Meskipun bukan istilah baru, penggunaan kata Indo-Pasifik semakin marak digunakan dalam beberapa waktu terakhir. Mengapa demikian? Dan apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki andil tersendiri dalam promosi penggunaan nomenklatur ini?
Akhir-akhir ini kita sering mendengar para politisi melontarkan kata “Indo-Pasifik” ketika membuat pernyataan. Pada tanggal 4 Oktober 2021 lalu contohnya, ketika Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menghadiri pertemuan ASEAN tingkat antar Menlu secara virtual.
Di pertemuan ini, Retno menyebutkan rivalitas kekuatan negara besar yang terus menajam saat ini telah menambah potensi ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan di Indo-Pasifik. Oleh karena itu, dirinya berpandangan, ASEAN sudah tidak bisa lagi berperilaku business as usual, dan harus mampu berkembang dan semakin kuat seiring dengan meningkatnya tantangan yang dihadapi.
Selain Retno, beberapa negara asing juga sering menyebut Indo-Pasifik. Seperti yang diucapkan oleh Wakil Presiden Amerika Serikat (Wapres AS) Kamala Harris ketika berkunjung ke Singapura pada akhir Agustus lalu. Dalam pidatonya, Harris mengatakan kemitraan AS dengan Singapura, Asia Tenggara, dan seluruh negara Indo-Pasifik merupakan prioritas tertinggi bagi negeri Paman Sam. Ia lanjut mengklaim negaranya adalah bagian dari Indo-Pasifik dan menekankan kelangsungan wilayah ini sangat penting bagi keamanan dan kemakmuran AS.
Lantas, mengapa sekarang ini kita sering mendengar kata Indo-Pasifik? Bagaimana sebenarnya sejarah penggunaannya?
Sebuah Kawasan Politik
Pada awalnya, penggunaan kata Indo-Pasifik dalam konteks politik bisa kita tarik ke tahun 1920, ketika seorang ahli geografi sekaligus geopolitik Jerman, bernama Karl Haushofer, melegitimasi integrasi wilayah kelautan dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, menggunakan alasan bahwa wilayah ini memiliki kesamaan keragaman hayati, etnografi, dan sejarah filologi.
Pada masa itu, Haushofer mengatakan Indo-Pasifik adalah wilayah yang terdiri dari kekuatan antikolonial, yaitu India dan Tiongkok, sebagai sekutu Jerman melawan dominasi maritim Inggris, AS, dan Eropa Barat.
Setelah ditinggalkan selama beberapa dekade, strategi politik Indo-Pasifik kembali dimunculkan oleh Perdana Menteri (PM) Jepang, Shinzo Abe. Pada tahun 2007, Abe menggagas perlunya sebuah integrasi antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Wilayah ini pada dasarnya lebih luas dari cakupan Asia-Pasifik.
Baca Juga: Drama TNI dan Ancaman AS-Tiongkok
Inisiatif ini ia lontarkan ketika menyampaikan pidato di Parlemen India. Setelah itu, di tahun yang sama, Abe, dengan dukungan dari Wapres AS Dick Cheney, PM Australia John Howard, dan PM India Manmohan Singh mendirikan platform dialog keamanan yang disebut Quadrilateral Security Dialogue (QUAD).
Untuk memperkuat ikatan Indo-Pasifik, Abe kembali menjadi penggerak utama dengan mempromosikan istilah Free and Open Indo-Pacific (FOIP) ketika berpidato di Kenya pada tahun 2016. Ini adalah doktrin strategi khusus keterlibatan aliansi Indo-Pasifik dari negara-negara dengan minat yang sama di kawasan tersebut.
Melihat adanya potensi aliansi dan keuntungan yang cukup besar, AS mulai terdorong untuk serius menganggap Indo-Pasifik sebagai kesatuan wilayah antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Negeri Paman Sam mulai mengganti penggunaan kata “Asia Pasifik” ke “Indo-Pasifik” di National Security Strategy (NSS), dokumen keamanan tahunan AS pada tahun 2017, dan menggaungkan pentingnya Indo-Pasifik bagi AS melalui politik luar negeri Presiden Donald Trump.
Dalam melihat fenomena ini, layaknya kita perlu membawa pandangan Halford Mackinder dalam bukunya yang berjudul The Geographical Pivot of History. Di buku ini, Mackinder membawa konsep World Island dan Heartland. World island diartikan sebagai benua Eropa, Asia, dan Afrika, yang memiliki keterikatan daratan (Afro-Eurasia). Lalu, Mackinder mengartikan heartland sebagai wilayah dari sungai Volga ke sungai Yangtze dan dari pegunungan Himalaya ke Arktik (Eurasia). Mackinder mengatakan siapa yang bisa menghubungkan wilayah-wilayah ini akan menjadi penguasa dunia.
Apakah wilayah-wilayah tersebut masih relevan di masa kini? Najimdeen Bakaree dalam tulisannya Revisiting Mackinder’s Heartland Theory berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Menurutnya, heartland yang tadinya dianggap berada di Eurasia, telah bergeser ke wilayah antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Ia lanjut menjelaskan kehadiran kekuatan besar di kawasan ini, secara instrumental dapat mengimbangi indeks kekuatan satu sama lain.
Secara politik, Indonesia sendiri mulai memiliki visi krusial terhadap Indo-Pasifik melalui pernyataan yang disampaikan oleh mantan Menlu RI, Marty Natalegawa ketika memberikan pidato di Washington D.C, AS, pada tahun 2013. Marty menekankan pentingnya Indo-Pasifik secara ekonomis, karena wilayah ini mencakup 3/5 populasi dunia.
Sebagai tindak lanjut yang riil, pemerintahan Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), melalui diplomasi yang dilakukan Menlu Retno, menggagas implementasi ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) di asosiasi negara-negara Asia Tenggara tersebut pada tahun 2019. Inisiatif ini diterima oleh seluruh negara anggota ASEAN dan sampai saat ini dijadikan salah satu strategi dalam mengantisipasi masa depan wilayah Indo-Pasifik.
Singkatnya, AOIP adalah landasan yang membayangkan sentralitas ASEAN sebagai dasar prinsip mempromosikan kerja sama dan kestabilan di kawasan Indo-Pasifik, tentunya dengan ASEAN sebagai pemimpinnya. AOIP mencakup kerja sama dalam bidang-bidang maritim, konektivitas integrasi, Sustainable Development Goals (SDG) 2030, dan tentunya ekonomi.
Baca Juga: Saatnya Jokowi Tinggalkan Bebas-Aktif?
Jadi, meskipun istilah Indo-Pasifik sudah lama digunakan untuk konteks politik, penulis rasa kita juga perlu mengapresiasi kinerja Retno dan Jokowi dalam membawa kesadaran Indo-Pasifik di antara negara-negara ASEAN. Mereka mungkin bisa dianggap sebagai pelopor penggunaan nomenklatur Indo-Pasifik di ASEAN.
Lalu, jika memang Jokowi adalah penggagas kesadaran Indo-Pasifik di ASEAN, hal apa saja kira-kira yang mendorongnya?
Indonesia, ASEAN, dan di Indo-Pasifik
Mantan Menlu Marty sangat menganggap Indo-Pasifik penting bagi Tanah Air. Ia menekankan konsep dynamic equilibrium agar bisaditerapkan dalam Indo-Pasifik dan ASEAN. Menurut peneliti seniorCentrefor Strategic and International Studies (CSIS), Gregory B. Poling, dynamic equilibrium adalah sebuah mekanisme hubungan antara negara di suatu kawasan yang negara-negara anggotanya berkepentingan sama, yang kemudian secara bersama-sama terintegrasi untuk dapat memiliki “daya tawar” yang setara dengan negara besar di kawasan Indo-Pasifik lainnya.
Dengan adanya pandangan ini, kita melihat bahwa sesungguhnya Indonesia, melalui ASEAN, berniat mewujudkan yang namanya security community. Menurut Karl Deutsch dalam bukunya Political Community and the North Atlantic Area, istilah ini diberikan pada sekelompok negara yang telah terintegrasi ke suatu tahap di mana ada kepastian nyata bahwa negara yang terlibat di kawasan itu tidak akan saling bertarung secara fisik, tetapi akan menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara lain, tentunya dengan yang lebih damai.
Namun, berdasarkan performa sentralitas ASEAN dan kenyataan saat ini di Indo-Pasifik, apakah tujuan security community bisa tercapai?
Khasan Ashari, seorang pengamat hubungan internasional dan diplomat, memandang meskipun terbentuknya AOIP adalah pencapaian besar bagi ASEAN dan Indonesia, pada akhirnya ini hanyalah sebuah dokumen politik. Dokumen politik tentu saja lebih menekankan aspek kebijakan sebagai panduan dan tidak banyak memuat hal yang sifatnya teknis.
Oleh karenanya, tidak tepat jika kita mengharapkan sebuah dokumen strategi kawasan layaknya panduan kebijakan nasional sebuah negara. Pada tingkatan nasional, pemerintah suatu negara dapat mengeluarkan kebijakan yang sifatnya independen dan terfokus pada kepentingan nasionalnya. Sebaliknya, kebijakan pada tingkatan regional, harus disusun sebagai hasil kompromi banyak pihak dengan mempertimbangkan kepentingan bersama secara kolektif.
Dengan kenyataan ini pula sampai saat ini kita masih bisa melihat negara-negara ASEAN “digoda” oleh kepentingan negara besar. Contohnya, Singapura yang sempat diapel oleh AS, tetapi di sisi lain juga masih menjalin interaksi dengan Tiongkok, seperti latihan militer. Lalu ada juga Filipina yang secara blak-blakan mendukung adanya traktat militer Australia, Inggris, dan AS (AUKUS), yang notabene adalah jawaban dari kubu Barat untuk menandingi permainan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan (LTS).
Baca Juga: Jokowi di Tengah “Boneka Perang” LTS?
Kondisi ini sesungguhnya dapat menjadi ancaman. Peneliti CSIS, Evan Laksmana sempat menyebut Indonesia dan negara sekitar berpotensi menjadi “penonton strategis” perseteruan kekuatan besar di Indo-Pasifik. Ini bukanlah sesuatu yang bisa kita terima dengan terbuka, karena justru negara yang sifatnya berada di tengahlah yang akan dijadikan proxy perang kepentingan, yang dalam jangka panjangnya dapat merusak proses integrasi kawasan.
Kalau melihat dari sisi lain, ini sesungguhnya juga kesempatan bagi Indonesia jika ingin menekankan semangat sentralitas ASEAN. Lokasi Tanah Air yang tepat terletak di tengah-tengah heartland modern menjadi modal pertama.
Mungkin, Jokowi bisa kembali menjadi pelopor, dengan mendorong terbentuknya sikap bersama terhadap instabilitas Indo-Pasifik saat pertemuan ASEAN tanggal 26 Oktober nanti? Mungkin ASEAN bisa meniru Uni Eropa yang memiliki badan pemerintahan bersama yaitu European Comission, dengan juga membentuk semacam ASEAN Comission.
Yang jelas, Indonesia sudah menempatkan batu pertama untuk mendirikan blok kekuatan baru di Indo-Pasifik dengan menjadi penggagas AOIP, dan ini menurut penulis, patut diapresiasi. (D74)