Site icon PinterPolitik.com

Menabung, Strategi Jokowi  Hadapi Stagflasi?

Menabung, Strategi Jokowi Hadapi Stagflasi?

Foto: ANTARA

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghimbau agar masyarakat menabung untuk menghadapi kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Kondisi global yang oleh sebagain pengamat ekonomi disebut dengan stagflasi. Lantas, apakah menabung merupakan strategi jitu Jokowi menghadapi ancaman stagflasi?


PinterPolitik.com

Dalam pidatonya beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) menghimbau masyarakat agar tidak royal dan berfoya-foya. Sebaliknya, Jokowi memberi pesan agar masyarakat menabung dan hemat. Pesan ini ingin memperlihatkan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi kondisi yang sulit untuk ditebak. Kondisi tertentu yang belum diperkirakan sebelumnya, namun bisa jadi datang secara tiba-tiba. Oleh karena itu, kondisi tersebut dapat teratasi bila negara dan masyarakat memiliki cadangan keuangan yang cukup.

Indonesia memang menghadapi sejumlah kondisi yang belum diperkirakan sebelumnya, misalnya pandemi Covid-19 hingga konflik Rusia-Ukraina. Jokowi dalam pernyataanya juga mencatat dua peristiwa ini sebagai pemicu ketidakstabilan ekonomi sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Persoalan dinamika politik global mengharuskan setiap negara selalu mencari titik perimbangan agar dapat tetap eksis dalam segala bidang, termasuk bidang ekonomi. Jokowi mencontohkan sikap penyetopan ekspor Crude Palm Oil (CPO), serta produk minyak goreng pada 28 April 2022 adalah imbas dari dinamika global ini.

Jokowi mengakui keputusan itu tidak mudah karena berdampak pada banyak sektor, di antaranya membebani para petani sawit dan merosotnya pemasukan negara dari hasil pajak penjualan sawit. Namun, dia menegaskan keputusan itu harus diambil demi kepentingan rakyat.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan krisis global di atas perlu diantisipasi karena mulai terlihat, dengan adanya lonjakan inflasi global dan percepatan pengetatan kebijakan moneter global, khususnya di Amerika Serikat (AS).

Sri Mulyani melanjutkan, fenomena stagflasi tengah menghantui banyak negara, terutama AS. Lanjutnya, fenomena ini dapat menimbulkan imbas negatif yang luar biasa ke seluruh dunia, terutama negara berkembang termasuk Indonesia.

Tingkat inflasi di AS yang sangat tinggi mencapai 8,4 persen menjadi ancaman nyata bagi pemulihan ekonomi di negara tersebut, bahkan dunia. Menanggapi kondisi tersebut, Bank Sentral AS bahkan mempercepat upaya pengetatan moneter di negaranya.

Kondisi inflasi yang tinggi dan percepatan pengetatan kebijakan moneter bisa menghasilkan pelemahan ekonomi atau bahkan resesi. Hal itulah yang disebut stagflasi, yang saat ini menghantui dunia termasuk Indonesia.

Lantas, bagaimana memahami stagflasi yang diartikan sebagai malapetaka ekonomi dunia, yang juga dikhawatirkan akan menghantui Indonesia ini?

Stagflasi Hantui Dunia?

Macleod, seorang politisi asal Inggris yang pertama kali memperkenalkan istilah stagflasi dalam dunia ekonomi. Sekitar tahun 1060-an, Macleod dalam sebuah pidato di parlemen Inggris Raya, menggambarkan kondisi inflasi sekaligus stagnasi yang melanda Inggris sebagai situasi yang disebut stagflasi.

Sederhananya, stagflasi tergambarkan jika terjadi inflasi dalam tingkat tinggi yang kemudian bertahan pada sebuah periode tertentu. Ciri yang terlihat saat itu, yaitu melejitnya harga barang, terhambatnya pertumbuhan ekonomi, serta meningkatnya angka pengangguran sehingga berisiko pada berhentinya perputaran keuangan.

Nouriel Roubini, profesor ekonomi dari  Stern School of Business New York University, memberikan paparan menarik bahwa dunia akan menghadapi badai stagflasi berkelanjutan. Ia menekankan bahwa Perang Dingin baru antara AS dengan Tiongkok yang akan memicu munculnya efek stagflasi.

Perubahan iklim pun akan mengakselerasi stagflasi. Kekeringan telah merusak tanaman, merusak panen, dan menaikkan harga pangan. Sama seperti badai, banjir, dan kenaikan permukaan air laut yang juga akan menghambat kegiatan ekonomi.

Bahkan, Chang Shu, seorang analis dari Bloomberg Economics, mengatakan prospek ekonomi dunia terlihat suram ketika ekonomi Tiongkok yang diperkirakan tumbuh,  malah terjadi kelambatan dibandingkan dengan estimasi sebelumnya akibat kebijakan lockdown.

Pada saat yang bersamaan, bank-bank berpengaruh di antaranya Bank Sentral AS, Selandia Baru, hingga Korea Selatan mulai mengetatkan sejumlah kebijakan moneter. Hal ini yang membuat kecemasan pelaku usaha diberbagai bidang semakin meningkat.

Kecemasan ini juga terlihat di negara-negara Eropa. Jerman, misalnya, negara yang merupakan pusat manufaktur Eropa mengalami penurunan. Kondisi ini disebabkan karena optimisme pebisnis yang diprediksi tergerus.

Melonjaknya biaya hidup di tengah krisis energi dan pangan menjadi kekhawatiran utama pelaku usaha di negara tersebut. Ini adalah sebuah refleksi dari turunya  indeks manajer pembelian di Jerman. Apalagi saat ini, Jerman juga berkutat pada dinamika pasokan gas yang selama ini mengandalkan Rusia.

Adapun di Inggris, kekhawatiran resesi tak kalah tinggi akibat terbatasnya pendapatan yang diterima pekerja serta makin mahalnya biaya hidup. Ini dijelaskan oleh Andrew Bailey, Gubernur Bank of England (BOE), yang mengatakan ekonomi Inggris berpotensi mengalami apokaliptik akibat melejitnya harga makanan di berbagai negara.

Ryan Kiryanto dalam tulisannya Mewaspadai Tekanan Stagflasi Global, mengatakan berbagai negara telah melakukan banyak treatment untuk meredakan stagflasi yang semakin mengancam. Tentunya Indonesia juga harus melakukan hal yang sama.

Banyak pendapat yang memperkirakan stagflasi akan masuk ke Indonesia melalui Tiongkok. Hal ini dikarenakan intensitas ekspor Indonesia yang punya intensitas tinggi terhadap negara itu. Hubungan ekonomi ini dipercaya akan memicu efek berantai, hingga Indonesia diharuskan mempersiapkan diri juga.

Sebagai contoh, di Tiongkok harga minyak telah menyentuh harga tertinggi dalam tiga tahun, yaitu sekitar US$80 per barel. Peristiwa ini menggambarkan krisis energi di Tiongkok yang juga mengancam pertumbuhan ekonomi negara yang punya kerja sama dengannya.

Pada akhirnya, stagflasi ini menimbulkan kemacetan rantai pasok yang mendorong kenaikan harga sejalan dengan penutupan pabrik yang mengguncang ekonomi global. Mungkin ini berkaitan dengan pesan Jokowi yang  menghimbau agar rakyat menabung dan berhemat.

Lantas, apakah pesan Jokowi ini dapat ditafsirkan sebagai strategi Indonesia untuk menghadapi ancaman stagflasi?

Bukan Menabung, Tapi Investasi?

Jika ditelisik lebih dalam, pernyataan Jokowi terkait masyarakat seharusnya menabung dapat dimaknai sebagai upaya untuk memberikan pengertian kepada masyarakat agar bisa membiasakan perilaku hemat. Hal ini bisa jadi pesan untuk membentuk kondisi masyarakat yang disebut dengan saving society.

Tapi bukankah hal itu bertolak belakang?

Dalam kondisi ekonomi yang kemungkinan akan terjadi stagflasi, masyarakat seharusnya mampu menggerakkan ekonomi sebagai upaya keluar dari ancaman itu.

Dan upaya untuk menggerakkan ekonomi harusnya dengan cara melakukan investasi. Cara pandang investasi yang dibiasakan dalam masyarakat ini, secara sederhana dapat disebut dengan investment society.

Laura Barros dalam tulisannya Spending or saving? Female empowerment and financial decisions in a matrilineal society, menggambarkan budaya spending yang diterjemahkan sebagai upaya investasi yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga di Inggris, yang mampu menggerakkan ekonomi dan mempunyai keuntungan jangka panjang.

Penelitian Laura ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mengantisipasi krisis keuangan. Saran memilih spending atau investasi dibanding menabung sebenarnya untuk membiasakan agar terbentuknya mindset seorang investor.

Mindset ini dianggap mampu memahami konsep yang disebut time value of money atau adanya inflasi yang akan menggerus nilai uang. Jika memilih untuk berinvestasi dibandingkan menabung, maka kita akan membuat peluang  agar terbebas  dari kondisi ekonomi yang tidak stabil.

Dalam konteks negara, maka investasi akan mendorong masyarakat dapat membentuk iklim modal usaha yang positif dan menggerakkan ekonomi domestik. Perusahaan yang ingin melakukan ekspansi karena mendapatkan akses funding yang lebih masif dan luas, harus dibarengi dengan kondisi masyarakat yang juga terbuka untuk investasi.

Dengan adanya shifting dari saving society menuju investment society akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena meratanya distribusi pendapatan.

Pada titik ini, kebijakan saving society yang dimulai dengan gerakan menabung, akan ditantang oleh investment society. Budaya ekonomi masyarakat berinvestasi yang diyakini mampu menjadi pilihan jitu untuk menembus badai stagflasi yang mengancam bangsa kita. (I76)

Exit mobile version