Site icon PinterPolitik.com

Menangi Freeport, Jokowi Presiden Lagi?

Menangi Freeport, Jokowi Presiden Lagi?

Pengambilalihan saham Freeport akan menjadi isu yang ikut mempengaruhi Pilpres 2019. (Foto: S13)

Bloomberg menyebut Rio Tinto siap menerima tawaran US$ 3,5 miliar untuk menjual hak kelola atas tambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua yang dikuasai Freeport McMoRan. Jika kesepakatan tercapai, pemerintah akan menguasai 51 persen saham Freeport, dan hal ini menguntungkan kampanye Jokowi menuju 2019.


PinterPolitik.com

“Mining is like a search-and-destroy mission.”

:: Stewart Udall (1920-2010), politisi AS ::

[dropcap]A[/dropcap]hli geologi asal Belanda, Jean Jacques Dozy mungkin tidak akan menyangka kalau laporan yang dibuatnya tentang ekspedisi ke puncak Cartenz, Papua pada tahun 1936 akan menjadi jalan masuk bagi salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia, Freeport McMoRan.

Tulisan Dozy tentang “batu hitam aneh yang berwarna kehijauan” menjadi awal kisah perusahaan yang pada tahun 1950-an nyaris bangkrut itu mendapatkan kembali napas kehidupannya, sekaligus meninggalkan banyak masalah bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia hingga saat ini. Keuntungan yang tidak berimbang memang menjadi alasan mengapa Freeport – dalam hal ini Freeport Indonesia – ingin kembali dikuasai oleh pemerintah Indonesia.

But, it is always political and it is hard to deal with.

Kisah tentang Freeport punya dimensi politik yang sangat besar, bahkan cenderung dominan. Beberapa tahun terakhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang tengah menggalakkan berbagai upaya untuk mengambil alih saham Freeport, sekalipun usaha tersebut tidak berjalan mulus.

Operasi tambang di Grasberg, Papua. (Foto: mining.com)

Kini, angin segar nampaknya mulai berhembus ke Jokowi. Rio Tinto, perusahaan asal Inggris-Australia yang mengusai 40 persen hak kelola tambang tersebut bersama Freeport, bersedia menerima tawaran US$ 3,5 miliar (Rp 49 triliun) dari pemerintah Indonesia untuk pengambilalihan hak kelola. Laporan dari Bloomberg menyebut jumlah 40 persen hak kelola itu disebut-sebut akan bernilai sama dengan 40 persen kepemilikan saham perusahaan.

Persoalannya menjadi menarik karena apa yang terjadi di Grasberg ini melibatkan kebijakan politik tingkat tinggi yang telah terjadi sepanjang sejarah pertambangan itu berdiri, dan tentu saja melibatkan kepentingan elit-elit bisnis dan Amerika Serikat (AS) sebagai negara.

Sementara, Bloomberg juga menyebut jika pengambilalihan saham ini akan menjadi bagian dari kampanye politik Jokowi. Dengan menguatnya tensi politik dan isu yang digunakan menjelang Pilpres 2019, jika negosiasi ini berhasil dan Indonesia akhirnya memiliki saham mayoritas di Grasberg, akankah hal ini memperkuat peluang Jokowi terpilih kembali?

Freeport dan Kemasan Nasionalisme

Topik tentang Freeport memang selalu melibatkan politik di tingkatan paling atas. Perusahaan yang kini ada di posisi ke-133 dalam daftar perusahaan paling besar di AS versi Forbes, nyatanya punya sejarah panjang dalam konteks hubungan politik dengan penguasa di Indonesia.

Pada tahun 1996, Lisa Pease menulis di Majalah Probe tentang aksi perusahaan – saat itu bernama Freeport Sulphur – yang melakukan take over tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga terbesar nomor dua di dunia tersebut. Aksi ini disebut-sebut terjadi sejak tahun 1950-an dengan melibatkan kerja intelijen dan menjadi bagian dari kepentingan segelintir elit negeri Paman Sam.

Perusahaan yang bermarkas di Arizona, AS itu kini bernama Freeport McMoRan setelah di-merger dengan McMoRan Oil and Gas Company pada tahun 1981, disebut-sebut menjadi bagian dari “konspirasi” besar menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno demi mendapatkan hak kelola atas tambang di Grasberg.

Lisa bahkan secara spesifik menyebut peran badan intelijen AS, CIA, sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam penggulingan Soekarno – presiden yang menolak konsesi tambang tersebut diserahkan pada pihak asing. CIA memang telah mengakui terlibat dalam upaya penggulingan Soekarno sejak tahun 1950-an dengan alasan bahwa sang proklamator itu “terlalu memberi angin segar pada berkembangnya komunisme”.

Namun, isu komunisme disebut-sebut hanya menjadi satu bagian dari upaya untuk memulai pengerukan kekayaan alam di Papua. Lisa juga menyebutkan dengan jelas bagaimana Wakil Direktur Perencanaan CIA pada tahun 1956, Frank Wisner menjalankan berbagai operasi untuk merongrong kekuasaan Soekarno.

Frank Wisner. (Foto: Tpaak.com)

Lalu, untuk kepentingan siapa kerja CIA dilakukan? Dalam tulisannya, Lisa menyebut Freeport Sulphur adalah perusahaan yang dewan direksinya diisi oleh anggota keluarga Rockefeller. Keluarga ini adalah entitas dinasti politik dan bisnis yang dianggap paling berkuasa di AS sepanjang sejarah, termasuk juga terlibat dalam politik luar negeri AS dan kerja-kerja intelijen negara tersebut.

David Rockefeller misalnya adalah tokoh kunci dalam The Council on Foreign Relations yang ikut mempengaruhi kebijakan luar negeri AS. Kedekatannya dengan petinggi-petinggi CIA juga membuat agenda-agenda politik AS menjadi punya nuansa ekonomi-bisnis di belakangnya.

Kerja CIA dalam operasi-operasinya ini jugalah yang terjadi di Indonesia, termasuk saat Soekarno digulingkan dan Soeharto naik tahta. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan untuk memuluskan jalan Freeport, pergantian rezim adalah hal yang lumrah untuk ditempuh.

Level bisnis Freeport telah sampai pada titik mempengaruhi pergantian rezim. Jika benar demikian, ini menunjukkan bahwa pernah dalam satu waktu, kedaulatan Indonesia dijatuhkan oleh satu perusahaan tambang.

Kini, Freeport menjadi bagian dari kampanye Jokowi untuk kembali menguasai aset nasional dalam tajuk nasionalisme di atas kaki sendiri. Faktanya, selain isu agama, nasionalisme dipercaya akan menjadi alat pemenangan Pilpres 2019 yang paling efektif.

Hal ini juga disadari oleh calon lawan Jokowi, Prabowo Subianto. Jika Jokowi berbicara tentang konsep Trisakti Bung Karno, Prabowo dalam setiap pidato politiknya juga kerap berbicara keras tentang “pencurian” kekayaan negara.

Tentu saja apa yang disebutkan Prabowo ini bukan hal yang sepele. Freeport diperkirakan masih menguasai cadangan tambang yang bernilai US$ 100 miliar di Grasberg. Bahkan dalam kaitan dengan negosiasi kontrak karya sejak 2009 lalu, Indonesia juga terus mengalami kerugian dari sisi pendapatan bukan pajak. Terakhir, negara disebut mengalami kerugian hingga mencapai Rp 6 triliun.

Sementara, kontribusi langsung dari Freeport melalui pajak terus menurun sejak 2010 lalu. Sempat berada di atas Rp 20 triliun per tahun pada 2011, jumlah itu hanya mencapai Rp 4,9 triliun pada 2015. Freeport memang berkontribusi total hingga Rp 40 triliun untuk pengembangan masyarakat, gaji pegawai dan pembangunan daerah. Namun, jika berkaca dari kondisi Papua hingga saat ini yang masih tertinggal, hal tersebut jelas sangat tidak sebanding.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan itu pada 2016, revenue atau pendapatan Freeport di tahun tersebut mencapai US$ 14,8 miliar dollar AS (Rp 207,2 triliun). Adapun dalam laporan yang sama, cadangan tembaga di Papua disebut mencapai 12,2 juta ton, sementara cadangan emas diperkirakan masih mencapai 7.300 ton.

Artinya, jika pemerintah ingin mendapatkan pemasukkan yang sepadan untuk negara, memang sudah selayaknya kompleks tambang ini dikuasai secara mayoritas oleh pemerintah, sebelum semua mineral yang terkandung di dalamnya dikeruk dari bumi Papua.

Namun, upaya tersebut akan melibatkan adu kekuatan politik. Hingga kini, setiap kebijakan yang berhubungan dengan Grasberg selalu punya dimensi politik makro yang melibatkan elit-elit negara.

Apalagi, saat Presiden Donald Trump dilantik, ia mengangkat Carl Icahn yang merupakan pemegang saham di Freeport sebagai salah satu penasehatnya – sekalipun jabatan ini telah ditanggalkan pada Agustus 2017 lalu. Posisi tersebut tentu saja sedikit banyak mempengaruhi arah kebijakan AS dan kepentingannya terhadap Indonesia.

Menangi Freeport, Jokowi Presiden Lagi

Melihat sejarah panjang Freeport di Indonesia dan pengaruhnya yang melibatkan politik luar negeri AS sebagai negara, maka kebijakan yang diambil Jokowi – jika terlalu memaksa – bisa jadi akan berdampak buruk baginya.

Sudah menjadi rahasia umum jika AS selalu punya “pengaruh” terhadap pencalonan tokoh tertentu menuju kursi RI-1. Kejatuhan Soekarno lewat aksi 1965 dan Soeharto di tahun 1998 merupakan bukti bahwa negara super power ini selalu berusaha terlibat dalam politik domestik Indonesia.

Kondisi ini sesuai dengan konsep hegemoni dalam kekuasaan. Antonio Gramsci mengartikan hegemoni sebagai kondisi ketika ada kelas masyarakat dominan yang menjalankan kekuasaan atas masyarakat yang lebih lemah.

Dalam konteks negara, hal ini berlaku ketika ada negara super power (core countries) yang mendominasi sistem internasional terhadap negara-negara penyangga (semi-periphery countries) dan negara-negara pinggiran (periphery countries) – konsepsi yang pertama kali diperkenalkan oleh Immanuel Wallerstein sebagai Teori Sistem Dunia.

Sebagai negara core, kekuatan AS jelas sangat dominan di Indonesia, termasuk dalam hal kepentingannya di Grasberg. Ini membuat AS punya hegemoni atas Indonesia. Namun, Wallerstein juga pernah mengatakan bahwa akan ada suatu masa ketika negara-negara pinggiran akan bangkit melawan negara core. Mungkin hal inilah yang sedang diupayakan oleh Jokowi.

Jika salah mengambil kebijakan tentang Freeport dan Papua, Jokowi berpotensi kehilangan kesempatan menjadi Presiden untuk periode ke-2. (Foto: Tribunnews)

Dalam konteks Pilpres 2019, jika Jokowi mampu mengambil alih saham Freeport, maka ia akan sangat mungkin “menjual” pencapaiannya tersebut dalam kampanye politik. Hal ini tentu akan berdampak positif terhadap tingkat keterpilihannya.

Namun, jika win-win solution tidak tercapai dengn Freeport, bukan tidak mungkin pria kelahiran Solo itu justru yang akan terdepak dari kursi RI-1. Seperti yang ditulis Lisa Pease, Freeport sedikit banyak berkontribusi menyebabkan kejatuhan Soekarno. Jika Jokowi tidak hati-hati, sangat mungkin ia juga akan bernasib sama.

Dengan demikian, Jokowi hanya akan mungkin terpilih lagi jika ia memenangi persoalan ini. Konteks “memenangi” berarti mampu menjaga agar kepentingan Indonesia tetap terpenuhi, sementara pada saat yang sama Freeport juga tidak merasa dirugikan.

Tapi, apakah hal itu yang akan dilakukan Jokowi? Atau ia akan nekat bersikap keras pada Freeport dan memaksakan kehendak seperti yang sudah dilakukannya sejauh ini?

Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, seperti kata Stewart Udall di awal tulisan, pertambangan selalu punya dimensi “menghancurkan”. Menarik untuk ditunggu apa yang akan terjadi pada Freeport dan akankah perusahaan ini menghancurkan kekuasaan Jokowi di 2019 nanti? (S13)

Exit mobile version