HomeNalar PolitikMenakar Peran Internasional JK vs Ma'ruf

Menakar Peran Internasional JK vs Ma’ruf

Setelah tidak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden (wapres), Jusuf Kalla (JK) dikabarkan akan menjadi utusan khusus Indonesia untuk menangani konflik Palestina hingga Afghanistan. Kabar ini bisa jadi kembali menguatkan sinyal bahwa dalam periode pemerintahannya yang kedua Jokowi ingin JK tetap berada di lingkaran istana. 


PinterPolitik.com 

Rencana dijadikannya JK sebagai utusan khusus diutarakan oleh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan setelah sidang kabinet paripurna terakhir diselenggarakan di Istana Negara. 

Indonesia memang sudah lama terlibat dalam konflik Palestina.

Setidaknya, sejak tahun 1955 Indonesia sudah mengakui kedaulatan Palestina dengan mengundangnya dalam Konferensi Asia-Afrika. Pada tahun 1988, Indonesia juga menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina.

Sementara untuk Afghanistan, keterlibatan Indonesia baru dimulai tahun lalu ketika Jokowi berkunjung ke Afghanistan. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Afghanistan Ashraf Gani dikabarkan secara resmi meminta Indonesia terlibat sebagai mediator dalam konflik negaranya.

Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah kenapa Jokowi membutuhkan JK untuk menangani konflik di negara lain? 

Bukannya Jokowi sudah memiliki Wapres baru yaitu Ma’ruf Amin yang bisa jadi lebih cocok untuk berhubungan dengan Palestina dan Afganistan mengingat Ma’ruf memiliki latar belakang Islam yang kuat?

JK Sang Mediator Ulung

Rencana penunjukkan JK sebagai utusan khusus Palestina dan Afghanistan cukup masuk akal mengingat pria kelahiran Sulawesi Selatan tersebut sudah memiliki banyak pengalaman resolusi konflik di dunia internasional.

Dalam pandangan William Liddle, salah satu keunggulan JK terletak pada internasionalismenya, melengkapi tipe kepemimpinan SBY yang cenderung nasionalis. Hal tersebut boleh jadi terjadi pula di era Jokowi.

JK terkenal karena dianggap membawa perdamaian pada konflik di Aceh, Poso, dan Ambon. Selain itu, ia juga terlibat dalam konflik di negara lain seperti konflik Thailand Selatan, Mindanao di Fiilipina, dan Rohingya di Myanmar.

Hal-hal tersebut membuat JK menerima gelar ‘Pembuat Perdamaian’ dan doktor honoris causa alias Doktor Kehormatan dari Rajamangala University of Technology of Isan (RMUTI), Thailand, pada tahun 2017.

Kemudian, tahun lalu JK juga menerima gelar yang sama dari Universitas Hiroshima Mitsuo Ochi karena dedikasinya dalam menyelesaikan berbagai konflik.

Tidak hanya dalam urusan resolusi konflik, dalam lima ke belakang Jokowi memang sering mengandalkan JK untuk tampil di panggung internasional.

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?

Selama lima tahun berturut-turut, mantan Ketua Umum Partai Golkar ini selalu menggantikan Jokowi dalam Sidang Umum PBB. Pada tahun 2015, JK juga menjadi wakil Indonesia dalam KTT ASEAN di Langkawi, Malaysia.

Lalu, pada tahun 2018, JK juga memimpin delegasi Indonesia pada KTT G20 di Buenos Aires, Argentina. JK juga menggantikan Jokowi pada Konferensi Tingkat-Tinggi One Belt One Forum (KTT OBOR) di Beijing, Tiongkok, pada April lalu.

Secara spesifik, ketika wakil pimpinan sekaligus pendiri Taliban datang ke Jakarta Juli lalu, JK-lah yang menemui mereka.

Selain karena pengalamannya, tidak menutup kemungkinan bahwa rencana penunjukannya sebagai utusan khusus Indonesia berkaitan dengan kemampuan Jokowi dan Ma’ruf dalam menangani isu-isu internasional.

Ketika terpilih menjadi presiden pada tahun 2014, beberapa pihak menilai bahwa Jokowi tidak memiliki pengalaman dalam urusan hubungan luar negeri, terlebih lagi jika dibandingkan pendahulunya Susilo Bambang Yudhoyono.

Jokowi disinyalir menyadari kelemahannya tersebut dan mendelegasikan tugas-tugas terkait hubungan luar negeri ke beberapa pejabat atau ahli termasuk JK.

Lalu bagaimana dengan kemampuan hubungan internasional Ma’ruf?

Jika dibandingkan JK, nampaknya kiprah Ma’ruf di dunia internasional hanya sedikit terdengar.

Ia sendiri baru ramai mendapatkan sorotan internasional ketika diisukan akan menjadi cawapres Jokowi. Pada saat itu, Ma’ruf oleh berbagai media internasional lebih dilihat sebagai sosok ulama konservatif dengan latar belakang MUI dan NU yang kuat.

Diluar urusan keagamaan, Ma’ruf juga lebih dikenal sebagai sosok ekonom dimana ia memiliki beberapa jabatan seperti profesor di bidang Ekonomi Muamalat Syariah dan Ketua Dewan Pengawas Syariah di Bank Syariah Mandiri serta BNI Syariah. 

Namun bukan berarti Ma’ruf berdiam diri.

Dalam beberapa kesempatan ia terlihat mencoba mempromosikan dirinya di dunia internasional.

Misalnya ketika ia bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Mahathir Mohamad, September tahun lalu.

Dua bulan kemudian ia memberikan kuliah umum di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura. Penampilan Ma’ruf tersebut cukup mendapat sorotan internasional karena ia memperkenalkan konsep Wasathiyah Islam alias Islam Jalan Tengah.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Kelemahan Ma’ruf ini sebenarnya bisa dimaklumi karena sejak awal kemampuan hubungan internasional bukanlah kriteria yang dicari Jokowi dari seorang Ma’ruf.

Kesempatan dan Hambatan

Meskipun JK memiliki pengalaman dalam proses resolusi konflik di negara lain, bukan berarti keterlibatan Indonesia di Afganistan tidak akan menemui hambatan.

Menurut Ahmad Rizky M. Umar, peneliti di University of Queensland, ada tiga hal yang menghambat keterlibatan Indonesia di Afganistan.

Pertama, adanya perbedaan karakter antara Islam di Indonesia dengan Islam di Afganistan. Di Afganistan, secara politik Islam memiliki ikatan dengan kelompok suku dan etnik yang memiliki banyak kepentingan.

Kedua, terbatasnya keterlibatan Indonesia terhadap kekuatan politik Islam di Afganistan dan perbedaan karakter antara Taliban dengan kelompok-kelompok jihad lokal yang selama ini dihadapi Indonesia.

Ketiga, adanya konteks geopolitik dan lingkungan strategis Asia Selatan yang harus dipertimbangkan oleh Indonesia.

Namun Umar juga berpendapat bahwa Indonesia memiliki dua kesempatan dalam konflik Afghanistan.

Pertama, keterlibatan di Afghanistan dapat meningkatkan pengakuan dunia internasional terhadap diplomasi kemanusiaan Indonesia. Kedua, meningkatnya kerjasama sosial dan pendidikan antar kedua negara.

Mengenai motif, menurut beberapa pihak alasan Jokowi ingin pemerintahannya terlibat dalam konflik Afghanistan adalah untuk mendorong citranya sebagai seorang pemimpin muslim di dunia.

Terakhir, dijadikannya JK sebagai utusan khusus memperkuat kembali sinyal bahwa dalam periode pemerintahannya yang kedua Jokowi ingin JK.

Sebelumnya Jokowi sudah mengungkapkan bahwa ia ingin JK tetap membantunya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Dipertahankannya JK ini bisa jadi merupakan strategi Jokowi untuk menyeimbangkan pengaruh parpol dalam periode pemerintahannya yang kedua.

Dengan kelemahan yang dimiliki oleh Jokowi dan Ma’ruf, jika benar-benar dijadikan sebagai utusan khusus ataupun Wantimpres tidak menutup kemungkinan peran JK dalam hubungan luar negeri Indonesia tidak hanya terbatas di isu Palestina dan Afghanistan.

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Amerika, Kiblat Prabowo Untuk Pertahanan?

Komponen Cadangan (Komcad) menjadi salah satu program yang akan dikerjakan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Hal yang menarik adalah dalam menjalankan program tersebut,...

Digdaya Ekonomi Islam Melalui Ma’ruf

Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengatakan bahwa dirinya akan mendorong perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, mulai dari sektor industri produk halal hingga perbankan syariah....

Transparansi Anggaran Pertahanan: Prabowo Vs DPR

Terjadi perdebatan dalam rapat kerja perdana Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan) ketika Prabowo menolak permintaan beberapa anggota dewan untuk...