Bagaimana kualitas lagu #2019GantiPresiden bila dibandingkan dengan lagu bernada kritik politis lainnya?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]aat polemik seputar pencipta lagu #2019GantiPresiden belum sepenuhnya tuntas terbahas, kini lagu tersebut sudah hadir video klipnya. Di dalam klip video, mata akan menangkap banyak sosok familiar, seperti Ketua Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais, Ketua MPR Mardani Ali Sera, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, musisi Ahmad Dhani, hingga Fauzi Baadila.
Pramono Anung selaku Sekretaris Kabinet langsung menanggapi bahwa lagu #2019GantiPresiden hanyalah sekedar lucu-lucuan saja dan tak perlu ditanggapi dengan serius. Dalam pemerintahan demokratis kehadiran hal-hal seperti itu biasa saja dan tak perlu diambil pusing.
Apa yang Pramono katakan selain benar adanya, juga mendapat sambutan dari Neno Warisman yang ikut menyanyi dan tampil dalam video #2019GantiPresiden. Satu-satunya perempuan yang terlibat dalam lagu dan video #2019GantiPresiden tersebut berkata untuk tidak perlu menganggap lagu sebagai momok atau hal menakutkan.
Seskab Pramono Anung mengatakan, hashtag dan nyanyian #2019GantiPresiden lucu-lucuan || Mantab, jangan ada kriminalisasi dan tak perlu panik, biarkan rakyat memperbesar sosialisasi.https://t.co/aUheaLScpb
— Mardani Ali Sera (@MardaniAliSera) June 6, 2018
Terlepas dari pernyataan Pramono Anung yang menganggap lagu #2019GantiPresiden sebagai bentuk lucu-lucuan, pencipta lagu, John Sang Alang, berkata bahwa dirinya tidak menyangka dan bahagia bahwa lagunya ternyata bisa viral.
Lebih jauh lagi, karyanya ini bisa mempertemukan dirinya dengan tokoh elit politik dan sesama seniman untuk berkolaborasi. Karya penyanyi rock tahun 90-an ini lahir dari kegelisahan melihat keadaan yang serba susah di masa pemerintahan Jokowi. Sang Alang juga menambahkan, berkat pergaulannya dengan petani dan tukang becak, ia jadi sadar bahwa saat ini keadaan dalam negeri sedang tidak baik-baik saja.
Pramono Anung boleh saja meremehkan lagu yang dianggap sebagai antitesis pemerintahan Jokowi. Namun perlu diketahui, bahwa musik atau lagu sebagai wadah komunikasi dalam politik punya kekuatan dan potensi meraup suara rakyat, menyebarkan kesadaran (awareness), bahkan menginspirasi melahirkan gerakan sosial.
Dengan asumsi tersebut, tak menutup kemungkinan lagu #2019GantiPresiden bisa bertaring suatu hari. Tetapi setajam apa?
Musik (Kritik), Bisa Berbahaya
Pada 860 sebelum masehi, Plato sudah mewanti-wanti untuk menutup musik. Ia tak main-main saat berkata bila penemuan musik (musical invention) punya potensi mengubah hukum fundamental yang ada. Maka dari itu, ia berkesimpulan jika musik berbahaya dan harus dimusnahkan.
Apa yang dikatakan Plato memang terasa berlebihan, tetapi bila menilik dalam konteks politik, musik sebagai alat komunikasi politik punya potensi kekuatan tak sedikit. Namun begitu, bukan berarti semua lagu bernada kritik politis, otomatis memiliki makna dan kekuatan besar. Ada kriteria tertentu untuk menentukannya.
John Street, profesor politik dari University of Anglia mengemukakan dalam tulisannya berjudul Music as Political Communication, bahwa musik sebagai media komunikasi politik bisa memiliki ‘pengaruh’ bila mampu menarik perhatian (appeal) masyarakat yang tertekan atau tertindas, tetapi juga mampu mendulang simpati dari masyarakat lainnya. Dari sanalah kekuatan dan rekognisi bisa tercapai.
Dengan gambaran yang diberikan oleh John Street, bisa dipahami mengapa lagu berjudul “This is America” dari Childish Gambino asal AS, bisa viral dan meledak di seluruh dunia dalam waktu cepat. Di dalam lagu dan videonya, penyanyi tersebut mengkritik rasisme sistemik dan kebijakan senjata AS yang destruktif.
Kritik dalam lagunya itu tentu menarik hati (appeal) masyarakat kulit hitam kebanyakan, sekaligus mendulang simpati dari warga non kulit hitam untuk peduli pada kasus rasisme yang terjadi. Alhasil lagu tersebut bisa menggerakkan warga kulit hitam di belahan negara lain untuk membuat hal serupa, contohnya “This is Nigeria”.
Dari kasus di atas, keberadaan simpati dan menarik hati, juga lekat dengan unsur emosional yang ditimbulkan oleh musik. Keberadaan sisi emosional ini mampu menyatukan pengalaman. Hal ini tercetak dalam buku berjudul Rhythm and Resistance karya Ray Pratt. Pratt berkata bahwa musik memang belum tentu mampu memproduksi afek (rasa) dalam tenggang waktu yang lama dan luas, namun secara temporal sangat kuat.
Kesamaan afek yang dirasakan dalam waktu temporal ini, saking kuatnya mampu menghadirkan rasa soldaritas pula. Bila ditarik kembali, kehadiran afek atau emosi pada sebuah lagu atau musiklah yang pada akhirnya membuat masyarakat tertarik dan bersimpati, sehingga keberadaan lagu politis menjadi kuat dan terekognisi.
Musik Mendongkrak dan Menghentikan Perang
Musik sebagai alat komunikasi politik tak hanya berupa kritik saja, seperti halnya lagu #2019GantiPresiden atau Childish Gambino. Kegunaannya bisa banyak ditemui pula saat kampanye pemilihan umum.
Tengok Pilpres 2014 lalu, di mana pasangan Jokowi – JK memiliki lagu kampanye ikonik berjudul “Salam Dua Jari”. Lagu tersebut, seperti yang dilansir Tirto, mampu menaikkan elektabilitas pasangan Jokowi – JK beberapa persen dibandingkan dengan pasangan Prabowo – Hatta.
Perolehan elektabilitas, seperti yang dicatat oleh Saiful Mujani Research Center (SMRC) bertambah naik saat Jokowi – JK mendapat dukungan dari musisi lokal seperti Slank hingga Gita Gutawa, dan musisi internasional seperti Jason Mraz, Sting, dan Arkana.
Lagu “Salam Dua Jari” dianggap apik merangkum dan menggambarkan personalitas pasangan nomor dua tersebut dan mudah diterima masyarakat.
Sisi emosionalitas atau afek dari musik, juga melahirkan rasa solidaritas dan persatuan. Contoh dari apa yang digariskan oleh Pratt ini, bisa dilihat dari lagu natal “Silent Night, Holy Night”. Lagu ini mampu menghentikan perang yang sedang berlangsung antara Jerman dan Inggris di tahun 1924 saat Perang Dunia I. Walau hanya berhenti sehari saja, peristiwa ini membuat para tentara hanya bisa berdecak, “sungguh tak bisa dipercaya!”
Saat kedua kubu hendak baku tembak, salah seorang tentara menyanyikan lagu dan dilanjutkan oleh musuh. Alhasil kedua kubu bernyanyi bersahutan dan meletakkan senjata. Setelah nyanyian selesai, para tentara kembali pulang. Bisa dikatakan Silent Night memiliki kekuatan afek nuansa natal yang lekat dengan keluarga dan kehangatan. Tak heran, sebab perang ini berlangsung pada 24 Desember 1924.
Hal tak jauh berbeda juga terdapat pada lagu “Bengawan Solo”. Lagu ikonik ciptaan Gesang ini memang lebih populer di luar negeri daripada di dalam negeri, pada awalnya. Saat akhir Perang Dunia II yang ditandai dengan hengkangnya Jepang dari tanah Indonesia dan kekalahan Jepang, hal yang bisa menghibur ternyata adalah Bengawan Solo. Lagu ini, kabarnya dibawa ke Jepang oleh satu tentara hingga akhirnya Gesang mulai terkenal dan mulai diapresiasi di dalam negeri.
Di Jamaika pun demikian. Dua partai oposisi yang sedang bersitegang merebutkan tempat melalui Pilpres, yakni Partai People’s National Party (PNP) dengan tokohnya Michael Manley, dengan Jamaica Labour Party (JLP) yang dipimpin Edward Seaga. Selain berebut kursi sebagai perdana menteri, mereka juga berebut restu Bob Marley dan lagunya berjudul “Rat Race” yang bicara soal politikus korup.
Alih-alih mendukung salah satunya, Marley membawa kedua tokoh tersebut ke atas panggung One Love Peace dan berhasil membuat keduanya berpegangan tangan sebagai simbol persatuan.
Atas unsur emosional alias pemujaan berlebihan (kultus) pada sosok pemimpin pula, membuat lagu “Red Sun in the Sky” sampai saat ini bertahan menjadi lagu nasional Tiongkok. Lagu tersebut adalah lagu propaganda kuat untuk memuja Mao Zedong.
Bila melihat berbagai contohnya di atas, apakah lagu dari kelompok oposisi #2019GantiPresiden punya peluang untuk menancapkan pengaruh besar?
#2019GantiPresiden Masih di Awang-awang
Keberadaan lagu #2019GantiPresiden memang baru ada di tahap rekognisi, tetapi tahapan lainnya belum bisa diteropong lebih jauh.
Walau begitu, proses pencipta lagu John Sang Alang memproduksi karyanya sama dengan Childish Gambino yang mencipta lagu kritik politis “This is America”. Keduanya berangkat dari kegelisahan, bila Gambino gelisah terhadap keadaan yang dirasanya serba susah di masa pemerintahan Jokowi, Gambino gelisah atas rasisme sistemik dan kebijakan senjata yang sudah menelan banyak nyawa.
Tetapi ternyata daya “pengaruh” yang lahir ternyata berbeda walau sama-sama berpijak pada sebuah “kegelisahan”. Pengamat komunikasi politik dari UC Berkeley, Robert, berkata bahwa lagu kontra pemerintah yang menurutnya ‘bagus’ adalah yang mampu membuka dialog mengenai bagaimana yang seharusnya dlakukan, bagaimana keadaan yang dianggap ideal, daripada hanya merenungi ketidakadilan yang ada.
Maka dari itu, Robert menganggap lagu Gambino dan Kendrick Lamar berjudul “Alright” mampu membawa kritik politis terhadap pemerintah ke level yang berbeda.
Nah sekarang pertanyaannya, mampukah lagu #2019GantiPresiden membawa ruang dialog yang sama, selain tentunya, mampu merebut hati (appeal) dan simpati masyarakat luas? (A27)