HomeHeadlineMenang, Skenario Rahasia Anies dan TNI-Polri?

Menang, Skenario Rahasia Anies dan TNI-Polri?

Satu diskursus menarik yang agaknya luput dari meja analisis adalah proyeksi hubungan antara Anies Baswedan dengan TNI-Polri jika jika sang mantan Gubernur DKI Jakarta itu memenangkan Pilpres 2024. Namun, probabilitas relasi itu agaknya tak akan berjalan mulus. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com

Terkait hubungannya dengan TNI-Polri, titik keseimbangan agaknya akan cukup sulit untuk diraih jika Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memenangkan Pilpres 2024. 

Sejauh ini, konstruksi ruang percakapan sosiopolitik agaknya masih luput untuk membicarakan konteks tersebut. 

Padahal, selepas Reformasi dan meski telah terpisah secara institusional, TNI-Polri tampak masih menjadi variabel determinan yang menyokong stabilitas kekuasaan politik. 

Dan, di antara dua kandidat lain, duet pasangan yang memiliki akronim AMIN itu tampak sebagai yang paling sedikit memiliki akses untuk dapat membentuk relasi yang mulus dengan dua institusi tersebut jika memenangkan kontestasi. 

Di sudut Ganjar Pranowo, sang cawapres Mahfud MD memiliki portofolio dan pengalaman relevan karena saat ini mengampu jabatan sebagai Menkopolhukam.  

Begitupun dengan pengalamannya menjabat Menteri Pertahanan di era Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yakni sejak 26 Agustus 2000 hingga 20 Juli 2001. 

anies cak imin menang satu putaran.jpg

Sementara di sudut Prabowo Subianto, dirinya sendiri merupakan legenda hidup militer yang memiliki pengalaman saat TNI-Polri bersatu di bawah payung ABRI. 

Oleh karenanya, akan cukup mudah bagi Prabowo – dengan modal sosiopolitiknya – untuk membangun relasi yang konstruktif bagi kekuasaan dengan dua institusi tersebut. 

Kembali, skenario berbeda dan tampaknya akan cukup rumit kemungkinan dihadapi oleh AMIN jika menang di 2024. Mengapa demikian? 

Sipil Tanpa Koneksi? 

Potensi kemenangan Anies Baswedan pada Pilpres 2024 boleh jadi akan membawa perubahan signifikan dalam lanskap politik Tanah Air. 

Serupa Joko Widodo (Jokowi), yang berasal dari latar belakang sipil dan sebelumnya jarang berinteraksi dengan militer dan polisi, Anies Baswedan kemungkinan besar akan menghadapi tantangan serupa dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga berpengaruh tersebut. 

Penting untuk menganalisis skenario ini dengan mempertimbangkan konteks sejarah, suasana politik pasca Reformasi 1998, dan dinamika yang mungkin terjadi di bawah kepemimpinannya. 

Pertama, dalam aspek kepemimpinan sipil. Terpilihnya Anies, seperti halnya Jokowi, akan mewakili kelanjutan tradisi demokrasi Indonesia yang mengedepankan impresi supremasi kepemimpinan sipil. 

Era Reformasi setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998 mengantarkan pada komitmen terhadap demokrasi dan kontrol sipil atas militer dan kepolisian. 

Oleh karena itu, Anies, seperti halnya Jokowi, diharapkan menjunjung tinggi tradisi tersebut. 

Baca juga :  Prabowo, the Game-master President?

Namun, saat terpilih pertama kali pada 2014, Jokowi yang sudah berstatus Presiden ke-7 RI memiliki modal jejaring militer dan kepolisian yang berasal dari entitas maupun aktor di balik kemenangannya saat itu. 

Jejaringnya saat di Solo seperti dengan Hadi Tjahjanto serta kombinasinya dengan nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Budi Gunawan (BG), hingga Tito Karnavian membuat kekuasaan Jokowi perlahan begitu kuat, kendati tampak canggung di permulaan. 

Kedua, dari aspek tantangan psikologis yang menghadang, sama seperti Jokowi, Anies mungkin menghadapi “perlawanan” atau skeptisisme dari pimpinan militer dan kepolisian karena terbatasnya pengalamannya dalam mengelola relasi dan dinamikanya dalam bidang ini. 

Walaupun terdapat rantai komando dan ikrar kepatuhan kepada pimpinan tertinggi, para pimpinan militer dan kepolisian yang bukan “orangnya Anies” dapat memandangnya sebagai “orang luar” secara politik. 

Hal itu berpotensi mengarah pada konteks mempertanyakan kemampuannya dalam memberikan kepemimpinan yang kuat dalam masalah keamanan dan pertahanan. 

Kendati demikian, Anies memiliki koalisi politik yang mungkin sedikit akan menolongnya. 

Dalam manuver kelembagaan terbaru PKS, misalnya, baru saja dilantik para purnawirawan TNI-Polri yang, meski tak se-berpengaruh Luhut, BG, maupun Prabowo, kiranya tetap dapat sedikit memberikan ruang bagi Anies untuk berjejaring. 

Ketiga, terkait realitas politik, yakni sejauh mana Anies akan bergantung pada militer dan kepolisian dapat bergantung pada iklim politik yang ada. 

Tak hanya dalam masa damai, jika masalah keamanan atau yang terkait keamanan muncul, seperti terorisme, kerusuhan sipil atau bahkan pandemi berikutnya, Anies dapat dipastikan perlu bekerja sama lebih erat dengan lembaga-lembaga tersebut. 

Namun, penting baginya untuk memastikan bahwa kerja sama tersebut berada dalam batas kendali sipil. Ini poin krusial yang masih belum terlihat dan dijelaskan langsung dalam visi seorang Anies Baswedan sejauh ini. 

Selain itu, terdapat beberapa aspek krusial lain yang agaknya akan menjadi cukup rumit untuk dihadapi oleh Anies. 

2024 anies imin dibantu avengers

Akhirnya Mirip Jokowi? 

Hampir mustahil memang untuk tidak membagun relasi “istimewa” dengan TNI-Polri jika berkaca pada kultur sosiopolitik Indonesia yang telah terkonstruksi. 

Inilah yang akan dihadapi Anies untuk mengejawantahkan tindakan penyeimbangan. Ya, tantangan utama bagi Anies Baswedan adalah mencapai keseimbangan antara mempertahankan kendali sipil dan memberikan posisi kepemimpinan yang kuat bagi militer dan kepolisian. 

Hal ini sebenarnya merupakan kritik yang dihadapi oleh Jokowi, yang dianggap oleh sebagian orang memberikan pengaruh yang terlalu besar terhadap lembaga-lembaga tersebut. 

Baca juga :   Aniesator II, Judgement Day

Namun, secara logika kekuasaan, memberikan posisi strategis kepada orang-orang kepercayaan menjadi lumrah untuk menciptakan stabilitas politik. Ihwal yang disiratkan oleh Niccolo Machiavelli dalam publikasinya yang berjudul Il Principe

Selain itu, preseden dan benchmark dari Presiden Jokowi dalam mengatasi segala kekurangan dalam pendekatannya dalam menangani militer dan kepolisian kiranya akan diadopsi oleh Anies. 

Sekali lagi, opsi yang mungkin dilakukan adalah membangun kembali relasi dengan aktor yang pernah bekerja bersamanya, paling tidak saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta seperti eks Kapolda Metro Jaya Fadil Imran yang kini telah menyandang bintang tiga di pundaknya, maupun dengan para serdadu dan purnawirawan wanna be eks Pangdam Jaya seperti Jenderal TNI Dudung Abdurachman, Letjen TNI (Purn.) Mulyo Aji, hingga Mayjen TNI (Purn.) Untung Budiharto. 

Di samping itu, tak menutup kemungkinan pula jika Anies secara personal maupun entitas politik pendukungnya memiliki jejaring rahasia, yang mungkin disokong tangan eksternal tak terlihat, untuk menopang aspek yang tampak belum terlihat saat ini dalam relasinya dengan TNI-Polri.

Namun, Anies juga harus menekankan pentingnya demokrasi dan supremasi hukum sebagai prinsip panduan pemerintahannya. 

Mantan Menteri Pendikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu harus memastikan bahwa peningkatan keterlibatan militer dan polisi tidak mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM), otoritarianisme, atau kemunduran kemajuan demokrasi. 

Satu hal terakhir yang wajib diantisipasi oleh Anies adalah opini publik. Dirinya mau tidak mau harus memperhatikan sentimen masyarakat terhadap TNI dan Polri. 

Jika masyarakat Indonesia mewaspadai penguatan peran lembaga-lembaga tersebut, hal ini dapat menimbulkan tantangan politik bagi dirinya. Pendekatannya harus sejalan dengan keinginan masyarakat. 

Apalagi, ketika Anies dihadapkan dengan konstruksi penempatan jabatan sipil oleh para perwira TNI-Polri di institusi sipil di masa Presiden Jokowi saat ini yang kencang mendapat kritik dan kecemburuan sosiopolitik. 

Bagaimanapun, jika memenangkan Pilpres 2024, Anies Baswedan kemungkinan besar akan menghadapi tantangan serupa seperti yang dialami Jokowi terkait hubungannya dengan TNI-Polri. 

Meskipun bekerja sama dengan lembaga-lembaga ini diperlukan demi keamanan dan stabilitas negara, ia harus melakukannya dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip kontrol sipil, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. 

Belajar dari pengalaman masa lalu dan memahami perubahan iklim politik akan sangat penting dalam mengelola hubungan yang kompleks ini. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).