HomeNalar PolitikMenanti Bantuan Corona dari Tiongkok

Menanti Bantuan Corona dari Tiongkok

Indonesia menjadi salah satu negara yang mengirimkan bantuan ke Tiongkok dalam menghadapi virus Corona (Covid-19). Kapan Tiongkok akan bantu Indonesia?


PinterPolitik.com

“He just not in a position to reciprocate your energy” – Drake, penyanyi rap asal Kanada

Akhir-akhir ini, pemerintah Indonesia mulai meningkatkan kewaspadaannya dalam menghadapi penyebaran penyakit menular yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19). Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri telah mengimbau masyarakat agar beraktivitas – seperti bekerja, beribadah, hingga belajar – di rumah saja.

Imbauan agar isolasi diri ini diungkapkan oleh Presiden Jokowi ketika jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat. Bahkan, di akhir pekan lalu, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dilaporkan turut menjadi pasien positif.

Peningkatan signifikan kasus positif di Indonesia diprediksi akan terus terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Meski begitu, sebagian besar pekerja dan fasilitas tampak mulai kewalahan. Bahkan, beberapa dari mereka mengeluh akan minimnya ketersediaan alat pelindung diri (APD) dan masker.

Di tengah-tengah situasi ini, pemerintah Singapura akhirnya menawarkan bantuan kepada Indonesia. Jokowi sendiri akhirnya menerima bantuan yang ditawarkan melalui telepon dengan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong.

Beberapa bantuan yang diberikan di antaranya adalah alat-alat medis dan alat deteksi Covid-19 yang canggih. Selain itu, Pemerintah Kota Batam, Kepulauan Riau, juga mengaku telah menerima bantuan Singapura, berupa 50 unit APD dan dua alat ventilator.

Apa yang dilakukan Singapura ini sebenarnya mirip dengan apa yang dilakukan Indonesia dalam beberapa bulan lalu. Pada awal Februari lalu, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengirimkan sejumlah masker ke Tiongkok kala penyebaran Covid-19 di negeri Tirai Bambu tersebut masih tinggi.

Kini, penyebaran Covid-19 di Tiongkok dikabarkan telah berkurang secara drastis. Bahkan, negeri Tirai Bambu tersebut mulai mengirimkan bantuan ke beberapa negara – seperti Italia yang menerima bantuan ahli dan alat medis.

Bantuan Tiongkok untuk Italia sebenarnya wajar – mengingat negara tersebut kini menjadi salah satu pusat penularan Covid-19. Namun, adakah alasan politis lain yang mendasari bantuan tersebut?

Selain itu, Tiongkok sendiri belum memberikan bantuan serupa ke Indonesia. Mengapa Tiongkok seharusnya perlu mengirimkan bantuan ke Indonesia? Adakah kewajiban moral bagi negeri Tirai Bambu tersebut?

Di Mana Tiongkok?

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Covid-19 merupakan virus yang pertama kali mewabah di Wuhan, Hubei, Tiongkok. Negara yang dipimpin oleh Xi Jinping tersebut merupakan negara yang menjadi pusat penularan pertama.

Sebagai negara yang memiliki hubungan diplomatis yang baik, sudah sewajarnya Indonesia mengirimkan bantuan ke Tiongkok. Hal ini dilakukan pada Februari lalu dengan mengirimkan masker dan alat medis – kala mengevakuasi warga negara Indonesia (WNI) yang terjebak di Wuhan.

Apa yang dilakukan Indonesia ini sebenarnya termasuk dalam bantuan luar negeri yang dapat didasarkan pada justifikasi etis. Tomohisa Hattori dari City University of New York (CUNY) dalam tulisannya yang berjudul The Moral Politics of Foreign Aid menyebutkan beberapa motivasi pemberian bantuan luar negeri.

Baca juga :  Trump Ancam BRICS, Prabowo Balik Kanan?

Hattori menyebutkan bahwa terdapat beberapa justifikasi etis dalam tradisi liberalis, yakni sebagai obligasi negara maju terhadap negara berkembang, sebagai respons moral atas persoalan yang ada, dan sebagai alasan kemanusian (humanitarianism).

Apa yang dijelaskan oleh Hattori ini bisa saja turut mendasari keputusan Indonesia untuk mengirimkan bantuan alat medis kepada Tiongkok pada Februari lalu. Bisa jadi, pemerintahan Jokowi melakukannya sebagai respons moral atas persoalan yang ada.

Selain itu, bukan tidak mungkin pengiriman bantuan antarnegara tersebut dilakukan sebagai alasan kemanusiaan. Pasalnya, Tiongkok kala itu menghadapi kekurangan ketersediaan masker di wilayahnya dalam menghadapi Covid-19.

Namun, di sisi lain, apa yang dilakukan Indonesia kala itu bisa juga dianggap sebagai tindakan resiprokal – atau hubungan timbal balik. Hattori menjelaskan bahwa aksi pemberian bantuan antarnegara juga dapat direfleksikan dalam kehidupan sosial – yang mana di dalamnya terdapat resiprositas antarindividu.

Aksi pemberian bantuan antarnegara juga dapat direfleksikan dalam kehidupan sosial – yang mana di dalamnya terdapat resiprositas antarindividu. Share on X

Kemungkinan akan adanya resiprositas ini cukup masuk akal. Kala itu, Indonesia akhirnya diizinkan untuk mengevakuasi para WNI dari Hubei yang tengah berada dalam kondisi lockdown.

Asumsi ini menjadi semakin masuk akal karena prinsip resiprositas sebenarnya telah lama dinormalisasi dalam politik dunia. Robert O. Keohane – profesor Hubungan Internasional dari Princeton University – dalam tulisannya yang berjudul Reciprocity in International Relations menjelaskan bahwa prinsip inilah yang mendorong adanya kerja sama mutual antarnegara.

Resiprositas antarnegara ini mungkin tercerminkan pada tahun 2018 lalu – ketika Venezuela mengalami krisis ekonomi dengan inflasi yang sangat tinggi. Banyak warga Venezuela akhirnya ingin mengungsi ke negara lain.

Salah satu negara yang menyambut para migran adalah Kolombia. Atas dasar resiprositas – semacam balas budi atas bantuan Venezuela di masa lampau, warga Kolombia membantu warga Venezuela.

Mungkin, bila berkaca pada Venezuela-Kolombia, sudah saatnya Tiongkok memberi bantuan kembali pada Indonesia atas dasar resiprositas pula. Pasalnya, negara kepulauan Asia Tenggara ini tengah menghadapi tantangan yang cukup berat dari penyebaran Covid-19.

Namun, mengapa Tiongkok malah memutuskan untuk membantu Italia terlebih dahulu? Terlepas dari fakta bahwa Italia kini menjadi pusat penularan Covid-19 yang baru, bukannya Indonesia juga perlu mendapatkan bantuan dari negara yang telah melalui masa-masa sulit Covid-19 tersebut?

Kepentingan di Italia?

Boleh jadi, adanya fakta bahwa Tiongkok tak memberikan bantuan langsung perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia. Pasalnya, negara yang dipimpin oleh Xi tersebut sebenarnya telah menjalin kerja sama yang cukup dekat selama lima tahun awal pemerintahan Jokowi.

Bila mendasarkan pada prinsip resiprositas yang disebutkan sebelumnya, Tiongkok yang telah menjalin banyak kerja sama – baik dari sisi investasi maupun perdagangan – dengan pemerintahan Jokowi seharusnya memasukkan Indonesia sebagai salah satu prioritas.

Tiongkok sendiri kini menjadi negara dengan investasi langsung (foreign direct investment atau FDI) terbesar kedua di Indonesia semenjak tahun 2016. Pada tahun 2017, besaran investasi itu mencapai 1,68 miliar dollar Amerika Serikat (AS) – atau sekitar Rp 25 triliun.

Dari besarnya nilai kerja sama dan hubungan diplomatis Indonesia-Tiongkok itu, beberapa pertanyaan pun akhirnya muncul. Mengapa Tiongkok lebih memilih Italia untuk mengirimkan bantuan teknis Covid-19 dibandingkan Indonesia – terlepas dari perbedaan jumlah kasus Covid-19 antara Indonesia dan Italia?

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Padahal, secara angka, nilai perdagangan Indonesia-Tiongkok lebih besar dibandingkan dengan Italia-Tiongkok. Selain itu, FDI Tiongkok di Indonesia juga memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan Italia.

Pada tahun 2018, nilai perdagangan Italia-Tiongkok tercatat mencapai 48,25 dollar AS (sekitar Rp 700 triliun) – lebih kecil bila dibandingkan Tiongkok-Indonesia yang mencapai 72,7 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.000 triliun).

Mungkin, pilihan Tiongkok ini dapat didasarkan pada faktor geopolitik. Pasalnya, negara Eropa satu ini disebut-sebut menjadi negara kawan dekat bagi Tiongkok dalam beberapa tahun ini.

Bagaimana tidak? Italia menjadi negara Barat pertama yang bergabung dengan Belt and Road Initiative (BRI) atau One Belt, One Road (OBOR) milik Tiongkok.

Sebagai negara yang terletak di Eropa, Italia secara tradisional dan geopolitis memiliki afiliasi politik yang dekat dengan Uni Eropa (UE), North Atlantic Treaty Organization (NATO), dan AS. Namun, keputusan Italia untuk bekerja sama dalam BRI dengan Tiongkok menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara Barat lainnya.

Selain itu, terpilihnya Giuseppe Conte sebagai PM Italia pada 2018 disebut-sebut membuat posisi Tiongkok lebih menguntungkan. Paolo Guerrieri – pengajar ekonomi politik di La Sapienza University – menjelaskan bahwa Conte akan tetap memprioritaskan Tiongkok sebagai negara mitra. Bahkan, Duta Besar Italia untuk Tiongkok Ettore Francesco Sequi diangkat sebagai petinggi di Kementerian Luar Negeri Italia.

Partai-partai pendukung Conte juga merupakan partai-partai yang bersayap tengah-kiri. Selain itu, Five Star Movement – salah satu partai pemerintah – menjadi salah satu partai yang secara aktif mendukung kebijakan-kebijakan populis Conte.

Mungkin, atas fakta kedekatan Tiongkok dengan negara ini, pemerintahan Xi akhirnya lebih mengutamakan bantuan luar negeri untuk Italia. Boleh jadi, bantuan luar negeri Tiongkok perihal Covid-19 untuk Italia ini turut didasari oleh kepentingan strategis.

Pasalnya, mengacu pada tulisan Hattori, bantuan luar negeri dalam tradisi realis tidaklah dilihat sebagai bantuan kemanusiaan, melainkan sebagai upaya pemenuhan kepentingan strategis. Salah satu contohnya adalah program Marshall Plan milik AS yang diberlakukan pasca-Perang Dunia II untuk negara-negara Eropa guna menghalau pengaruh Uni Soviet dalam Perang Dingin.

Bukan tidak mungkin Tiongkok memiliki motivasi serupa dalam mengirimkan bantuan ke Italia. Apalagi, Italia adalah negara Eropa pertama yang semakin terbuka atas pengaruh Tiongkok.

Namun, tentu saja, kemungkinan motivasi ini belum dapat dipastikan. Bisa saja, Tiongkok memiliki pertimbangan lain dalam mengirimkan bantuan tersebut.

Yang jelas, saat ini, Italia merupakan negara yang memiliki kedekatan politis dengan Tiongkok. Mari kita nantikan saja bagaimana kelanjutan hubungan keduanya. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?