Site icon PinterPolitik.com

Menakar Ketimpangan Ekonomi Indonesia

Menakar Ketimpangan Ekonomi Indonesia

Potret kesenjangan sosial dan ekonomi Indonesia (foto: sdgcenter.unpad.ac.id)

Kondisi ketimpangan ekonomi di Indonesia kian memprihatinkan. Selama hampir setengah abad, ketimpangan selalu menjadi momok paling menakutkan di republik Ini.


PinterPolitik.com

Tajamnya disparitas ekonomi di Indonesia bukan sekadar isapan jempol. Kondisi memprihatinkan ini pernah dikemukakan organisasi nirlaba yang berbasis di Inggris, Oxfam International, dan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), bahwa kesenjangan ekonomi Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Rusia, India, dan Thailand.

Oxfam pernah mengeluarkan rilis tentang konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang super kaya di Indonesia, yakni kekayaan empat orang terkaya setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin.

Selain itu, Tim Riset CNCB Indonesia juga sempat mengeluarkan rilis tentang indeks ketimpangan global yang mana Indonesia menempati urutan ke-62 dari 139 negara yang disurvei Bank Dunia. Di antara negara-negara tersebut, posisi 10 besar negara dengan tingkat ketimpangan ekstrem ditempati negara-negara dari Amerika Selatan dan Afrika.

Untuk skala regional ASEAN, kondisi ketimpangan ekonomi Indonesia bahkan berada di peringkat ke-2 di bawah Thailand. Sedangkan, Brunei merupakan negara dengan tingkat ketimpangan paling rendah.

Sementara jika dilihat dari indeks Komitmen Mengurangi Ketimpangan (CRI) Oxfam 2018, Indonesia menduduki peringkat ke-90, masih di bawah Thailand (74) dan Malaysia (75). Posisi teratas ditempati Denmark di urutan 1, menyusul Jerman (2), Finlandia (3), Austria (4), Norwegia (5). Satu-satunya negara Asia yang meraih poin tertinggi hanya Jepang di urutan ke-11.

Lalu mengapa hal itu dapat terjadi?

Land Grabbing

Ketimpangan ekonomi Indonesia boleh jadi berkaitan erat dengan aksi perampasan tanah (land grabbing) yang berdampak pada kehilangan faktor produksi sekaligus sumber kehidupan dan penghidupan warga di kawasan perdesaan. Akibat dari fenomena ini, jumlah kemiskinan kian bertambah disertai jurang ketimpangan yang semakin melebar dari waktu ke waktu.

Pertanyaannya, bagaimana menghubungkan fenomena land grabbing terhadap realitas ketimpangan ekonomi di Indonesia?

Fenomena perampasan tanah (land grabbing) yang terus meningkat dari waktu ke waktu seiring laju ekspansi kapital berdampak pada akuisisi lahan secara besar-besaran – yang dalam tulisan ini menyebutnya sebagai fenomena perampasan tanah.

Fenomena tersebut ditandai pelepasan ruang hidup masyarakat, khususnya di daerah perdesaan – para petani – dalam rangka memenuhi sirkulasi kapital yang terus berekspansi hingga ke berbagai pelosok guna menjaga mata rantai kapitalisme global terus bertahan hidup.

Istilah Land grabbing (perampasan tanah) pertama kali diperkenalkan oleh sebuah lembaga pertanian GRAIN di Spanyol pada tahun 2008. Hal itu merujuk pada pengambilan tanah-tanah pertanian oleh perusahaan besar lewat investasi agribisnis.

Land grabbing termasuk sebuah peristiwa global, yang tidak hanya terjadi di Indonesia. Wilayah seperti Afrika, sebagaimana disebutkan Syahyuti dalam Global Phenomena of Land Grabbing and the Impact of the Local Farmers Welfare merupakan target utama bagi investasi skala besar ini.

Dalam konteks Indonesia, fenomena land grabbing memiliki sejarah cukup panjang, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, dalam perkembangannya, fenomena perampasan lahan di Indonesia bertemali dengan pelaksanaan mandat UU no 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

Memasuki era reformasi, kebijakan agraria bahkan belum juga mengalami kemajuan berarti. Hal ini sempat disentil peneliti dari the Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, yang menilai pelaksanaan reforma agraria pascareformasi belum ada kemajuan.

Hal ini sebagaimana mengacu pada Laporan akhir Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2016, bahwa sepanjang tahun 2016 sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Jumlah ini hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai jumlah 252 konflik agraria. Jika ditotal, setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat dalam konflik.

Kasus seputar konflik agraria tidak berhenti di situ. KPA mencatat, sepanjang 2015-2018, sebanyak 642 kasus terkait konflik agraria kembali terjadi di seluruh wilayah Indonesia.

Lalu, apa yang bisa dimaknai di balik gejala tersebut?

Annelies Zoomers dalam Globalisation and the foreignisation of space: seven processes driving the current global land grab menyebut fenomena land grabbing belakangan terjadi akibat maraknya globalisasi, liberalisasi pasar tanah dan investasi asing.

Ketiga faktor tersebut berpengaruh luas dalam konteks percepatan land grabbing di seluruh dunia. Di Indonesia, kasus land grabbing melalui modus investasi juga disinggung Zoomers dengan mengambil contoh kasus di Kalimantan, di mana penggunaan lahan bagi ekspansi kelapa sawit meningkat tajam. Pada awal 1990an dari luas lahan 500.000 hektar meningkat mencapai lebih dari 3.2 juta hektar.

Seperti diketahui, dampak dari perampasan lahan kebanyakan para petani kehilangan faktor produksi sekaligus sumber penghidupan mereka. Dari sini lah sumber kemiskinan beranak pinak. Seperti diteliti Tania Murray Li dalam Exit from agriculture: a step forward or a step backward for the rural poor? bahwa sesudah pekerja keluar dari tanah miliknya – akibat masifnya aksi penjarahan ruang hidup petani – dia malah semakin miskin dan terpuruk.

Yang harus dicatat, saat petani kehilangan alat produksi dan sumber penghidupan (tanah), mereka mengalami fase transisi, antara menjadi buruh (labour), pedagang (skala mikro dan menengah) atau tidak memiliki pekerjaan sama sekali (unemployment).

Kebanyakan dari petani yang alih profesi tergolong dalam pekerja informal alias mereka yang sangat rentan mengalami krisis finansial dan jauh dari jaminan perlindungan sosial.

Kondisi kemiskinan yang disumbang oleh kehilangan faktor produksi para petani yang berakibat pada penurunan jumlah petani berkorelasi dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut banyak penduduk miskin berasal dari para petani. Mereka termasuk para petani yang hanya memiliki secuil lahan, ataupun yang sudah kehilangan tanah garapannya.

Membongkar Modus Operandi

Di awal telah disinggung terkait bagaimana sirkulasi kapital bergerak dalam rangka mempertahankan mata rantai kapitalisme global yang belakangan semakin masif menggempur teritori pinggiran. Ibarat aliran darah, sirkulasi kapital terus-menerus memburu ruang-ruang baru bagi ekspansi kapital demi menjaga kelangsungannya.

Tanpa menemukan ruang baru, kapitalisme dipastikan bakal menemui azalnya. ‘Ruang’ bagi kapitalisme ibarat darah bagi tubuh manusia. Tanpa aliran darah yang normal, seseorang dipastikan tak akan lama hidup. Demikian halnya dengan cara kerja kapitalisme mutakhir.

Studi mengenai geo-kapital belakangan banyak disumbang oleh David Harvey. Melalui pembacaan accumulation by dispossession (akumulasi melalui penjarahan), Harvey mengungkapkan adanya sentralisasi kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir orang – produk dari kebijakan neoliberal – memungkinkan mereka terus melakukan perampasan kekayaan dan tanah milik warga.

Hal serupa kembali dipertegas oleh murid Harvey, Neil Smith dalam Uneven Development: Nature, Capital and the Production of Space, yang menyebut dengan proses penjarahan dan pembentukan ruang bagi akumulasi (lebih lanjut), modus kapitalisme mutakhir melalui fenomena land grabbing dapat dipahami dalam konteks bagaimana alam diproduksi.

Perdana Putri dalam Penjarahan Ruang dalam Kapitalisme menggunakan pendekatan Smith, menulis, kapitalisme melakukan proses diferensiasi-penyeragaman yang inheren dalam ketimpangan pembangunan untuk mencari ruang yang tetap (spatial fix) dan keseimbangan ruang (spatial equilibrium). Dalam artian, kapitalisme senantiasa memerlukan ruang agar menjaga nafasnya tetap hidup.

Dengan demikian, ‘ruang’ menjadi prasyarat mutlak bagi kelangsungan kapitalisme. Hal ini pula yang menjadi kerangka pembacaan untuk memahami fenomena perampasan tanah di satu sisi, dan pemiskinan warga lokal di sisi lain di Indonesia.

Ketimpangan dan kemiskinan yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perampasan tanah yang juga berarti penjarahan ruang hidup masyarakat lokal. Meningkatnya konflik agraria menjadi penanda kuatnya aksi penjarahan ruang hidup warga lokal dari waktu ke waktu.

Soal ketimpangan kepemilikan lahan pernah dipaparkan Transformasi untuk Keadilan (TuK), bahwa sebagian besar tanah di Indonesia terkonsentrasi di tangan kelompok korporasi besar di Indonesia. Disebutkan, rata-rata petani kecil hanya menguasai seperempat hektar lahan, yang hampir tak mampu memenuhi kebutuhan pangan untuk kebutuhan keluarga mereka sendiri.

Sebaliknya, ada sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi. Dari 5,1 juta hektare (51.000 kilometer persegi), sebanyak 3,1 juta hektare telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami. Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sekitar 10 juta hektare. Kelompok perusahaan itu dikendalikan 29 taipan yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek, baik di Indonesia dan luar negeri.

Merespons kondisi ketimpangan tersebut, pemerintah di bawah eks Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Darmin Nasution, kala itu menyebut pemerintah terus berkomitmen mengatasi masalah ketimpangan melalui kebijakan reforma agraria, yang salah satu poinnya adalah memberikan modal kepada para petani (kecil) selain membagi-bagikan tanah.

Pemerintah saat itu beranggapan, membagi-bagikan tanah saja tidaklah cukup, jika tidak disertai dengan pemberian modal dan pembentukan kelompok tani. Sekilas, ide tersebut terbilang menarik. Namun, bagaimana realisasinya kini?

Dilansir dari Liputan6, kebanyakan para petani mengaku kesulitan menadapatkan akses modal. Hal itu berdampak pada banyaknya petani yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka terpaksa mencari modal dengan cara lain.

Melihat kenyataan ini, patut mempertanyakan komitmen pemerintah dalam mengurai masalah ketimpangan. Akankah komitmen tersebut dapat diwujudkan di era pemerintahan saat ini? Kita tunggu saja bagaimana kisah selanjutnya. (H57)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version