DPR baru saja meloloskan Prolegnas 2020-2024 dengan jumlah yang ambisius. Padahal, dengan jumlah yang sedikit pada periode sebelumnya, RUU yang diloloskan tergolong amat minim. Belum lagi, ada beberapa RUU kontroversial yang masuk ke dalam Prolegnas 2020-2024 itu.
PinterPolitik.com
Menurunnya political trust masyarakat terhadap lembaga legislatif paralel dengan memburuknya kinerja para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Hal itu sebagaimana mengacu pada rilis hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan lembaga DPR mengalami penurunan tingkat kepercayaan paling tinggi jika dibandingkan lembaga Kepresidenan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari sekian banyak penyebab, korupsi merupakan salah satu faktor yang membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap lembaga legislatif dan institusi negara pada umumnya. Masalah lain yang tak kalah pengaruh adalah buruknya produk legislasi.
Korupsi dan kinerja DPR yang buruk berkontribusi besar terhadap penurunan legitimasi publik. Sayangnya, para anggota dewan jarang melakukan evaluasi dan introspeksi untuk tidak merepetisi kesalahan-kesalahan itu. Alih-alih menginsafi, belakangan DPR justru mengulang cerita lama, yang sudah bisa ditebak bakal mengundang sorotan negatif publik.
Seperti ramai disoroti belakangan, DPR saat ini menimbun 248 Rancangan Undang-undang (RUU) ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) ditambah 50 RUU prioritas untuk periode 2020-2024.
Dengan jumlah RUU Prolegnas sebanyak itu, banyak yang ragu akan tereksekusi sesuai target. Apalagi, berkaca pada periode sebelumnya, DPR gagal merealisasikan sejumlah RUU yang termasuk dalam Prolegnas – bahkan tak cukup separuhnya dari yang ditargetkan.
Pada periode 2015-2019, dari 189 RUU Prolegnas hanya terealisasi 35 UU. Itu artinya, target pembahasan dan pengesahan RUU yang masuk Prolegnas di periode sebelumnya hanya sekitar 18% yang berhasil direalisasi.
Sindiran sekaligus kritik datang dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) yang menyebut sejumlah RUU Prolegnas bagai “keranjang sampah” karena tak pernah dapat dieksekusi.
Formappi lalu menyarankan kepada para anggota DPR agar mengindahkan rekomendasi Baleg sebelumnya yang meminta supaya RUU Prolegnas dibuat sederhana, menimbang orientasi kuantitas selama ini yang terus mengalami penurunan mutu.
Kritik juga menyasar pada sejumlah RUU Prolegnas terbaru yang dinilai kontroversial. Pasalnya, terdapat beberapa RUU yang sempat menjadi polemik pada periode sebelumnya serta RUU yang tidak terlalu mendesak masuk ke dalam Prolegnas 2020-2024.
Padahal, jika berkaca pada anggaran pembahasan RUU pada periode 2015-2019, menelan biaya hingga Rp 1,6 triliun. Sangat disayangkan, apabila anggaran sebesar itu tidak sepadan dengan produk legislasi yang dihasilkan. Belum lagi jika dalam pembahasannya terdapat tarik-menarik kepentingan segelintir politisidan korporat yang kerap menihilkan aspirasi rakyat.
Untuk itu, pertanyaan penting diajukan dalam rangka membongkar persoalan ini yakni, apa yang melatari kontroversi RUU tersebut berikut bayang-bayang kepentingan macam apa yang mengintainya?
Menguak Tabir RUU Kontroversial
Pertanyaan paling mengusik, mengapa pembahasan RUU selalu dihiasi kontroversi akut? Apakah ini memang lumrah atau justru ada ‘sesuatu’ di balik itu semua? Tak hanya itu, beberapa pertanyaan lainnya juga mengemuka seputar kelambanan DPR menuntaskan sejumlah RUU yang numpuk di ‘keranjang’ Prolegnas.
Taeko Hiroi & Rennó dalam Institutional and Partisan Sources of Legislative Conflict: The Brazilian Case mengemukakan, salah satu kendala mandegnya pembahasan legislasi disebabkan adanya pembelahan politik akibat partai-partai yang berbeda (gerbong koalisi) mengintervensi eksekutif dan legislatif.
Dampak dari pembelahan tersebut, finalisasi pembahasan RUU kerap mengalami jalan buntu lantaran tarik-menarik kepentingan partai melalui fraksi-fraksi yang ada di parlemen juga di eksekutif.
Dalam menggambarkan situasi tersebut, kajian Ralph M. Goldman dalam Political Parties: Principal Arenas Of Policymaking Conflict menjadi relevan untuk dikomparasikan. Singkatnya, Goldman mengatakan, peran partai sangat berpengaruh terhadap produksi legislasi. Ia mendapati kenyataan tersebut terjadi di India, Colombia, dan Russia.
Dalam konteks perumusan legislasi di Indonesia, hampir semua setuju bahwa peran partai melalui delegasinya di fraksi sangat kuat dalam menentukan proses hingga hasil akhir (output).
Selain itu, mengacu pada temuan Taeko Hiroi & Rennó, bahwa unsur eksekutif (pemerintah) juga harus dilihat sebagai bagian penting dalam proses perumusan dan pengesahan sebuah produk hukum (legislasi), dalam hal ini pengesahan RUU di Indonesia.
Membongkar Temali Kepentingan
Ada dugaan kuat terjadi konspirasi di antara sejumlah elite dan kelompok kepentingan di balik kemacetan, tarik-ulur, kelambanan hingga kegagalan DPR memenuhi target pembahasan dan pengesahan sejumlah RUU Prolegnas yang sekarang menumpuk di “rumah rakyat” itu.
Publik misalnya mencium indikasi semacam itu saat pengesahan super cepat revisi UU KPK yang justru mendapat penolakan kuat masyarakat. Selain itu, tarik-ulur hingga penundaan pengesahan RUU Minerba dan RUU Pertanahan juga menunjukkan sinyal serupa.
Terkait penetapan revisi UU KPK, misalnya, di luar dugaan publik, pengesahan RUU ini ternyata ditempuh secara tak wajar. Ini bisa dilihat dari mekanisme pembahasannya yang tak melibatkan partisipasi publik hingga waktu pengesahannya yang kontroversial alias secepat kilat.
Melihat proses tak wajar semacam itu – jika dibandingkan dengan setumpuk RUU lainnya yang bahkan tersentuh pun tidak setelah masuk Prolegnas – boleh jadi ada yang menduga bahwa terjadi interaksi di antara kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang melibatkan para oknum anggota DPR, oknum pejabat, dan pihak-pihak yang terindikasi terlibat dalam praktik korupsi yang namanya mulai menyebar luas beberapa tahun terakhir.
Sebagaimana dinyatakan Martin Gilens and Benjamin I. Page dalam Testing Theories of American Politics: Elites, Interest Groups, and Average Citizens, bahwa penyusunan kebijakan/regulasi atau dalam konteks ini RUU, selalu menjadi arena kontestasi kelompok kepentingan dan korporasi.
Maira Martini dalam Influence of interest groups on policy-making menyebut kelompok tersebut dapat dilacak pada kumpulan individu atau organisasi yang memiliki konsen terhadap upaya memengaruhi kebijakan publik melalui lobi-lobi kepada pengambil kebijakan.
Atau, mereka adalah gabungan dari entitas ‘elite’ dan ‘oligark’ yang berupaya memuluskan agenda penguasaan mereka atas sumber-sumber profit yang selama ini menopang bisnis dan kepentingan mereka.
Jeffrey Winters dalam Oligarchy menulis, motivasi mempertahankan dan melipatgandakan kekayaan, menuntun para oligark senantiasa terus-menerus terlibat dalam dinamika dan praktik bisnis-politik dengan segala macam cara yang memungkinkan untuk ditempuh.
Lobi-lobi kebijakan yang bertujuan melapangkan akses dan kesempatan bagi akumulasi sumber daya material dan pengamanan kekayaan karenanya menjadi konsen paling utama para oligark.
Menurut Direktur Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara dalam Waspadai Konspirasi Revisi UU Minerba, ada dugaan persekongkolan yang melibatkan pemerintah, DPR, partai-partai pendukung (revisi UU Minerba), dan pengusaha besar di balik motivasi dan tarik-ulur pembahasan RUU tersebut.
Marwan menilai tarik-ulur soal pembahasan UU Minerba ini diboncengi kekuatan oligarki yang memiliki kepentingan besar dalam penguasaan sumber daya alam di Indonesia, khususnya di bidang mineral dan batubara.
Dugaan serupa juga diungkapkan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah. Ia memandang, antara revisi UU Minerba dan UU KPK memiliki mata rantai yang sama dan solid. Pasalnya, upaya pelemahan KPK bersinggungan dengan rencana eksploitasi sumber daya mineral dan batubara melalui revisi UU Minerba yang berlangsung tertutup dan serampangan.
Hal serupa juga dikatakan Manajer Advokasi dan Pengembangan Program Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho, bahwa sepak terjang KPK akhir-akhir ini dalam menyisir buruknya tata kelola pertambangan membuat kelompok kepentingan di balik sektor pertambangan panik sehingga mencari cara untuk melumpuhkan lembaga antirasuah tersebut.
Seperti diketahui, ada sekitar 11 ribu izin pertambangan yang mana 60 persennya diduga bermasalah setelah diperiksa KPK. Akhirnya, kata Aryanto, izin tersebut tersisa 3.000, sementara 8.000-an lainnya sedang ditertibkan KPK.
Dengan begitu, upaya penggembosan kewenangan lembaga antirasuah itu berkaitan dengan fokus penindakan KPK beberapa tahun belakangan.
Dengan demikian, dapat dipahami jika ada yang menilai sebagian RUU terkesan dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas, bahkan disahkan secara kilat, sementara nasib sebagian RUU lainnya yang mendesak justru mengalami kondisi sebaliknya. (H57)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.