HomeNalar PolitikMemahami Salafi, Wahabi, dan HTI

Memahami Salafi, Wahabi, dan HTI

Paham Salafi, Wahabi, dan Hizbut Tahrir kerap dianggap sama karena cenderung puritan. Paham ini dianggap sumber dari gerakan-gerakan ekstrem Islam di dunia.


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]agi masyarakat Indonesia, ormas atau gerakan Islam yang paling familiar di telinga adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya memiliki sejarah panjang dan memiliki akar kuat di keseharian masyarakat Indonesia. Namun belakangan, muncul gerakan Islam transnasional. Kini, masyarakat Indonesia mulai terbiasa mendengar gerakan seperti Wahabi, Salafi, dan Hizbut Tahrir.

Meski mulai familiar, gerakan-gerakan tersebut masih dipahami secara rancu bagi masyarakat Indonesia. Baik Salafi, Wahabi, dan Hizbut Tahrir kerapkali dianggap sebagai gerakan yang sama. Meski memiliki kemiripan, namun ketiganya memiliki banyak perbedaan.

Munculnya gerakan Islam transnasional tidak terjadi secara instan, apalagi mereka memiliki jejaring kuat di seluruh dunia. Untuk mencapainya, tentu membutuhkan proses khusus yang menjembatani gerakan mereka.

Di sisi lain, masuknya paham dan gerakan Islam transnasional kerap dianggap ancaman oleh beberapa pihak. Apalagi paham tersebut diperkirakan sudah mulai tumbuh subur dan disebarluaskan, serta dituding sebagai akar dari aksi Islam puritan di Indonesia.

Embrio Gerakan Transnasional

Menyamakan Gerakan Salafi, Wahabi, dan Hizbut Tahrir merupakan hal yang salah kaprah. Ketiga gerakan ini adalah kelompok yang berbeda dengan sejarah yang berbeda. Secara umum, gerakan-gerakan Islam transnasional memang tampak serupa, tetapi ada perbedaan dari berbagai aspek.

Salah satu yang paling sering dirancukan adalah Salafi dan Wahabi. Kedua istilah ini seringkali digunakan untuk menggambarkan gerakan Islam yang mendambakan pemurnian ajaran agama Islam, baik dari bid’ah maupun syirik. Meski begitu, keduanya memiliki sejarah yang berbeda.

Secara umum, pengertian Salafi adalah pengikut para salafush shalih  atau para pendahulu yang saleh. Golongan ini juga sering disebut sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah. Ini merujuk pada Nabi Muhammad dan beberapa generasi di bawahnya, yaitu para sahabat, para tabi’in, dan para tabiut tabi’in.

Maka sebenarnya bisa diartikan, bahwa sebagian besar pemeluk Islam dapat digolongkan pada kalangan Salafi. Baik NU, Muhammadiyah, maupun FPI, semua dapat dikategorikan sebagai pengikut Salafi.

Namun dalam pemahaman populer, Salafi menjadi gerakan Salafi yang dimotori oleh Nashiruddin al-Bani. Gerakan ini berkembang pada tahun 1980-an. Jamaah ini fokus pada pemurnian ajaran agama dari syirik dan bid’ah. Umumnya mereka hanya menerima sumber ajaran dari Alquran dan Hadits saja, serta menolak modernisasi.

Gerakan Salafi cenderung tidak politis. Berbeda dengan gerakan Islam radikal secara umum yang tidak ragu mengkritik pemerintah, bahkan melakukan penyerangan fisik. Sikap ini berbeda dengan Salafi yang justru mengajarkan ketaatan pada pemerintah dan menjauhkan diri dari sikap mengkritik pemerintah.

Di lain pihak, ada pula gerakan Wahabi. Gerakan ini berasal dari pemikiran pendirinya, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan ini besar di Najd, Arab Saudi. Secara prinsip, Wahabi dan Salafi memiliki kemiripan. Keduanya memiliki cita-cita untuk memurnikan ajaran agama Islam dari syirik dan bid’ah.

Perbedaan kedua paham ini terletak pada pemahaman soal mazhab fiqih. Umumnya, Wahabi mengadopsi pemahaman fiqih Imam Ahmad bin Hambal atau mazhab Hambali. Sementara itu, Salafi menolak mengadopsi mazhab manapun.

Dalam sejarahnya, Wahabi gemar memberikan cap kafir kepada pihak yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka bahkan tidak segan-segan memerangi atau membunuh pihak yang tidak satu aliran dengan mereka. Razia dan penggerebekan adalah hal yang lazim dilakukan kelompok ini.

Kelompok Wahabi kerap menolak istilah Wahabi untuk gerakan mereka. Mereka kerapkali memilih untuk disebut sebagai Salafi. Ini kerap membuat rancu gerakan Salafi dan Wahabi di mata orang awam.

Paham Salafi atau Wahabi, kerapkali diidentikkan dengan gerakan radikal di seluruh dunia. Namun sebenarnya term ini tidak tepat, terutama mengaitkannya dengan gerakan-gerakan radikal, terutama jaringan teroris dunia. Jika ingin menggambarkan paham yang melatari gerakan tersebut, maka istilah yang lebih tepat adalah Salafi Jihadi.

Ada beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai Salafi Jihadi. Salah satu yang paling populer adalah Al Qaeda. Beberapa petinggi Al Qaeda seperti Osama bin Laden dan Ayman Al Zawahiri, kerap dianggap sebagai golongan ini. Para ahli juga kerap mengkategorikan ISIS sebagai golongan Salafi Jihadi.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Salah seorang ulama terkemuka Al Qaeda yaitu Syaikh Abu Dujanah, pernah mengatakan bahwa gerakan mereka memang menggunakan manhaj Salafi dan melakukan jihad fi sabilillah. Jika dibedah, para ahli menyebut Salafi Jihadi adalah penggabungan antara gerakan Sayid Quthb (Ikhwanul Muslimin), manhaj (jalan) Salafi, dan dakwah Wahabi. Hal ini menjadi penyebab kebingungan pemberian cap pada gerakan Islam radikal.

Di lain pihak, Hizbut Tahrir adalah gerakan yang berbeda dengan Salafi maupun Wahabi. Gerakan ini lebih banyak berfokus pada gerakan yang bersifat politis, serta cenderung memiliki cita-cita yang lebih politis ketimbang kedua gerakan sebelumnya.

Jika Salafi dan Wahabi lebih banyak berfokus pada pemurnian ajaran Islam dari bid’ah dan syirik, Hizbut Tahrir lebih banyak memperjuangkan tegaknya Syariat Islam di muka bumi. Gerakan ini bercita-cita menyatukan Muslim di seluruh dunia di bawah naungan khilafah. Payung politik khilafah inilah yang menjadi tujuan utama gerakan Hizbut Tahrir.

Tumbuh Subur di Indonesia

Sebagai gerakan transnasional, ketiga gerakan ini melebarkan sayapnya ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ada beberapa cara penyebaran yang mereka lakukan. Jika dilihat dari sejarahnya, Salafi adalah gerakan yang amat konservatif. Akibatnya, penyebaran paham ini amat terbatas di lingkungan masjid saja, pada awalnya. Selain itu, ada garis yang dapat ditarik lurus antara Ulama Salafi ke murid-murid di bawahnya.

Penyebaran paham Salafi umumnya berawal dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Arab Saudi, khususnya Universitas Islam Madinah. Mereka terpengaruh oleh ulama-ulama Salafi yang ada di kampus tersebut.

Penyebaran di Indonesia dimulai bertahap, melalui berbagai institusi. Mereka menebarkan dakwah melalui institusi pendidikan, seperti pondok pesantren atau sekolah (ma’had). Jika dicermati, gerakan ini juga nampak di mesjid-mesjid kampus ternama negeri ini.

Media juga menjadi salah satu metode penyebaran paham Salafi. Ada banyak situs internet yang menjadi referensi dan saluran penyebaran paham ini. Terdapat pula sebuah stasiun radio yang menjadi saluran penyebaran paham Salafi.

Sementara itu, Wahabi menyebar melalui promosi gencar Kerajaan Arab Saudi dalam mewujudkan Wahabisasi global. Ada beberapa lembaga yang didanai kerajaan ini melalui Rabithat al Alam Al Islami dan International Islamic Relief Organization (IIRO).

Lembaga-lembaga seperti Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Kompak, dan beberapa lembaga lain, disebut-sebut menerima dana tersebut untuk membantu penyebaran Wahabisme.

Ada pula sebuah institusi pendidikan yang khusus berafiliasi dengan Wahabi di Arab Saudi. Lembaga ini dikenal sebagai Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Lulusan dari kampus ini, kerap disebut berperan dalam penyebaran paham Wahabi di Indonesia.

Untuk Hizbut Tahrir, gerakan ini pertama kali masuk ke Indonesia melalui  Abdurrahman Al-Baghdadi. Al-Baghdadi adalah anggota Hizbut Tahrir Australia. Ia kemudian ke Indonesia dan mulai mengkader beberapa orang. Gerakan ini mulai menyebar di kampus-kampus Indonesia. Beberapa kampus negeri ternama seperti UI, ITB, atau IPB, memiliki peran besar dalam penyebaran gerakan ini.

Dalam penyebaran paham dan pembentukan khilafah, Hizbut Tahrir memiliki tahapan tersendiri. Pertama, mereka akan fokus untuk mengkader beberapa orang terlebih dahulu. Setelah itu, barulah mereka mulai berbaur dengan masyarakat. Fase inilah yang membuat penyebaran paham Hizbut Tharir berlangsung perlahan dan tidak terkesan represif.

Diadopsi di Indonesia?

Banyak yang menduga, gerakan atau paham-paham tersebut sudah diadopsi oleh banyak Organisasi Massa (Ormas) Islam di Indonesia. Berbagai pihak menganggap bahwa paham-paham  tersebut menjadi landasan gerakan ormas radikal di Indonesia.

Salah satu ormas yang kerap dituding terkait gerakan atau paham seperti disebut di atas adalah Front Pembela Islam (FPI). Ormas yang didirikan Rizieq Shihab ini, acap disebut sebagai gerakan yang mengadopsi paham dan gerakan Wahabi di Indonesia.

Tuduhan ini dialamatkan kepada FPI karena sepak terjang ormas tersebut selama ini. FPI memang dikenal sebagai ormas yang mendambakan tegaknya Syariat Islam di Indonesia. Mereka termasuk getol melakukan melakukan aksi sweeping terhadap aktivitas yang dianggap maksiat atau menyimpang dari Syariat Islam.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

https://www.youtube.com/watch?v=qX5dkA4-fK0

Banyak orang menuding, tindakan ini mirip dengan gerakan kaum Wahabi. Akan tetapi, jika dilihat dari sejarahnya, kaum Wahabi lebih banyak fokus pada kemurnian agama Islam dan yang menjadi fokusnya adalah pemberantasan bid’ah dan syirik.

Jika dilihat dari pemahamannya, FPI justru memiliki perbedaan dengan Wahabi. Melihat sepak terjangnya selama ini, FPI justru kerapkali melakukan aktivitas seperti tahlilan, ziarah kubur, dan peringatan maulid nabi. Tradisi ini lebih dekat dengan kaum Nahdliyin.

Berdasarkan aktivitas tersebut, FPI justru dapat dikategorikan sebagai pelaku bid’ah oleh Wahabi dan juga Salafi. Kedua paham tersebut menganggap tahlilan dan maulid nabi tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad. Hal ini membuat FPI secara pemahaman agama justru tidak kental dengan nuansa Wahabi atau Salafi.

Salah paham juga berlaku pada ormas lainnya, yaitu Forum Betawi Rempug (FBR). Sepak terjang ormas ini memiliki kemiripan dengan FPI. Ormas ini kerapkali melakukan sweeping, misalnya di bulan suci Ramadan. Sebagian orang mengaitkan hal ini dengan gerakan Wahabi.

Seperti FPI, FBR juga kerap melakukan aktivitas bid’ah seperti tahlilan atau maulid nabi. Melihat kebiasaan mereka ini, label Wahabi atau Salafi sepertinya salah alamat.

Khusus untuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), gerakan ini memang mengadopsi gerakan Hizbut Tahrir yang ada di seluruh dunia. Baik metode gerakan maupun pemahaman agama, HTI mengadopsi apa yang diterapkan Hizbut Tahrir di tingkat nasional.

Jika melihat genealoginya, tidak ditemukan gerakan di luar HTI yang mengadopsi gerakan atau pemahaman ala Hizbut Tahrir di Indonesia. Oleh karena itu, memberi cap Hizbut Tahrir kepada gerakan di luar HTI adalah hal yang sungguh keliru.

Akar Gerakan Terorisme?

Paham Salafi atau Wahabi juga kerap dialamatkan pada gerakan-gerakan teroris di Indonesia, dan seringkali dianggap sebagai sumber ekstremisme kelompok Islam. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, label yang paling mendekati gerakan semacam itu adalah Salafi Jihadi.

Penjelasannya dapat ditarik dari pernyataan salah seorang pelaku bom Bali, yaitu Imam Samudera. Menurutnya, ada beberapa ulama yang menjadi panutan gerakan mereka. Ia pernah menyebut nama Osama bin Laden, Abdullah Azzam, dan  Ayman al-Zawahiri. Jika ditelusuri, nama-nama ini kerap dikategorikan sebagai Ulama Salafi Jihadi.

Jika melihat polanya, beberapa ahli juga kerap memberikan label Salafi Jihadi kepada Abu Bakar Ba’asyir. Pimpinan gerakan Jamaah Ansarut Tauhid ini, mengadopsi paham puritan atau pemurnian seperti para Salafi. Di sisi lain, ia juga melakukan jihad untuk menentang pemerintahan yang ada dunia. Karakter ini amat dekat dengan Salafi Jihadi.

Untuk Hizbut Tahrir, mereka tidak terkait dengan aksi teror di dunia. Hal ini dikarenakan mereka lebih banyak menggunakan cara dakwah untuk mewujudkan kekhilafahan. Tidak ada gerakan mereka yang terkait dengan kekerasan.

Jika ada anggota atau eks anggota Hizbut Tahrir yang melakukan aksi teror, umumnya hal ini bersifat individu dan mereka telah berpindah jamaah. Ini nampak misalnya pada kasus Bahrun Naim yang telah berbaiat pada ISIS. Hizbut Tahrir atau HTI sendiri, secara institusi kerap menghindari aksi teror dan tidak berada satu struktur dengan ISIS.

Menyamakan gerakan-gerakan Islam ke dalam satu istilah seperti “radikal”, “puritan”, atau “ekstremis” adalah hal yang terburu-buru. Beberapa memang memiliki kemiripan, tetapi bukan berarti mereka memiliki paham atau gerakan yang sama persis.

Boleh jadi, saat ini mereka tengah berada di kolam yang sama. FPI dan HTI misalnya, kini kerap ditemui dalam berbagai aksi bela Islam yang mengritik pemerintah. Namun bukan berarti mereka berada di spektrum yang sama. Label Salafi dan Wahabi kepada kolam ini, juga tidak terlalu tepat. Masyarakat sebaiknya berhati-hati memberikan label apapun agar tidak salah kaprah. (H33)

Ralat: artikel ini telah mengalami perubahan pada 25 Juli 2019 di bagian Infografis, yang sebelumnya menyebut nama Nashiruddin al Bani sebagai pendiri Hizbut Tahrir, menjadi Taqiyyudin an Nabhani. Redaksi menyampaikan permohonan maaf terkait kekeliruan tersebut. 

► Ingin video menarik lainnya ? klik di : http://bit.ly/PinterPolitik

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...