HomeNalar PolitikMembaca Gestur Jokowi Lawan Corona

Membaca Gestur Jokowi Lawan Corona

Berbeda dengan berbagai pemimpin negara lainnya yang kerap ditemani saat melakukan pidato terkait virus Corona (Covid-19), uniknya Presiden Jokowi justru beberapa kali tampil sendiri dalam pidatonya. Atas gestur tersebut, beberapa pihak kemudian menyimpulkan bahwa itu merupakan indikasi sang presiden mulai meragukan jajarannya dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Beberapa waktu yang lalu, penulis buku Sapiens dan Homo Deus Yuval Noah Harari memaparkan suatu hal yang menarik terkait pandemi virus Corona (Covid-19) yang tengah melanda dunia saat ini. Menurutnya, bahaya terbesar sebenarnya bukanlah Covid-19 itu sendiri karena umat manusia memiliki semua pengetahuan ilmiah dan teknologi untuk mengatasi virus tersebut.

Bahaya terbesar, menurutnya adalah iblis yang berada dalam diri manusia itu sendiri, seperti kebencian, keserakahan, dan ketidaktahuan. Pada konteks ini, Harari memiliki ketakutan tersendiri bahwa banyak pihak bereaksi terhadap krisis ini bukan dengan solidaritas global, tetapi dengan kebencian, menyalahkan negara lain, hingga menyalahkan etnis dan agama minoritas.

Poin yang hendak ditekankan oleh Harari adalah, alih-alih umat manusia meningkatkan solidaritas global agar pandemi cepat berlalu, seperti bekerja sama dalam membuat vaksin atau berbagi informasi terkait cara penanganan  Covid-19, kita justru melihat banyak terjadi blame game atau permainan kambing hitam yang misalnya terjadi antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok.

Poin solidaritas yang diungkapkan oleh Harari, sedikit tidaknya dapat kita jumpai pada situasi penanganan Covid-19 di Indonesia saat ini. Pada 6 Mei 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato yang menegaskan bahwa bagaimanapun caranya kurva kasus Covid-19 harus turun di bulan Mei, agar dapat masuk pada posisi ringan di bulan Juli.

Lanjut Presiden Jokowi, target tersebut tidak dapat tercapai apabila hanya mengandalkan Gugus Tugas Covid-19, melainkan harus melibatkan seluruh elemen bangsa, jajaran pemerintahan, organisasi sosial kemasyarakatan, relawan, partai politik, dan swasta – yang kesemuanya harus diorkestrasi dengan baik.

Menariknya, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Effendi Gazali memiliki tafsiran yang cukup mengejutkan terkait pidato yang mungkin dinilai biasa saja bagi kebanyakan orang tersebut. Menurutnya,  pidato tersebut menunjukkan bahwa Presiden Jokowi tampaknya sudah kesal dengan jajarannya terkait penanganan Covid-19.

Effendi juga menyinggung perihal  Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang diduga memberikan laporan tidak tepat kepada Presiden Jokowi pada Februari lalu ketika menyebut Indonesia aman dari Covid-19. Menurutnya, boleh jadi hal tersebut telah membuat mantan Wali Kota Solo tersebut menjadi kesal dan mempertanyakan pernyataan dari jajarannya.

Lantas, benarkah pidato Presiden Jokowi tersebut menunjukkan indikasi seperti yang disebutkan oleh Effendi?

Psikolinguistik

Merujuk pada status Effendi yang merupakan pakar komunikasi, menjadi sangat relevan bagi kita untuk menguji pidato Presiden Jokowi tersebut menggunakan psikolinguistik.

Balamurugan dan S. Thirunavukkarasu dalam tulisannya Introduction to Psycholinguistics—A Review menjelaskan bahwa psikolingustik adalah bidang interdisipliner yang didekati dari berbagai bidang dengan latar belakang yang berbeda, seperti psikologi, linguistik ilmu kognitif, pidato dan patologi bahasa.

Istilah psikolinguistik sendiri diciptakan pertama kali pada tahun 1936 oleh Jacob Robert Kantor dalam bukunya An Objective Psychology of Grammar. Namun, istilah tersebut sebenarnya lebih populer dirujuk kepada artikel Language and Psycholinguistics: a Review yang ditulis oleh murid Kantor, Nicholas Henry Pronko.

Secara sederhana, psikolinguistik adalah bidang yang berkaitan dengan sifat perhitungan dan proses yang dialami otak untuk memahami dan menghasilkan bahasa. Pada umumnya, bidang ini dipahami sebagai upaya menerjemahkan situasi atau kondisi mental sang penutur dalam bahasa yang dikeluarkannya.

Dalam perkembangannya, psikolingustik kemudian diterapkan pula untuk menganalisa pidato politik. Yuliya Krylova-Grek dalam tulisannya Psycholinguistic Peculiarities for Application of the Symbolwords in the Political Communication misalnya, ia menjelaskan bagaimana psikolinguistik digunakan untuk membaca makna dari wawancara Presiden AS Donald Trump di salah satu acara Talk Show terkenal di AS.

Pada saat itu, Trump diwawancarai oleh Jimmy Kimmel dan diberikan pertanyaan: “Apakah tidak salah untuk mendiskriminasi (seseorang) berdasarkan agamanya?”

Konteks pertanyaan itu diberikan ketika Trump membuat kebijakan untuk melarang warga negara Muslim untuk mengunjungi AS. Dalam jawaban Trump, terdapat 5 poin penting yang dapat disimpulkan setelah dianalisis menggunakan psikolinguistik.

Pertama, Trump mencontohkan kasus teror yang terjadi di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa secara psikologis, Trump memaknai warga muslim sebagai pelaku teror atau teroris.

Kedua, Trump kerap kali menyebut kata ”problem” (masalah) dan harus mencari akar dari masalah tersebut untuk mengatasinya. Hal ini menunjukkan bahwa Trump bermaksud mengatakan kasus di Paris dapat pula terjadi di AS. Oleh karenanya, itu harus dicegah sedini mungkin.

Ketiga, Trump menggunakan istilah “tremendous harm” (sangat merusak), “badly injured” (buruk), dan “dead” (kematian) untuk menggambarkan akibat yang ditimbulkan dari aksi teror. Hal ini bermakna bahwa Trump tengah berusaha menyelamatkan warga AS dari ancaman yang luar biasa.

Menariknya, pemilihan istilah yang dilakukan oleh Trump mirip dengan cara penyampaian ceramah agama yang kerap menggambarkan akan adanya ancaman yang luar biasa, seperti neraka, kiamat, dan sebagainya. Artinya, di sini Trump berusaha untuk menunjukkan dirinya sebagai sosok penyelamat.

Keempat, Trump menggunakan kalimat “in case… then…” (untuk berjaga-jaga… lalu…). Hal ini bermakna bahwa Trump hendak menawarkan sebuah jaminan kepada pendengarnya. Ini adalah kalimat yang ditujukan untuk kepentingan persuasif.

Kelima, jawaban Trump menunjukkan adanya kekhawatiran yang tinggi, adanya ancaman yang kuat, dan adanya aktivitas yang tinggi dari Trump untuk mengatasi masalah yang ia maksudkan.

Lalu, bagaimana jika psikolinguistik ini digunakan untuk menganalisis pidato Presiden Jokowi?

Gestur yang Terbaca?

Kembali pada Effendi – seperti halnya analisis Krylova-Grek dalam wawancara Trump – dalam analisisnya, pakar komunikasi tersebut juga mencatat istilah penting yang sarat akan makna.

Menurut Effendi Presiden Jokowi yang justru memberikan arahan terhadap jajarannya merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut sepertinya telah merenung untuk memikirkan apakah sudah benar pernyataan-pernyataan atau “bisikan” yang selama ini ia dapatkan dari jajarannya.

Menariknya, pada Maret 2020 lalu, hal serupa juga pernah diungkapkan oleh Pakar Komunikasi Politik, Tjipta Lesmana yang mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi akhir-akhir ini sering terlihat kesal. Menurut Lesmana, hal tersebut terjadi karena selama ini sang presiden kerap mendapatkan masukan “angin surga” atau asal bapak senang (ABS) sehingga tidak mendapatkan laporan yang jujur.

Kemudian, terkait penekanan Presiden Jokowi bahwa Gugus Tugas Covid-19 tidak boleh bekerja sendiri, itu sangat berirama dengan pernyataan Ketua Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo baru-baru ini yang menyebutkan bahwa masih adanya ego sektoral yang membuat penanganan Covid-19 menjadi terkendala.

Lalu, konteks renungan yang disampaikan oleh Effendi juga terlihat dari gestur Presiden Jokowi yang justru beberapa kali tampil sendiri dalam memberikan pidato terkait Covid-19. Pada pidato terkait target penurunan kurva misalnya, mantan Wali Kota Solo tersebut terlihat berpidato sendiri tanpa adanya pendamping.

Padahal, kalau kita melihat pada urgensi pidato, serta membandingkannya dengan pemimpin negara lain seperti Trump misalnya, terlihat jelas penyampaian pidato sepenting itu selalu didampingi oleh pejabat lain, seperti wakil presiden ataupun Menteri Kesehatan.

Dengan kata lain, mungkinkah gestur Presiden Jokowi yang terlihat sendiri dalam berpidato tersebut menunjukkan afirmasi atas “kekesalan” atau mulai diragukannya pernyataan jajaran di bawahnya? Sedikit tidaknya, gestur berpidato sendiri seperti itu dapat dipahami sebagai simbol bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut seperti bekerja sendiri.

Namun, tentu harus dicatat, makna gestur tersebut tentunya tidak dapat dikonfirmasi secara pasti. Di luar itu semuanya, kembali pada Harari, untuk mengakhiri krisis akibat pandemi Covid-19, tentunya kita mengharapkan ego sektoral seperti yang disebutkan oleh Doni dapat dihilangkan agar solidaritas seluruh elemen bangsa dapat terjadi seperti halnya dalam arahan Presiden Jokowi. Itulah harapan kita semua. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Perang Bharatayuddha Jokowi vs Megawati
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...