HomeNalar PolitikMembaca Worst-Case Scenario Luhut

Membaca Worst-Case Scenario Luhut

Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia semakin melonjak. Pemerintah mengklaim telah mempersiapkan beberapa skenario untuk mengatasi pandemi. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia sudah memasuki worst-case scenario.


PinterPolitik.com

“The world is a worst-case scenario and I’m afraid that all you sense is true.” ― Stephen King, The Girl Who Loved Tom Gordon (1999)

Saat ini Indonesia sudah masuk ke tahapan skenario terburuk (worst-case scenario) dalam menghadapi pandemi seiring dengan meroketnya jumlah kasus positif dan kasus meninggal akibat Covid-19.

Sebelumnya, sejak awal pandemi, para pejabat pemerintah dan politisi sudah sering membicarakan tentang berbagai macam skenario dalam mengatasi pandemi, termasuk skenario terburuk.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), misalnya, pada awal pandemi tahun lalu pernah mengatakan pemerintah sudah mempersiapkan beberapa skenario. Ia mengklaim telah mengalkulasi situasi pandemi selama beberapa bulan ke depan. Skenario-skenario telah disiapkan, mulai dari yang teringan, sedang, hingga terburuk.

Akhir-akhir ini, istilah worst-case scenario kembali didengar publik. Setidaknya, ada tiga menteri yang sering menyinggung tentang skenario terburuk, yaitu Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Kabar bahwa Indonesia sudah memasuki tahapan worst-case scenario dilaporkan oleh Luhut saat konferensi pers yang membahas tentang situasi pandemi terbaru. Ada empat poin setidaknya yang menjadi inti dari skenario yang disampaikan Luhut. Poin-poin tersebut adalah menambah tenaga kesehatan, menargetkan satu juta vaksinasi per hari, menambah tempat tidur dan rumah sakit khusus Covid-19, dan memenuhi kebutuhan obat serta oksigen, termasuk dari impor dan bantuan.

Baca Juga: Berani Puan Panggil Luhut?

Luhut mengaku telah menyiapkan berbagai skenario jika kasus per hari menyentuh angka 40 ribu, 50 ribu, 60 ribu, 70 ribu, dan 100 ribu lebih. Di sini, tidak jelas berapa jumlah batasan mutlak atau terburuk kasus positif Covid-19 di Indonesia.

Jika melihat dari definisinya, seharusnya ada batasan atau patokan pasti untuk kata “terburuk”. Namun, berdasarkan penyampaian Luhut, tampaknya yang “terburuk” memiliki variasinya. Bukankah tidak hanya dengan jatuh korban 40 ribu atau 100 ribu, 1 korban pun harusnya sudah menjadi hal yang buruk.

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Kalau diingat lagi, pemerintah sudah sering menyinggung tentang skenario terburuk dari awal pandemi. Skenario yang dipersiapkan pemerintah terbukti gagal menangani laju kasus positif dan kasus meninggal. Lantas, apakah ini menunjukkan pemerintah sudah gagal memainkan peran di skenario-skenario penanganan yang diciptakannya sendiri?

Menghadapi Ketidakpastian?

Secara sekilas, apa yang dilakukan pemerintah dengan mempersiapkan skenario terburuk untuk menangani pandemi adalah hal yang lumrah. Membayangkan skenario terburuk memang masuk akal jika ingin diminimalisir risiko yang terjadi di masa depan.

Dalam jurnal yang berjudul A Philosophical Perspective on Risk, Sven Ove Hansson mengatakan bahwa risiko dalam kenyataannya sering kali dekat dengan suatu ketidakpastian dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak diketahui. Dengan demikian, hampir segala bentuk keputusan yang berkaitan dengan risiko adalah keputusan dalam ketidakpastian.

Ada satu aliran filsafat klasik yang bisa digunakan untuk melihat fenomena ini, yaitu aliran stoikisme (stoicism). Stoikisme, yang dibangun oleh filsuf bernama Zeno, muncul saat periode Helenistik, yaitu masa transisi antara zaman Yunani Klasik dan kebangkitan Kekaisaran Romawi.

Stoikisme saat itu berkembang dengan cepat sebab filsafat ini cocok dengan sikap manusia dan sistem pemerintahan waktu itu. Sampai saat ini pun, stoikisme masih mengalami perkembangannya. Hal ini terlihat dari kembali populernya aliran ini pada abad lalu sehingga melahirkan sebuah konsep baru yang disebut stoikisme modern.

Akan tetapi, artikel ini hanya akan fokus pada aliran stoikisme klasik, walaupun aliran klasik ini pun memiliki berbagai macam konsep tentang stoikisme itu sendiri.

Secara sederhana, ajaran ini mengatakan bahwa sumber penderitaan manusia adalah rasa cemas akan masa depan. Kita sudah mencoba memprediksi masa depan, tapi karena masa depan penuh dengan ketidakpastian dan di luar kendali kita, kita menjadi cemas dan takut.

Baca Juga: Siasat Luhut ala Loki?

Rasa cemas ini muncul dari kurangnya persiapan dan antisipasi kita atas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Untuk itulah, sebelum melakukan sesuatu, kita mesti mempersiapkan skenario terburuk yang dapat dibayangkan.

Lantas, apa hubungan Luhut dengan stoikisme?

Ada dua kata kunci dalam stoikisme yang bisa kita kaitkan dengan Luhut, yaitu kata “kontrol” dan “skenario terburuk”. Epictetus, salah satu filsuf stoikisme, memilah hal-hal yang terjadi di dunia menjadi dua bagian, yaitu bagian yang dapat kita kontrol, dan yang tak dapat kita kontrol. Pemilahan ini dikenal dengan sebutan 
dichotomy of control.

Konsep pembagian kontrol ini bisa kita tarik ke pernyataan Luhut. Pada konferensi pers yang diadakan hari Senin tanggal 12 Juli, ia mengklaim bahwa kondisi pandemi sangat terkendali (terkontrol). Akan tetapi, tiga hari kemudian, Luhut mengungkapkan bahwa ternyata Covid-19 varian Delta tidak bisa dikendalikan (tidak terkontrol).

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono berpendapat bahwa Luhut sebenarnya sedang panik ketika mengatakan bahwa penanganan pandemi masih terkendali. Mungkin ini ada benarnya. Sebab, berdasarkan pendapat stoikisme klasik, rasa cemas muncul dari kesalahan kita karena kita percaya memiliki kuasa atas sesuatu yang tak dapat kita kontrol.

Lantas, apakah kepanikan Luhut muncul dari kecemasannya akan situasi pandemi yang tidak terkendali? Mungkin saja benar.

Kata kunci yang kedua dari stoikisme klasik yang bisa dikaitkan dengan Luhut adalah istilah “skenario terburuk”. Untuk mengatasi situasi yang tidak diinginkan di masa depan, stoikisme menyarankan kita untuk membayangkan skenario terburuk yang akan terjadi. Dalam stoikisme konsep ini dikenal dengan sebutan negative visualization.
Seperti yang sudah disampaikan di atas, Luhut mengklaim pemerintah memiliki skenario-skenario dalam mengatasi lonjakan kasus positif, termasuk skenario terburuknya. Ia juga mengatakan bahwa saat ini Indonesia sudah memasuki tahapan skenario terburuk.

Akan tetapi, fakta memperlihatkan skenario yang telah disiapkan, bahkan skenario terburuk sekalipun, gagal menahan laju kasus positif. Di sini kita bisa menerka bahwa kepanikan Luhut berkelindan dengan gagalnya skenario yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan kata lain, skenario tersebut diciptakan untuk mengendalikan sesuatu yang ternyata tidak bisa pemerintah kontrol.

Terlalu Banyak Skenario?

Para pejabat pemerintah Indonesia, khususnya Luhut, mungkin memang tidak menganut paham stoikisme klasik. Namun, kita bisa melihat dua gejala stoikisme klasik di diri Luhut, yaitu dichotomy of control dan negative visualization.

Baca Juga: Menanti Giliran Roasting Luhut

Dalam sejarahnya, banyak filsuf yang sudah mengkritik stoikisme klasik. Misalnya, di zaman Yunani Kuno dan kebangkitan Kekaisaran Romawi, para penganut stoikisme terbagi menjadi yang anti-politik dan yang berada dalam lingkaran politik.  Para filsuf aliran lain berpendapat terdapat semacam paradoks di para pengikut stoikisme klasik.

Baca juga :  Luhut ke Mana?

Stoikisme bilang kalau kita harus fokus kepada yang bisa kita kendalikan, sedangkan yang tidak bisa kita kendalikan tidak usah kita pikirkan. Luhut sudah bilang varian Delta tidak bisa terkendali, lantas apakah dengan begitu kita tidak usah memikirkan lagi tentang varian Delta atau pandemi ini?

Tentu tidak mungkin, karena kalau kita berhenti berpikir tentang pandemi dan fokus pada hal lain, laju pandemi tentu akan semakin meningkat.

Salah satu filsuf yang mengkritik stoikisme klasik adalah Friedrich Nietzsche. Ia berpendapat pengikut stoikisme klasik hanya kumpulan aktor di atas panggung dan penipu atas diri sendiri.

Mereka hidup dalam dunia bayang-bayang, bukan di kenyataan yang sesungguhnya. Ini terjadi karena ketidakmampuan kaum stoik dalam memahami kompleksitas dunia.

Di Indonesia fenomena ini bisa kita lihat dari kelakuan pejabat-pejabatnya. Banyak dari mereka yang mengatakan Covid-19 tidak berbahaya, padahal seharusnya mereka tahu kalau virus ini berbahaya. Ini menunjukkan kalau mereka itu sedang menipu diri mereka sendiri.

Lantas, apakah bisa dikatakan bahwa stoikisme klasik tidak cocok diterapkan di politik dan pemerintahan? Atau yang salah bukan stoikismenya, tetapi skenario yang dipersiapkan pemerintah?

Apa pun itu, ada baiknya kita sedikit mengapresiasi langkah pemerintah beberapa hari ke belakang. Dalam tahapan memasuki skenario terburuk, pemerintah telah menunjukkan beberapa langkah berbeda.

Misalnya, pemerintah telah meminta bantuan negara tetangga dalam mengatasi pandemi. Selain itu, pemerintah juga berencana untuk memperpanjang masa PPKM Darurat dan akan kembali menyalurkan bantuan sosial (bansos) yang lebih banyak.

Dan salah satu hal yang paling kita tunggu-tunggu akhirnya tiba. Pemerintah, lewat mulut Luhut, menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia sebab penanganan pandemi belum maksimal. Harapan kita tentu pandemi ini dapat segera berakhir. (R73)

Baca Juga: Mengapa Luhut Klaim Covid-19 Terkendali?


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Di Balik Seteru KPK vs Greenpeace

Sejak Firli Bahuri menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya drama yang menyangkut nama KPK tak pernah usai. Baru-baru ini, lembaga antirasuah tersebut...

DPR Rela Potong Gaji?

Belakangan ini publik kembali diramaikan oleh isu pemotongan gaji yang diusulkan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI).  Akan tetapi, akan seberapa efektifkah...

Penjajahan Baru Bayangi Jokowi?

Selain hilirisasi nikel, bisnis perdagangan karbon adalah bentuk ekonomi hijau Presiden Joko Widodo. Bisnis ini dinilai mampu meraup keuntungan yang besar untuk Indonesia. Akan...