Menag baru Yaqut Cholil Qoumas tampaknya memiliki track record perspektif yang lebih moderat terhadap Israel. Lalu, apakah hal itu punya signifikansi tertentu, termasuk korelasinya dengan pendekatan AS pada Indonesia belakangan ini?
Usai sudah kiprah Fachrul Razi sebagai Jenderal pertama sejak Orde Baru (Orba) yang menjabat posisi Menteri Agama (Menag). Ini setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa sore kemarin secara resmi mengganti Fachrul dengan Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut.
Sosok 45 tahun yang juga merupakan tokoh Nadlatul Ulama (NU) menjadi yang termuda di antara enam punggawa baru Kabinet Indonesia Maju.
Gus Yaqut sendiri merupakan merupakan putra dari KH Muhammad Cholil Bisri, salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebelum ditunjuk Presiden Jokowi, dirinya merupakan anggota komisi II DPR RI, plus Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor (PP GP Ansor).
Yang menarik, penunjukan Gus Yaqut seolah mengejutkan lantaran kabar sebelumnya menyebut sang kakak Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya Staquf-lah yang menjadi kandidat kuat Menag baru.
Bahkan hingga detik-detik terakhir, sejumlah media tampak tertypu ketika tidak menampilkan biodata Gus Yaqut dalam liputannya, berbeda dengan Menteri baru lain.
Atau bahkan masih ada media yang justru menampilkan nama dan biodata Gus Yahya Staquf saat breaking news pengumuman enam menteri baru Presiden Jokowi.
Di sisi lain, terdepaknya Fachrul di mata publik juga mungkin tidak segenting pergantian Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto yang dinilai memang memiliki urgensi tersendiri. Atau Menteri Kelautan dan Perikanan (Men KP) Edhy Prabowo plus Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara yang tersandung kasus korupsi.
Karenanya hal itu kemudian menimbulkan pertanyaan tersendiri mengapa posisi tersebut harus dirombak saat ini? Serta mengapa pula sosok Gus Yaqut yang kemudian dipercaya oleh Presiden Jokowi untuk menempati posisi Menag?
Strategi Persuasif Isu Israel?
Jika menilik dari track record-nya, visi yang menonjol dari Gus Yaqut tampak tidak jauh berbeda dengan sang kakak, khususnya dalam konteks Israel dan Palestina.
Seperti yang diketahui, pada 2018 lalu kontroversi sempat mencuat saat Gus Yahya Staquf bertandang ke Israel dalam agenda diskusi di forum American Jewish Committee (AJC).
Baca juga: Saga Panas Menag Fachrul vs DPR
Ketika kabar eksistensi Gus Yahya Staquf dalam diskusi itu sampai ke tanah air, kritikan seketika berdatangan. Tak mengherankan memang, karena secara tradisi diplomatik hal itu menjadi tidak lazim, plus ketika itu bersamaan dengan momentum polemik penetapan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel yang dipromosikan Amerika Serikat (AS).
Kendati demikian, sejumlah pihak termasuk Gus Yaqut membentengi sang kakak dengan menyebut langkah tersebut merupakan upaya awal dalam prospek jangka panjang bagi perdamaian di Palestina.
Gus Yaqut kemudian berujar bahwa ikhtiar atau usaha untuk perdamaian, sekecil apapun, tidak akan pernah sia-sia. Ihwal inilah yang menyiratkan bahwa secara track record, paradigma Gus Yaqut tampak merepresentasikan style serta pendekatan yang dilakukan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada isu Israel dan Palestina.
Dalam Indonesia’s Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical or Status Quo State?, Anthony Smith menyebut Gus Dur memiliki cara yang berbeda dalam melihat Israel-Palestina.
Presiden keempat RI itu disebut percaya bahwa untuk dapat secara efektif berkontribusi bagi perdamaian kedua negara, membuka hubungan dengan Israel menjadi satu hal yang esensial. Moralitas agama dianggap menjadi elemen penting dalam proses perdamaian.
Selain itu, dari sisi berbeda, hubungan dengan Israel juga diyakini secara tidak langsung dapat membuka perdagangan dan investasi lebih fleksibel dengan komunitas bisnis AS.
Berlandaskan paradigma moderat itulah Indonesia di bawah Gus Dur nyaris memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, meski akhirnya urung terlaksana bersamaan dengan turun takhtanya alumni Al Azhar Mesir itu.
Akan tetapi, nilai dan esensi dari Gus Dur pada konteks Israel-Palestina tampaknya masih terus hidup dan dianut oleh sejumlah sosok, salah satunya adalah Gus Yaqut.
Dengan isu normalisasi hubungan dengan Israel belakangan ini, plus potensi benefit yang ada, bisa saja penempatan Gus Yaqut sebagai Menag merupakan strategi persuasi kepada tokoh serta kelompok Islam arus utama yang mungkin akan dilakukan secara gradual.
Tentunya persuasi untuk memoderasi paradigma terhadap negeri Ben Gurion yang masih cukup jamak terdapat resistensi dari sejumlah pihak dan menjadi hambatan utama selama ini.
Mengingat dengan kewenangannya saat ini, Gus Yaqut dapat melakukan dialog dan konsolidasi konstruktif mengenai moderasi paradigma tersebut dengan lebih leluasa pada kelompok-kelompok Islam.
Tinggal jika memang presumsi tersebut benar, dukungan politik kekuasaan agaknya tetap dibutuhkan untuk dapat mempengaruhi sosok senior yang mungkin tidak dapat “dijangkau” Gus Yaqut, seperti Ma’ruf Amin dan lain sebagainya.
Dan jika skenario tersebut berjalan dengan mulus, bukan tidak mungkin benefit yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai efek dari pembukaan hubungan dengan Israel dapat direngkuh Indonesia.
Ada Persaingan AS dan Tiongkok?
Ketika berbicara mengenai benefit, penunjukan Gus Yaqut sebagai Menag plus visi inherennya atas isu Israel-Palestina, di permukaan tampak selaras dengan hasrat AS untuk mendorong Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Yang teranyar, lembaga investasi AS untuk luar negeri, International Development Finance Corporation (DFC), melalui CEO-nya Adam Boehler, mengatakan bahwa Indonesia dapat menerima investasi finansial senilai miliaran dolar AS jika dapat membuka relasi dengan Israel.
Ihwal yang semakin menambah variabel menguntungkan bagi Indonesia, tidak hanya secara filosofis akan efektivitas peran bagi perdamaian Israel-Palestina, tetapi juga profit materil yang memang sedang dibutuhkan negeri +62 untuk mendorong perekonomian yang terdampak hebat akibat pandemi Covid-19.
Pada dimensi berbeda, secara tidak langsung penetrasi AS dalam isu Israel di Indonesia di saat yang sama juga seolah dapat dipahami sebagai bagian dari usaha mengimbangi pengaruh Tiongkok.
Baca juga: Ketika AS-Tiongkok Rebutan NU
Thazha Varkey Paul dalam The Enduring Axioms of Balance of Power Theory menyebutkan teori balance of power sebagai sebuah strategi atau perilaku negara dalam upaya untuk melakukan perimbangan pada kekuatan dalam struktur internasional.
Salah satu konsep dari teori tersebut, yakni soft balancing atau penyeimbangan lunak berupa tindakan ekonomi dan diplomatik, diperlukan untuk menghambat negara tertentu berkuasa, sekaligus mencegah proyeksi kekuasaan dan dominasinya.
Selain dapat dibaca sebagai upaya perimbangan kuasa ekonomi Tiongkok di Indonesia, keselarasan di balik dorongan AS pada konteks Israel dengan visi Menag Yaqut pada ihwal yang sama, juga mungkin saja merepresentasikan prospek balancing pada dimensi kelompok Islam yang moderat seperti NU.
Karena realita yang ada, pengaruh Tiongkok atas kelompok-kelompok tersebut dinilai cukup signifikan. Hal ini tercermin misalnya dari berbagai beasiswa studi bagi para santri ke negeri Tirai Bambu maupun dukungan aspek pendidikan serta sosial-budaya lainnya.
Lalu, jika kembali pada salah satu kemungkinan bahwa penempatan Gus Yaqut di posisi Menag merupakan strategi persuasi mengenai isu Israel, sejauh mana siasat tersebut akan berhasil?
Terganjal Oposisi dan Simpatisannya?
Dalam sebuah wawancara, Gus Yahya menyebut bahwa ada dua kelompok di Indonesia ketika membicarakan masalah Palestina. Kelompok pertama ialah mereka yang sungguh-sungguh peduli dengan Palestina. Kelompok kedua hanya memanfaatkan masalah Palestina untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya di dalam negeri.
Kelompok kedua itulah yang kiranya akan menghambat probabilitas moderasi paradigma terhadap Israel, plus isu Palestina yang mungkin akan dipromosikan Menag Gus Yaqut.
Padahal, menurut Niruban Balachandran dalam In defense of Istibsyaroh, politik luar negeri RI membutuhkan dialog yang jujur dan terbuka tentang peran dan efektivitas Indonesia, utamanya pada isu Israel dan Palestina.
Namun demikian, hal itu plus moderasi perspektif atas hubungan diplomatik dengan Israel agaknya akan mendapat tantangan lain jika Menag Yaqut berhasil menunaikan strategi persuasi pada tokoh dan kelompok Islam arus utama.
Tantangan yang tentu berasal dari kelompok konservatif Islam lain yang kebetulan beroposisi dengan pemerintah seperti Front Pembela Islam (FPI) maupun yang datang dari partai politik (parpol) seperti PKS.
Padahal, terdapat rasionalisasi ketika Balachandran menyebut bahwa ada kekeliruan pada argumen praktik penjajahan yang bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 sehingga Indonesia menolak untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Faktanya, baik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Liga Arab, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau organisasi multilateral lainnya tidak secara resmi menetapkan Gaza atau Tepi Barat sebagai wilayah jajahan, hanya interpretasi atas preambule konstitusi Indonesia yang menyatakan hal itu.
Selain itu, “kutukan buta” selama ini jika Indonesia membuka interaksi dengan Israel juga dinilai menutup banyaknya peluang bagi solusi perdamaian Palestina.
Karenanya, moderasi paradigma agaknya menjadi sangat dibutuhkan saat ini dan menjadi tugas yang cukup esensial bagi Menag Yaqut kelak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca juga: Retno, Sengkarut Normalisasi Indonesia-Israel
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.