Site icon PinterPolitik.com

Membendung Angin Konservatisme Islam

Melihat gejala yang ada di masyarakat tampaknya Islam konservatif sedang naik daun. Tidak hanya melalui demo-demo besar, gejala ini sesungguhnya sudah dimulai dari bangku sekolah.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]G[/dropcap]ubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo sempat kaget kala seorang siswa di sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Jateng mengatakan kepadanya bahwa sistem demokrasi sudah tidak baik untuk Indonesia. Menurut siswa tersebut, sistem  yang benar adalah sistem khilafah – pemerintahan lintas negara yang dipimpin seorang khalifah muslim.

Saat memberikan keterangan kepada wartawan pertengahan Mei 2017 kemarin, gubernur yang khas dengan rambut putihnya itu tampak tenang menyikapi hal tersebut. “Itu hanya satu dua saya pernah menemukan,” ujar Ganjar. Dia tidak tahu bahwa menurut riset terhadap 1626 murid yang dilaksanakan tim Wahid Foundation, 41 persen di antaranya menyetujui Indonesia diubah menjadi negara Islam dan menerapkan konsep khilafah.

“(Bahkan) ada 60 persen responden menyatakan siap berjihad di masa mendatang,” ujar Direktur Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafsoh, seperti dilansir dari TEMPO.

Temuan terkait juga dilansir oleh tim Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta. Berdasarkan survei terhadap 500 guru yang tersebar di lima provinsi akhir 2016 lalu, PPIM UIN menemukan bahwa  lebih dari 80 persen di antaranya menolak pemimpin non-muslim dan pendirian rumah ibadah agama lain di wilayah mereka. Sementara itu 78 persen dari 175 guru agama Islam di sebelas kabupaten dan kota yang diteliti oleh PPIM UIN menyetujui penerapan syariat Islam di Indonesia.

Peneliti dari PPIM UIN, Dadi Darmadi menyatakan, pandangan guru niscaya membentuk pemikiran murid. “Ada guru agama Islam yang berkali-kali menyarankan muridnya nanti duduk di DPR lalu memperjuangkan syariat Islam di sana,” ujar Dadi, bulan Mei kemarin, seperti dilansir dari TEMPO.

Menjadi Konservatif Setelah Reformasi 1998

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Islam telah lama bertransformasi dan secara dinamis hidup di masyarakat. Sejak awal kemerdekaan di Indonesia sendiri sudah ada yang ingin mencanangkan gagasan syariat Islam sebagai dasar negara. Ujungnya, gagasan ini pun menjelma menjadi pemberontakan gagal yang dilakukan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Semasa Orde Baru, Islam secara ideologi didepolitisasi. Baru setelah reformasi 1998 bergulir, Islam merasakan nafas lega.

Akan tetapi angin segar yang dirasakan Islam selepas reformasi 1998, menurut Martin van Bruinessen, dalam buku yang disuntingnya Contemporary Development in Indonesian Islam: Explaining the Conservatism Turn, mengarah pula pada intoleransi yang semakin menguat di masyarakat Indonesia sejurus dengan gerakan maraknya gerakan konservatisme. Menurut Bruinessen, ciri gerakan konservatisme ialah penolakan terhadap tafsir ulang atas ajaran Islam secara liberal dan progresif serta cenderung mempertahankan tafsir dan sistem sosial yang baku.

Martin van Bruinessen

Gejala konservatisme ini juga ditangkap oleh Quraish Shihab. Dalam acara Talkshow Mata Najwa di Masjid Bayt Alquran, Tangerang, Quraish Shihab mengatakan bahwa kondisi keagamaan di Indonesia sekarang bergerak ke arah konservatisme, sama dengan Mesir yang kian hari kian memburuk.

“Ya, kondisi di Arab sana, terutama di Mesir, semakin memprihatinkan. Kekacauan di mana-mana. Itu karena tidak ada toleransi. Sehingga antara satu dan yang lain saling merasa paling benar dan terjadilah kekacauan,” kata Quraish Shihab.

Ada beberapa pihak menganggap Islam yang dianutnya paling benar. Bahkan menganggap yang di luarnya, baik itu agama lain atau varian lain dalam Islam, sebagai orang-orang kafi. Menurut Quraish Shihab, orang suka mengkafirkan orang lain tersebut terlalu gegabah dan berpotensi menelan ludahnya sendiri.

“Kafir bisa berarti orang yang mengingkari agama, kafir bisa berarti munafik. Kafir itu pada dasarnya berarti menutup. Kalau Anda menutup kebenaran, Anda kafir. Tetapi karena secara umum orang memahami kafir itu keluar dari Islam, maka datang larangan Nabi untuk jangan mengafirkan orang. Siapa yang mengkafirkan seseorang padahal orang itu tidak kafir, maka tuduhannya kembali kepadanya. Dia dinilai Tuhan, kafir,” ujar Quraish Shihab.

A post shared by Najwa Shihab (@najwashihab) on

Sementara itu, menurut Gus Mus yang juga hadir sebagai narasumber di Mata Najwa tersebut, kuatnya sentimen keagamaan dan munculnya paham Islam konservatis tidak lepas dari adanya ulama yang merasa paling benar dan pola dakwah yang memaksa.

“Sekarang ini banyak ulama yang hanya membaca Alquran terjemahannya Depag, lalu berfatwa. Ya, kacau. Lalu, diminta kembali ke Alquran. Tapi, yang dimaksud kembali ke Alquran itu ke terjemahannya Depag. Padahal, kembali ke Al-Quran itu ya mengaji lagi,” ujar Gus Mus.

Seperti diketahui, Quraish Shihab dan Gus Mus dikenal sebagai ulama moderat di Indonesia. Gus Mus sendiri pernah menjadi Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Tidak diragukan lagi NU adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia dan melihat rekam jejak organisasi yang didirikan KH Hasyim Asyari pada tahun 1926 ini, tampak tidak terbersit keinginan untuk mengganti dasar negara Pancasila dengan syariat Islam.

Malah sejak Muktamar ke-33 pada tahun 2015 NU aktif mewacanakan ‘Islam Nusantara’ untuk menanggulangi konservatisme yang semakin hari semakin merebak di Indonesia.

Menimbang Pribumisasi Islam

Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syariat, ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Namun demikian, ketika istilah ‘Islam Nusantara’ mulai menjadi buah bibir, istilah ini dituduh sebagai konsep yang menolak mentah-mentah hal-hal yang berbau Arab. Selain dianggap berpotensi mengkotak-kotakan Islam menjadi ‘Islam Arab’, ‘Islam Nusantara’, ‘Islam India’, dan Islam berbagai wilayah lainnya, istilah ini kerap dicurigai sebagai akal-akalan kaum Syiah, Zionis, dan ‘Liberal’ di Indonesia untuk menggembosi Islam dari dalam.

Menurut ketua Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Amerika-Kanada, Akhmad Sahal, berbagai tuduhan tersebut umumnya datang dari kaum yang meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang kaffah alias secara keseluruhan mengatur baik kehidupan privat maupun publik.

Dalam artikel Islam dan Arab: Menimbang Pribumisasi Islam Gus Dur, Akhmad Sahal mengatakan bahwa di mata mereka (kaum konservatis), Muslim harus tunduk sepenuhnya pada nash, teks Al-Quran dan Sunnah secara literal dan harfiah, karena nash adalah sesuatu yang ta’abbudi (harus ditaati begitu saja) sebab berasal dari Allah.

Akhmad Sahal, setelah mengkaji pemikiran Gus Dur, menemukan bahwa keragaman konteks historis Islam justru mengharuskan adanya kontekstualisasi Islam untuk membumikan ajaran Islam guna menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim (yang tidak selamanya berkembang di Arab) itu sendiri. Dalam hal ini Gus Dur dengan tegas menolak pengidentikan Islam dengan Arab.

“Bahaya dari proses Arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan,” ujar Gus Dur.

Artikel Gus Dur mengenai pribumisasi Islam

Lebih lanjut Gus Dur mengatakan bahwa Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai itu semakin membesar.

“Bergabungnya kali baru berarti masuknya air baru yang merubah air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Tapi toh tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama. Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan tidaklah merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari kehidupan agama Islam,” ujar Gus Dur.

Dalam hal ini, munculnya ‘Islam Nusantara’ dapat dikatakan adalah ikhtiar untuk turut serta meredam tingginya intensitas konservatisme di Indonesia dan bahkan terosisme global. Walau Islam Nusantara belum jelas sukses atau gagalnya, tapi sebagai sebuah ikhtiar, konsep ‘Islam Nusantara’ patut diapreasisi, dikritik, dan yang terpenting dicoba diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

(H31)

Exit mobile version