the barrel of a gun ini menjadi jalan Mao mewujudkan keseimbangan politik dalam pemerintahannya.

Dalam konteks Indonesia saat ini, kerusuhan 22 Mei 2019 lalu dengan jatuhnya korban yang disebut-sebut akibat ditembak dengan peluru tajam, menunjukkan adanya kuasa senjata dalam konteks politik elektoral tersebut.

Ini sekaligus menjadi bukti pembalik bahwa kekuasaan Jokowi akan mudah digoyang jika tak punya kuasa atas mereka-mereka yang punya senjata – dalam hal ini kubu militer. Bayangkan jika kerusuhan tersebut tidak mampu ditangani dan melahirkan gejolak yang lebih besar, kekuasaan Jokowi secara keseluruhan tentu saja bisa terancam.

Kondisi ini menjadi pembenaran kata-kata Mao Zedong bahwasanya kekuatan politik bisa muncul dari ujung senjata. Siapa yang menguasai ujung senjata, maka dialah yang akan mampu menjadi kuat secara politik.

Tulisan McBeth seperti disinggung di awal, secara jelas menggambarkan hal itu. Persoalannya tinggal penyelesaian seperti apa yang akan dilakukan oleh Jokowi. Tentu sulit membayangkan Jokowi akan menggunakan cara-cara Mao Zedong yang menggunakan konfrontasi – si vis pacem para bellum alias perdamaian tercipta dengan cara perang.

Bahkan, jika Jokowi menggunakan cara yang “serupa”, efek yang ditimbulkan tentu saja akan buruk bagi bangsa dan negara secara keseluruhan. Konflik dan kekacauan bisa saja timbul dalam skala yang lebih besar. Dengan demikian, konsesi adalah satu-satunya cara membuat hasil yang lebih baik di Pilpres kali ini.

Menuju Konsesi Politik 2.0

Di negara-negara yang menganut demokrasi, konsesi politik – biasanya dilakukan dalam bentuk concession speech atau pidato konsesi dan yang sejenisnya – menjadi jalan untuk meredakan ketegangan politik pasca kontestasi elektoral.

Konsesi politik yang pertama kali terjadi dalam sejarah – dalam konteks demokrasi tentunya – adalah yang dikirimkan oleh William Jennings Bryan kepada William McKinley dalam bentuk telegram dua hari setelah Pilpres Amerika Serikat (AS) di tahun 1896.

Sementara yang terbaru, pasca Pilpres AS 2016 lalu, Hillary Clinton dipuji oleh banyak pihak karena memberikan concession speech dan meminta pendukungnya untuk kembali bersatu dan mengupayakan pembangunan negara.

Dalam konteks Indonesia, jika berkaca ke belakang pada Pilpres 2014, konsesi politik memang pada akhirnya berhasil tercipta. Kala itu Prabowo mengakui keunggulan Jokowi dan mengakhiri perseteruan politik yang terjadi di masyarakat – sekalipun dalam waktu yang agak lama baru terjadi.

Kini, konteks konsesi politik tersebut menjadi sangat penting. Pasalnya, Pilpres 2019 jauh lebih panas dan bahkan telah berujung pada jatuhnya korban jiwa. Kontestasi elektoral di tahun ini juga lebih terlihat persimpangannya dalam konteks apa yang disebut Mao Zedong sebagai kekuatan politik dari ujung senjata.

Publik tentu berharap kondisi politik saat ini bisa cepat terkendali. Setidaknya Jokowi dan Prabowo bisa segera bertemu. Kalaupun pada akhirnya terjadi cohabitation atau pembentukan pemerintahan bersama, itu tentu jauh lebih baik dibandingkan konfrontasi yang tak berkesudahan. (S13)

Exit mobile version