HomeHeadlineMenakar Takdir Sandiaga di 2029 

Menakar Takdir Sandiaga di 2029 

Dengarkan Artikel Ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI

Langkah politik Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih menjadi tanda tanya. Sebagai politisi muda yang potensial, karier politik Sandi ke depan kiranya benar-benar ada di tangannya sendiri secara harfiah. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Sandiaga Uno telah memainkan peran yang beragam dalam politik Indonesia. Pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, langkah politik Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PPP ini masih menjadi tanda tanya. 

Dikenal sebagai pengusaha sukses sebelum terjun ke politik, dia memenangkan hati banyak warga DKI Jakarta ketika menjadi Wakil Gubernur (Wagub) tahun 2017-2019 bersama Anies Baswedan. 

Setelah itu, Sandi juga sempat menjadi calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 bersama Prabowo Subianto. Meskipun kalah dalam pemilihan tersebut, kehadirannya dalam panggung politik nasional semakin berkembang.  

Kini, berbagai spekulasi tentang langkah politik yang akan diambil Sandi mulai mengemuka. 

mahfud cawapres iris hati sandi ppp

Terlebih, PPP yang merupakan partai politik (parpol) tempatnya bernaung juga belum menentukan opsi untuk menjadi oposisi atau bergabung dengan pemerintahan baru nantinya. 

Opsi itu muncul karena pasangan calon (paslon) yang diusung PPP bersama parpol lain, yakni Ganjar Pranowo dan Mahfud MD berada di posisi “buncit” berdasarkan hasil rekapitulasi sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Menurut Sandi, PPP saat ini hanya fokus untuk mengawal perhitungan suara pemilihan legislatif (Pileg). 

Secara pribadi, Sandi juga menyatakan jika dirinya akan mengikuti apa yang menjadi keputusan partai. Dia beralasan selama ini tujuannya berpolitik adalah bukan untuk mencari jabatan atau kekuasaan. 

Namun, sebagai salah satu politisi muda potensial dengan segala rekam jejaknya selama ini, Sandi sejatinya masih menjanjikan untuk bersaing dalam kontestasi elektoral 2029, bahkan mendatang untuk menjadi salah satu kandidat calon presiden (capres). Mengapa dapat dikatakan demikian? 

Sandi adalah Senjata Rahasia? 

Dengan reputasi yang telah dibangun melalui pengalaman bisnisnya dan kinerjanya sebagai pejabat pemerintah, Sandi memiliki fondasi politik yang kuat. 

Pasca menjabat sebagai Menteri, dia seolah lihai dalam menggunakan platform-nya untuk memperkuat basis pendukung dan memperluas jaringan politik. 

Sandi yang kini mengidentikkan dengan diri dengan kelompok Islam dengan bergabung bersama PPP dinilai dapat memanfaatkan kedekatannya dengan para kiai karismatik dan ulama untuk mangambil ceruk pemilih Islam. 

Michael Maccoby dalam publikasinya yang berjudul Why People Follow the Leader: The Power of Transference menjelaskan secara tersirat jika budaya santri-santri di daerah yang memiliki sikap patuh pada kiai dan ulama panutannya. 

Sikap patuh ini yang kemudian dapat bertransformasi menjadi dukungan elektoral bagi entitas politik tertentu. 

Namun, apa yang di jelaskan Maccoby bukan hanya mencakup para santri, kelompok masyarakat lain yang menghormati para ulama dan kiai pun juga memiliki tendensi akan “kepatuhan politik” yang sama. 

Sandi tampaknya harus dapat memanfaatkan itu untuk di konversi menjadi peluang untuk membawanya ikut serta dan aktif dalam kontestasi politik 2029 mendatang. 

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Relasi antara Sandi dan para ulama dan kiai sendiri sejatinya sudah berlangsung sejak Pilpres 2019 saat mendampingi Prabowo Subianto. 

Namun, pasca Pilpres 2019, Prabowo yang memutuskan untuk bergabung dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap “berkhianat” oleh para ulama, kiai, dan kelompok islam tertentu. 

Menariknya, Sandi yang sebenarnya juga bergabung  dengan pemerintahan Jokowi sebagai Menparekraf seolah tidak mendapatkan impresi negatif seperti yang diterima Prabowo. 

Hal ini terihat dari nama Sandi yang muncul dalam forum Ijtima Ulama dan Pemuda Islam Indonesia (PII) se-Jawa Barat pada 15 Desember 2021 lalu sebagai nama yang mereka dukung untuk maju dalam Pilpres 2024. 

Selain itu, Sandi juga sempat berkunjung ke Pondok Pesantren (Ponpes) Mambaul Ma’arif, Jombang, Jawa Timur (Jatim) untuk bertemu kiai dan melakukan doa bersama pada 15 Juli 2023 lalu. 

Selain dikenal memiliki relasi kedekatan yang cukup baik dengan entitas Islam, mantan Wagub DKI Jakarta ini juga dikenal dekat dengan para anak muda, dalam hal ini milenial dan gen Z, serta pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). 

Dalam konteks milenian dan gen Z, hal itu bisa dilihat dari akun media sosialnya (medsos) milik Sandiaga yang kerap menggunakan budaya populer dalam komunikasi politiknya. 

Berbagai konten yang di unggah Sandi dalam platform medsos pribadinya sejatinya bukan tanpa alasan. Omer M. Manhaimer melalui tulisannya yang berjudul Between Pepe and Beyoncé: The Role of Popular Culture in Political Research kiranya menjelaskan postulat tersebut.. 

Dengan mengutip pendekatan Foucault, Manhaimer menjelaskan budaya populer dapat dipahami sebagai stok luas atas pengetahuan, bentuk-bentuk, analogi, simbol, dan teknik sosial yang dapat dikomunikasikan dan digunakan oleh aktor-aktor sosio-politik untuk memengaruhi lingkungannya. 

Kelebihan dari budaya populer ini adalah menjangkau masyarakat yang tidak terlibat dan mengikuti perkembangan politik. Selain itu, budaya populer ini juga mampu menjangkau individu-individu secara lebih personal. 

Atas dasar itu, dapat dipahami maksud dari Sandi yang kerap menggunakan budaya populer untuk menjangkau pengikutnya di medsos. Hal itu karena budaya populer menjadi bahasa yang lebih universal dan mudah diterima di dunia maya. 

Saat berkunjung ke Korea Selatan (Korsel), misalnya, Sandi melakukan joget Gangnam Style yang sempat viral milik seorang penyanyi rap asal Korsel, PSY. Tentu, tak ketinggalan media sosial menjadi media Sandi untuk mengekspose kegiatannya itu. 

Lalu, Sandi juga sempat menjadi orang pertama yang menyampaikan kabar kedatangan band asal Inggris, Coldplay. Baru-baru ini, Sandi juga turut mengomentari terkait adanya dugaan monopoli konser penyanyi Amerika Serikat (AS), Taylor Swift. 

Akan tetapi, dengan berbagai investasi politik yang telah dibangunnya, seperti membangun dengan entitas Islam dan anak muda, Sandi kiranya masih belum cukup bersaing untuk kontestasi 2029 mendatang. 

Utamanya, ini saat berkaca pada PPP yang menjadi kendaraan politik Sandi dinilai masih belum cukup menjanjikan untuk mengantarkannya maju sebagai kandidat dalam kontestasi elektoral 2029 mendatang.

Baca juga :  Ridwan Kamil dan "Alibaba Way"
sandi tak senang nostalgia anies

Harus Balik ke Gerindra? 

Dengan segala investasi politik yang sudah dibangun Sandiaga Uno, tampaknya sungguh sangat disayangkan jika politisi muda potensial seperti dirinya absen dalam kontestasi politik 2029 hanya karena kendaraan politik yang kurang memadai. 

Niccolò Machiavelli melalui karyanya Il Principe menjelaskan banyak aspek politik, termasuk strategi politik dan kesalahan yang dapat mengakibatkan kehancuran politik seorang pemimpin. 

Salah satu konsep yang relevan adalah pentingnya politisi untuk memahami dinamika kekuasaan politik dan memilih aliansi yang tepat. 

Machiavelli menekankan bahwa politisi harus cerdas dalam memilih sekutu dan tidak boleh mengandalkan aliansi yang tidak stabil atau tidak dapat diandalkan. 

Berkaca dari penjelasan Machiavelli itu, Sandi tampaknya harus mempertimbangkan kembali apakah PPP dapat membawanya bersaing dengan kandidat-kandidat lain untuk 2029 mendatang. 

Hal ini disebabkan oleh seringnya terjadi ketidakstabilan di internal PPP yang nantinya berpotensi untuk mempengaruhi tingkat keterpilihannya. 

Meskipun PPP adalah partai legendaris, isu keretakan internal dapat memegaruhi kinerja mesin politik partai hingga kemungkinan pada akhirnya nanti akan mempengaruhi elektabilitas para kadernya, termasuk Sandi. 

Selain itu, branding PPP yang seolah mulai bergeser ke arah yang lebih terbuka agaknya justru menjadi pisau bermata dua. Sunny Tanuwidjaja pun telah menyiratkan hal itu dalam tulisannya yang berjudul PKS in Post-Reformasi Indonesia. 

Sunny menjelaskan, masuknya partai Islam ke spektrum moderat justru membuat mereka perlu berupaya lebih keras mendapatkan dukungan publik. 

Ini karena mereka akhirnya harus berkompetisi dengan partai-partai nasionalis yang sudah lebih dulu berpengalaman memperoleh suara kalangan nonkonservatif Indonesia. 

Dari penjelasan itu dapat dipahami jika keputusan Sandi yang turut mengidentikkan diri dekat dengan entitas Islam dan kemudian bergabung dengan PPP tampaknya belum cukup untuk membawa Sandi untuk bisa dilirik dan bersaing, tentu jika berbicara Pilpres 2029. 

Hal ini membuat spekulasi terkait kemungkinan Sandi untuk berpindah ke parpol yang lebih stabil menjadi hadir di meja analisis. 

Namun, ada hal perlu diingat, Sandi yang baru bergabung dengan PPP pada Juni 2023 lalu akan mendapat impresi negatif jika memilih untuk kembali hijrah ke parpol lain. 

Ini juga akan berpengaruh dan berpotensi menghancurkan investasi politiknya yang selama ini dibangun. Plus, merusak reputasinya yang bisa dicap “politisi ngontrak” 

Hal yang paling rasional bagi Sandiaga Uno saat ini adalah membenahi partai berlambang Ka’bah itu untuk mengembalikan kejayaan mereka, hingga kemudian menjadi parpol yang dilirik oleh para pemilih maupun sesama parpol. 

Rebranding yang tepat –  hingga radikal –,  menata kaderisasi, hingga opsi merangkul public figure terkenal  kiranya tak berlebihan diupayakan Sandi melalui lobi politik internal, mengingat jabatan dan pengaruh dirinya di PPP belum dapat dikatakan signifikan. 

Menarik untuk melihat pilihan mana yang akan diambil oleh Sandi agar dirinya dapat bersaing dalam kontestasi politik 2029 mendatang. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?