Keinginan Baiq Nuril untuk lepas dari kasus UU ITE yang menderanya kandas setelah MA menolak PK yang diajukannya. Kini, ia meminta orang nomor satu di negeri ini untuk memberikan amnesti kepadanya.
Pinterpolitik.com
Korban UU ITE seolah tak ada habis-habisnya. Setelah menjerat banyak orang, pasal yang dianggap karet ini menjerat Baiq Nuril Maknun seorang tenaga honorer di SMAN 7 Mataram. Yang menjadi ironi adalah, Nuril menjadi korban pelecehan seksual yang merekam bukti dan menyebarkannya, sehingga dijerat oleh pasal tersebut.
Nuril kemudian melawan putusan hakim yang membuatnya menjadi pesakitan. Sayangnya, memasuki ikhtiar terakhir yaitu Peninjauan Kembali (PK), asa Nuril dimentahkan oleh Mahkamah Agung. Nuril tetap dianggap bersalah dan harus menerima nasib sanksi 6 bulan penjara.
Kasus ini menyita perhatian banyak pihak. Sebagian besar menganggap kasus ini dapat menjadi preseden buruk bagi para korban pelecehan seksual karena sebagai korban, mereka justru mengalami kriminalisasi. Untuk itu, melalui laman petisi online Change.org, presiden Joko Widodo (Jokowi) didesak untuk memberikan amnesti kepada Nuril.
Jokowi sendiri hingga saat ini masih belum memberikan pernyataan secara gamblang terkait permintaan amnesti tersebut. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengaku akan membicarakannya terlebih dahulu dengan orang-orang di sekelilingnya.
Sebagai presiden, Jokowi memang memiliki kekuasaan untuk memberikan pengampunan kepada orang yang berkasus hukum. Kasus Baiq Nuril dan UU ITE dapat menjadi salah satu pertunjukan kuasa pengampunan ini. Lalu, munginkah Jokowi memberikan amnesti kepada Baiq Nuril?
Kuasa Presiden
Pemberian pengampunan merupakan salah satu hak yang dimiliki presiden. Semula, hak ini tergolong absolut karena dapat dilakukan presiden tanpa pertimbangan siapapun. Pasca amandemen UUD 1945, presiden melakukan pengampunan atas pertimbangan MA dan DPR.
Hak tersebut kini melekat kepada Jokowi sebagai presiden. Ada beragam jenis bentuk pengampunan ini, yaitu amnesti, grasi, abolisi, dan rehabilitasi. Dalam konteksi Baiq Nuril, opsi amnesti menjadi langkah yang paling banyak disarankan kepada mantan Wali Kota Solo tersebut.
Secara umum, kuasa pengampunan atau pardon power ini menjadi salah satu kekuasaan utama yang dimiliki oleh presiden. Menurut Mark J. Rozell dari Mary Washington College, ada pertimbangan politik dan konstitusional seorang presiden dalam memberikan pengampunan tersebut.
Salah satu bentuk pengampunan paling populer di dunia boleh jadi terjadi dalam kasus pengampunan yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Gerald Ford kepada pendahulunya Richard Nixon. Di Indonesia sendiri, kuasa untuk memberikan pengampunan telah ada riwayatnya sejak era Soekarno.
Di era pemerintahan Soekarno, amnesti sempat diberikan kepada sejumlah pihak yang terlibat pemberontakan seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Darul Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia (DII/TII). Hal serupa dilakukan oleh Soeharto saat memberikan amnesti umum dan abolisi kepada pengikut Fretilin di Timor Timur.
Pasca Soeharto lengser, amnesti juga diberikan oleh BJ Habibie kepada tahanan politik (tapol) dan aktivis seperti Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hal ini juga berlanjut di mana ia memberikan amnesti kepada aktivis reformasi Budiman Sudjatmiko.
Jika melihat konteks di Indonesia, tampak bahwa hampir setiap putusan amnesti memiliki unsur yang bersifat politis. Dalam banyak kasus, pengampunan semacam itu diberikan untuk melakukan rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang pernah berurusan dengan rezim.
Hal itu sejalan dengan pendapat Andreas O’Shea dalam Amnesty for Crime in International Law and Practice. Ia mencatat bahwa dalam sejarahnya, amnesti diberikan untuk menciptakan perdamaian dan juga rekonsiliasi. Amnesti kemudian kerap dimaknai sebagai ekspresi kemanusiaan dari pemerintah dan juga sarana untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Gestur Baik
Sebagaimana disebutkan oleh Rozell di atas, ada pertimbangan konstitusional dan politis dalam pemberian pengampunan. Kedua hal tersebut boleh jadi akan menjadi pertimbangan Jokowi saat menentukan apakah akan memberi amnesti atau tidak kepada Baiq Nuril.
Secara umum, jika Jokowi akhirnya memberikan amnesti kepada Nuril, maka ini akan menjadi semacam gestur yang baik untuk awal pemerintahannya di periode kedua. Meski tak terlalu urgen lagi dari segi elektoral, hal ini dapat menjadi penanda citra yang baik bagi pemerintahan Jokowi di awal periode kedua.
Seperti disebutkan sebelumnya, amnesti dapat menjadi sarana bagi pemerintah berkuasa untuk mengembalikan kepercayaan publik. Hal ini tergolong penting terutama bagi pemerintahan yang sempat dilanda krisis kepercayaan karena kasus Baiq Nuril.
Kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum boleh jadi tercederai akibat kasus ini. Bagaimana tidak, seorang korban pelecehan seksual justru harus dihukum karena mempersenjatai diri dengan bukti. Padahal, selama ini para korban ini kerap disepelekan karena dianggap tak punya bukti.
Bersama ibu Baiq Nuril, penasihat hukum ibu Nuril, teh @riekediahp dan daeng @arsyadMU siap berjuang bersama buat amnesti ibu Nuril pic.twitter.com/xhXD62NLmO
Hal yang membuat kepercayaan publik semakin melemah juga karena sang pelaku justru dilaporkan mendapat promosi jabatan. Selain itu, Ombudsman juga menemukan dugaan bahwa MA melakukan maladministrasi dalam pemutusan perkara tersebut.
Dari sisi kepentingan masyarakat luas, pemberian amnesti kepada Nuril dapat menjadi gestur baik karena bisa menjadi preseden para korban pelecehan seksual tak perlu takut lagi melawan dan mengumpulkan bukti untuk melucuti kekuatan pelaku.
Bagi Jokowi sendiri, gestur ini dapat menjadi hal yang baik untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada dirinya, khususnya kaum perempuan. Bagaimanapun, kasus Baiq Nuril merupakan salah satu potret muram nasib perempuan di Indonesia.
Ada Ironi
Meski dapat menjadi gestur yang baik, pemberian amnesti kepada Baiq Nuril ini dapat menjadi ironi tersendiri bagi pemerintahan Jokowi jika dijalankan. Hal ini terkait dengan pasal yang menjerat Nuril adalah UU ITE, peraturan yang kerap dianggap karet dengan jumlah korban yang terus bertambah.
Sebagaimana diketahui, selama beberapa tahun terakhir aparat di bawah pemerintahan Jokowi sering kali menjerat banyak orang dengan pasal UU ITE. Dalam beberapa kasus, banyak pihak yang melaporkan pihak tertentu dengan pasal tersebut, karena mengkritik sang presiden dalam kiriman mereka.
Amnesti Jokowi untuk Baiq Nuril dapat menjadi gestur baik. Meski begitu, idealnya ia menyertainya dengan evaluasi ulang UU ITE Share on XSeperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada unsur pertimbangan politis dalam pemberian amnesti ini. Oleh karena itu, boleh jadi akan ada pertimbangan politis yang masuk ke dalam pemberian amnesti kepada Nuril. Di satu sisi, perkara politis ini bisa bermakna positif di mana Jokowi dapat mengirim pesan bahwa korban tak perlu takut mengumpulkan bukti untuk melawan pelaku pelecehan seksual.
Di sisi yang lain, jika Jokowi hanya memberi perhatian pada Nuril saja sementara UU ITE untuk perkara lain masih diberlakukan, boleh jadi ada pertimbangan politis dalam bentuk lain. Dalam banyak kasus misalnya, para pihak yang memiliki posisi politis kerap menggunakan pasal ini untuk memenjarakan pengritik.
Utk membebaskan Nuril Baiq dgn amnesti tampaknya tdk tepat. Amnesti itu utk kasus politik, bersifat kolektif, bkn kriminal biasa, dan bkn utk org perorang. Msl: Dulu orng2 yg menolak hsl KMB diberi amnesti oleh Presiden Soekarno scr kolektif. Utk skrang hrs dgn pertimbangan DPR.
Idealnya, jika Jokowi nanti mau mempertimbangkan Nuril mendapatkan amnesti, potensi munculnya perkara lain akibat pasal tersebut tidak berlanjut. Amnesti pada titik ini boleh jadi adalah salah satu langkah penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi di sisi yang lain, UU ITE sebagai akar dari kasus Nuril idealnya dapat dievaluasi secara menyeluruh.
Di luar itu, pihak-pihak yang ada di lingkar kuasa Jokowi harus mulai berpikir ulang untuk tidak menggunakan UU ITE sebagai senjata mereka. Bagaimanapun, UU ini tak bisa digunakan terus-menerus untuk membungkam banyak pihak. Oleh karena itu, agar konsisten tanpa menjadi ironi, pemerintah idealnya mau mempertimbangkan ulang UU ITE agar tak banyak korban bernasib seperti Baiq Nuril. (H33)