Setelah Taliban berkuasa, Afghanistan masih menjadi perhatian dunia. Tiongkok telah memulai pendekatan politik dan ekonomi. Sementara, Indonesia menggagas adanya kerja sama ulama untuk memantau dinamika di negara Asia Selatan tersebut. Apakah pendekatan ini efektif?
Pada pertengahan Agustus lalu, muncul berita menggemparkan yang berasal dari Afghanistan. Ya, kabar itu bukan lain adalah kabar mengenai pengambilalihan pemerintahan oleh Taliban.
Setelah sebelumnya sukses menguasai wilayah sekitar, pihak Taliban kemudian berhasil menguasai Istana Kepresidenan setelah Presiden Ashraf Ghani melarikan diri dan menyerahkan Istana Kepresidenan demi menghindari pertumpahan darah di negaranya.
Dilema di kepala para pemimpin negara pun muncul. Apakah kepemimpinan Taliban perlu diakui? Jika tidak, bagaimana jika negara lain ingin melakukan interaksi dengan Afghanistan? Sampai sekarang, perdebatan ini masih berlangsung di beberapa negara.
Meskipun begitu, negara-negara di dunia sudah mulai melakukan pendekatan politik ke negara dengan penduduk mayoritas Muslim ini. Rusia dan Tiongkok, misalnya, telah mengartikan kemenangan Taliban sebagai kekalahan bagi Amerika Serikat (AS). Tiongkok bahkan disebutkan telah bergerak untuk bekerja dengan pihak Taliban bahkan sebelum Taliban menduduki ibukota negara.
Sementara itu, di Indonesia sendiri, beberapa hari setelah deklarasi pengambilalihan kota Kabul, Menteri Luar Negeri RI (Menlu RI) Retno Marsudi sempat dikabarkan melakukan kunjungan ke Doha, Qatar, untuk bertemu dengan perwakilan Taliban. Di dalam pertemuan tersebut Retno hanya menyebutkan Indonesia ingin menjamin Taliban tidak menjadikan Afghanistan sebagai sarang teroris.
Baru-baru ini, Indonesia kembali memberi perhatian pada Afghanistan melalui pidato Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-76. Di Pidato tersebut Jokowi singgung Afghanistan dengan menyoroti praktik kekerasan dan marginalisasi yang semakin rentan menyasar kaum perempuan.
Sementara itu, di level antar-Menlu, Retno menjadikan pembahasan mengenai kestabilan Afghanistan sebagai salah satu topik utama. Di pertemuan-pertemuan ini, Retno menyebutkan bahwa Indonesia akan terus membantu Afghanistan dengan fokus pada dua isu utama yaitu kerja sama ulama dan pemajuan perempuan.
Dari pendekatan dengan negara Islam, setelah melakukan pertemuan dengan Turki, Retno mengatakan akan bersama-sama menggunakan platform Organisasi Kerja sama Islam (OKI) untuk berdialog dengan pemerintah sementara Afghanistan. Selain Turki, Retno juga dikabarkan membawa topik Afghanistan ketika melakukan pertemuan dengan Arab Saudi dan Yordania.
Dari sini, sesuai dengan pernyataan Retno, bisa kita lihat bahwa ada indikasi motivasi membangun diplomasi dengan Afghanistan melalui pendekatan kultural keagamaan. Apakah gagasan Retno kerja sama ulama ini akan efektif membangun relasi Indonesia dengan negara tersebut? Perlukah Retno menyiapkan opsi lain.
Baca Juga: Diplomatic Game, Menlu Retno Butuh Biden?
Nilai Strategis dan Ekonomis Afghanistan
Sebelum kita menganalisis lebih lanjut mengenai pendekatan keagamaan Retno. Sepertinya layak jika kita bahas terlebih dahulu mengenai Afghanistan. Sebenarnya, seberapa penting Afghanistan di mata dunia?
Yang pertama, tentu paling menarik adalah dari segi ekonomi. Seperti yang kita tahu, berdasarkan laporan dari pihak Afghanistan sendiri, kekayaan sumber daya alam (SDA) tersembunyi negara tersebut diperkirakan mencapai nilai sebesar US$3 triliun, yang terdiri dari tembaga, bijih besi, lithium, dan mineral berharga lainnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh U.S. Geological Survey (USGS), wilayah di Afghanistan yang memiliki cadangan SDA mineral terbesar adalah di pegunungan Mes Aynak dengan estimasi persedian tembaga sebesar 11,3 juta metrik ton, 2.100 juta metrik ton besi di lembah Haji Gak, dan 1,4 juta metrik ton gabungan elemen tanah jarang di Provinsi Heland.
Sebagai fakta menarik, dua perusahaan milik negara asal Tiongkok yang bernama China Metallurgical Group Corporation (MCC) dan Jiangxi Copper Company Limited (MCC-JCL) sudah memiliki kontrak penambangan di wilayah Mes Aynak dengan kontrak kerja senilai US$ 2,9 miliar sejak tahun 2007.
Selain dari aspek kekayaan mineral, daya tarik terbesar Afghanistan juga muncul dari aspek geostrategi dan geopolitik. Analis senior North Atlantic Treaty Organization (NATO), Mohammad Shafiq Hamdam dalam tulisannya yang berjudul “Standing by Afghanistan: the strategic choice” menyebutkan bahwa Afghanistan adalah satu-satunya negara di Asia Selatan yang memiliki akses terbuka antara AS beserta Sekutu NATO dan Tiongkok.
Seperti yang kita tahu, Afghanistan juga berpapasan dengan apa yang disebut dengan jalur sutra. Jalur perdagangan kuno dengan panjang 4000 mil ini dikenal sebagai persimpangan budaya peradaban India, Persia, dan Tiongkok.
Baca Juga: Retno, Sengkarut Normalisasi Indonesia-Israel
Ariel Cohen dalam tulisan “Paving the Silk Road” menyebut jika dibangun jalur transportasi yang memadai di wilayah ini, maka manfaat ekonomi tidak hanya akan menguntungkan penggagasnya, tetapi juga negara yang ada di sekitar jalur sutra. Namun, yang selama ini selalu jadi permasalahan adalah ketidakamanan dan ketidakstabilan di Afghanistan dan pengaruh besar dari Rusia, Iran, dan Tiongkok.
Bagi Indonesia yang mungkin tidak terlalu berkepentingan dalam geo-strategi dan penambangan mineral, Afghanistan juga memiliki potensi pasar yang cukup menarik untuk Indonesia, seperti contohnya adalah agrikultur, di mana sektor ini berkontribusi sebesar bagi sumber pemasukan negara tersebut. Meskipun begitu, menurut hasil penelitian Izabela Leao yang berjudul “Jobs From Agriculture in Afghanistan” tingkat pengangguran di Afghanistan masih tinggi dan lebih dari 50 persen pekerja muda yang berkontribusi dalam pertanian dan peternakan tidak dibayar.
Ini adalah potensi pasar besar bagi Indonesia sebagai negara dengan pengalaman dan kemampuan teknologi yang semakin berkembang di sektor agrikultur. Selain bisnis di komoditas mentah, Indonesia juga bisa membangun lapangan kerja berbasis pertanian di Afghanistan.
Baca Juga: Indonesia Perlu Akui Taliban?
Klise Kerja Sama Ulama
Kembali pada pernyataan Retno soal niatan besar Indonesia untuk mengawal perkembangan sosial di Afghanistan dengan pendekatan kerja sama ulama, tampaknya itu adalah gagasan yang bisa terbilang klise. Klise yang pada akhirnya tidak akan memberikan dampak besar, atau justru malah berpotensi membuat permasalahan baru.
Tulisan Ondřej Klimeš yang berjudul Transnational Sites of China’s Cultural Diplomacy menyebutkan merupakan suatu kesalahan jika suatu negara mengandalkan diplomasi kultural untuk dapat mengubah pandangan masyarakat suatu negara karena tidak pernah ada batasan jelas seberapa besar budaya dapat mengatasi citra negatif pemerintah dan kebijakan, terlebih lagi jika pendekatan kultural itu dilakukan oleh negara asing.
Oleh karena itu, meskipun sama-sama mayoritas Islam, pendekatan agama bisa berisiko karena adanya perbedaan kultur negara atau bahkan mazhab. Pendengar dari pendekatan kita dapat memaknai diplomasi keagamaan dalam cara yang sama sekali berbeda dari yang dimaksudkan oleh pencipta atau sumbernya.
Tujuan awal dari pendekatan antar ulama mungkin adalah untuk saling pengertian dan menghormati, tetapi dalam karena ada perbedaan bahasan dan mazhab, orang yang kita ajak bicara mungkin bisa melihat adanya motivasi dalam gaya pendekatan kita.
Hal yang sekiranya lebih tepat untuk diambil oleh Indonesia adalah dengan membangun kerja sama ekonomi bersama Afghanistan di sektor agrikultur dan manufaktur karena kerja sama ekonomi juga dapat membantu perkembangan sebuah negara dari keadaan yang terpuruk. Salah satu contoh mengenai hal ini bisa kita ambil dari kerja sama antara Inggris dan Kenya.
Kenya adalah negara yang merdeka pada tahun 1964 dari jajahan Inggris. Negara ini sempat mengalami beberapa tantangan dalam membangun ekonominya. Meskipun begitu, saat ini Kenya disebut sebagai negara ekonomi terbesar di antara Afrika Timur dan Afrika Tengah.
Tulisan Kiganka Sheila Mwende yang berjudul Critical Analysis of Bilateral Relations Between Kenya and Britain from 1963 to 2017 menyebutkan bahwa pemulihan dan peningkatan ekonomi Kenya sangat dipengaruhi besar oleh hubungan bilateralnya dengan Inggris yang berkomitmen dalam memberi investasi yang kuat, juga menjalin hubungan politik yang baik.
Di sisi lain, Inggris mendirikan perusahaan manufaktur makanan dan perangkat teknologi di Kenya, sementara sebagai timbal baliknya memperoleh keuntungan impor barang-barang hortikultura, teh, dan kopi.
Dari sini, Indonesia bisa meniru. Daripada hanya berkoar soal pendekatan keagamaan dan isu HAM, seharusnya Retno juga menyebutkan pendekatan berbasis pembangunan ekonomi.
Pendekatan ini juga dapat menguntungkan kedua negara secara ekonomis, apalagi Indonesia mempunyai keunggulan agrikultur. Sebagai nilai tambahan, jika ekonomi Afghanistan dapat pulih karena pembenahan industri agrikulturnya, Indonesia pun akan dicap telah memberikan kontribusi besar.
Selain itu, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia pasca-perebutan kekuasaan oleh Taliban ke Afghanistan di bulan Agustus melejit 361,7%, dengan jenis barang meliputi produk farmasi, buah-buahan, sabun dan preparat pembersih, minyak atsiri, wewangian, dan kosmetik, berbagai makanan olahan, dan lain-lain. Dari sini Indonesia sudah mendapat petunjuk untuk mendalami investasi dalam bidang apa saja dengan Afghanistan.
Mengandalkan hanya bantuan HAM dan keagamaan kurang memberikan solusi yang konkret, selain itu masih ada juga potensi perbedaan pandangan agama. Kalau memang Indonesia ingin memulai perubahan yang positif, pembenahan kebijakan luar negeri yang lebih aktif bisa menjadi permulaan. (D74)
Baca Juga: Retno Salah Pahami Bebas-Aktif?