HomeNalar PolitikMenag Yaqut dan Amunisi Rahasia PKB

Menag Yaqut dan Amunisi Rahasia PKB

Apresiasi atas sikap toleransi dan pluralisme mengiringi gagasan Menag Yaqut untuk merevisi aturan yang selama ini dianggap mempersulit pendirian rumah ibadah kalangan minoritas. Lalu, mengapa gagasan semacam ini baru berani dimunculkan di eranya saat ini? Mungkinkah ada tendensi bernuansa politik di baliknya?


PinterPolitik.com

Diskursus mengenai persatuan, kebhinekaan, dan toleransi antar sesama mungkin sejak dini telah kita pelajari dalam sejumlah bidang studi di lembaga pendidikan formal maupun non-formal. Seperti dalam subjek sosial, kebangsaan, kewarganegaraan, hingga keagamaan.

Tak hanya itu, sebagai bagian dari ideologi bangsa yang gemanya tak pernah berhenti, esensi tiga poin itu semestinya telah melekat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari mindset di ranah konkret kehidupan sosial.

Namun entah mengapa, nilai-nilai itu kemudian tidak terartikulasikan dengan baik oleh segelintir kalangan yang perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, justru merepresentasikan sebuah hal yang kontraproduktif.

Isu yang kerap ditemui ialah perlakukan kurang elok dari oknum mayoritas terhadap kalangan minoritas, yang tercermin pada sejumlah kasus seperti diskriminasi sosial, hingga dalam konteks agama.

Khusus sampel kasus terakhir dapat terlihat dari masih kerap ditemuinya kasus penolakan terhadap aktivitas keagamaan tertentu maupun isu terhambatnya pendirian sejumlah rumah ibadah.

Kendati begitu, angin segar terasa berhembus saat sejumlah gagasan pemerintah mengemuka dan perlahan berupaya menutup rapat celah kemudaratan itu.

Ya, Kementerian Agama (Kemenag) belum lama ini membawa ekspektasi kesejukan bagi umat beragama, terutama mereka yang kesulitan mendirikan rumah ibadah dan tak jarang menimbulkan konflik berkepanjangan di sejumlah daerah.

Baca juga: Menag Yaqut dan Bayang Cuan AS

Aktornya sendiri tak lain dan tak bukan ialah sang Menteri, Yaqut Cholil Qoumas, yang menggagas dan berencana melakukan kajian ulang terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Apresiasi positif langsung menyambut gagasan Menteri Agama (Menag) Yaqut, seperti yang terlihat di linimasa media sosial. Hal itu dikarenakan sejauh ini sosok yang juga Ketua DPP PKB itu dianggap selalu mengedepankan dan menjunjung tinggi nilai moderasi, pluralisme, dan toleransi yang masih menjadi persoalan besar bangsa.

Secara teknis, regulasi itu sendiri selama ini jamak dinilai sejumlah kalangan dan pemerhati sebagai biang keladi masalah laten pembangunan rumah ibadah, termasuk gereja, di sejumlah wilayah Indonesia.

Data dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), tercatat sejak tahun 2015 hingga 2018, ada 51 gereja yang keberadaannya ditolak akibat tidak mengantongi rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Restu dari FKUB yang tertuang dalam regulasi dan menjadi prasyarat pendirian rumah ibadah, dinilai tak relevan ketika tidak mencerminkan kesetaraan sehingga keputusannya acapkali dinilai berat sebelah ke kelompok mayoritas penolak, terutama yang banyak terjadi di daerah.

Namun di atas itu semua, sebuah tanya kiranya menarik dikemukakan, ihwal mengapa Menag Yaqut tampak cukup signifikan membawa gagasan moderasi dan toleransi saat ini, dan seolah impresi gagasannya itu tampak berbeda jika dibandingkan dengan Menag di masa-masa sebelumnya?

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Ganyang Intoleransi, Misi Utama?

Memang jika dibandingkan dengan Menag sebelumnya, upaya-upaya konstruktif menyelesaikan isu intoleransi, khususnya persoalan izin rumah ibadah ini telah ada. Namun jika dibandingkan dengan Fachrul Razi misalnya, diskursus dan gagasan yang dikemukakan, tampak kurang revolusioner dan cenderung stagnan.

Di era Fachrul, gagasan hanya sampai pada keyakinan bahwa isu penolakan pembangunan rumah ibadah bisa selesai dengan cara musyawarah, dan bahwa dapat disesuaikan dengan kondisi demografi penganut agama.

Intoleransi sayangnya masih kerap menjadi persoalan alot di Indonesia. Namun, solusi jitu atas persoalan itu agaknya telah lama dikemukakan oleh filsuf Karl Popper dalam bingkai konsep masyhurnya, paradox of tolerance atau paradoks toleransi.

Menurut Popper, untuk menjaga masyarakat yang toleran, harus ada sikap intoleran terhadap intoleransi.

Baca juga: Menag Yaqut Tidak Paham Populisme Islam?

Popper menjabarkan paradoks ini dalam bukunya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dan menyatakan bahwa toleransi yang tak terbatas dapat memicu hilangnya toleransi itu sendiri. Artinya, jika toleransi juga diberikan kepada kaum intoleran, Popper menyebut bahwa masyarakat yang toleran akan hancur bersama toleransi. Ini karena aktivitas kelompok intoleran yang dibiarkan bebas justru ending-nya, dapatmenerabas nilai-nilai toleransi.

Dalam konteks pendirian rumah ibadah, pengamatan Halili Hasan, seorang peneliti Setara Institute, merefleksikan bahwa perwakilan FKUB dari agama Islam, tak sedikit yang berlatar belakang organisasi Front Pembela Islam (FPI). Yang meski belakangan telah dibubarkan pemerintah, namun tak menutup kemungkinan ideologi dan karakteristiknya masih tetap ada. Belum termasuk kelompok di luar itu dan tak terafiliasi dengan FPI yang juga kerap ditemui di akar rumput daerah.

Karenanya, dengan munculnya gagasan kajian terhadap regulasi pendirian rumah ibadah dan jika memang nantinya direvisi, Menag Yaqut mungkin ingin mengimplementasikan dan membangun esensi paradoks toleransi Popper itu, yang secara spesifik bisa saja bermuara pada tiga hal.

Pertama, memperbesar kelompok-kelompok masyarakat toleran. Kedua, membuka ruang-ruang yang lebih inklusif dengan keberagaman dan identitas. Ketiga, mempersempit kesempatan bagi kelompok-kelompok intoleran untuk memanfaatkan keadaan bagi kepentingannya sendiri.

Karena pada ranah sosial-politik kontemporer saat ini, isu toleransi dan pluralisme seolah masih terdampak residu-residu intrik sebelumnya, khususnya kasus Ahok pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, plus efeknya yang merembet ke narasi politik identitas hampir serupa namun dengan derajat berbeda di Pilpres 2019.

Robert W. Hefner dalam jurnalnya, Islam and Covenantal Pluralism in Indonesia: A Critical Juncture Analysis, mengistilahkan kasus ahok sebagai Ahok Crisis yang mana krisis ini mengirimkan semacam gelombang kejut terhadap berbagai komunitas minoritas di Indonesia dan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat yang masih terasa sampai saat ini.

Namun di luar kecenderungan itu, ihwal tertentu kemudian tampak menyingkap kemungkinan lain bahwasannya apresiasi yang diterima Menag Yaqut dari sepak terjangnya sejauh ini, bisa saja terkonversi menjadi sebuah keuntungan politik tersendiri. Benarkah demikian?

Vitalnya Rekognisi, Untungkan PKB?

Selain gagasan revisi peraturan pendirian rumah ibadah, nyatanya Menag Yaqut juga telah beberapa kali mengimpresikan moderasi positif bagi kehidupan antar umat beragama.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Diantaranya seperti sangat aktif dalam berpartisipasi di setiap hari besar agama-agama tanpa terkecuali, inisiasi menjadikan Candi Borobudur sebagai rumah ibadah umat Budha dunia, hingga yang teranyar dan cukup jarang terjadi, yakni menghadirkan lampion di kantor Kemenag untuk menyambut Hari Raya Imlek mendatang.

Terdapat sejumlah hal kiranya yang membuat sepak terjang Menag Yaqut tampak leluasa dan cukup aktif dengan gagasan bertendensi toleransi positif. Yang pertama terkait dengan kemungkinan telah dilemahkannya FPI dan Habib Rizieq Shihab oleh pemerintah, yang manuvernya kerap berbenturan dengan moderasi dalam aspek keagamaan.

Baca juga: Kuartet Menteri PKB, Nestapa Nasdem?

Selain itu, faktor faksi tertentu di Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selama ini cukup “keras” seperti Tengku Zulkarnaen juga telah tereliminasi dari kepengurusan baru yang terbentuk pada akhir 2020 lalu, boleh jadi juga turut berpengaruh.

Lebih lanjut, Charles Taylor dalam The Politics of Recognition menyebut bahwa mengeskpos rekognisi atau pengakuan eksistensi individu atau kelompok dengan identitas tertentu adalah hal vital dan mendasar bagi kebutuhan manusia. Hal itu kemudian telah bertransformasi sebagai sebuah tuntutan dalam politik kontemporer.

Rekognisi juga merupakan salah satu kekuatan pendorong di belakang gerakan nasionalis dalam politik. Dan tuntutan itu lantas mengemuka dalam berbagai praktik dalam politik untuk merangkul kelompok minoritas atau “subaltern“, yang merefleksikan tiga karakter sekaligus, yakni politik multikulturalisme, politik equal dignity atau persamaan martabat, dan politik universalisme.

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Partai Demokrat menjadi aktor yang telah membuktikan bahwa rekognisi terhadap kalangan minoritas yang berbalik menjadi apresiasi, simpati, dan dukungan dari mereka, dapat berkontribusi besar bagi keuntungan elektoral, saat Pilpres AS 2020 lalu dibayangi isu identitas seperti rasialisme.

Menag Yaqut dan partainya PKB, bukan tidak mungkin mendapatkan benefit politik serupa, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari rekognisi terhadap minoritas yang kini tengah secara intensif dirangkul dalam semangat moderasi dan toleransi antar umat beragama.

Potensi support dari kelompok minoritas itu agaknya dapat menjadi variabel penentu bagi PKB kelak, ketika dalam sebuah kontestasi elektoral suara mereka dapat jadi pembeda di titik krusial, khususnya ketika terjadi persaingan isu-isu terkait.

Dan tak menutup kemungkinan pula bahwa dalam level yang lebih jauh lagi, dukungan finansial bisa saja direngkuh PKB dari manuver positif Menag Yaqut terhadap kelompok minoritas, yang notabene di Indonesia punya signifikansi lebih ketika berbicara sokongan semacam itu.

Bagaimanapun, langkah Menag Yaqut dalam membangun kembali nilai toleransi secara utuh dan menyeluruh memang harus diapresiasi. Akan sangat menarik untuk melihat apakah langkah itu nantinya benar-benar akan punya dampak politik konstruktif bagi dirinya dan PKB secara khusus seperti analisa di atas. (J61)

Baca juga: HRS dan PKB Akan Bersatu?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?