Pendekatan psiko-politis mengkaji masalah terorisme dari segi perilaku individu, dan bagaimana pengaruh kebijakan-kebijakan politik sebagai variabel yang turut mempengaruhi seseorang melakukan aksi teror mematikan.
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]inggu pagi nan cerah dan nyanyian-nyayian Tuhan yang menggelora sejenak terdiam akibat ledakan bom pipa, yang disebut juga the Mother of Satan. Suara-suara panik dan reruntuhan bangunan menampilkan keganasan sekaligus perilaku amoral atas nama agama. Lantas bagaimana menjelaskan fenomena perilaku tindakan teror seperti ini?
Pertama-tama, penting untuk menjadi pertimbangan bahwa diskursus terorisme yang berkembang di masyarakat adalah sebuah apriori. Apriori sebagai sebuah pengetahun tentu saja memicu spekulasi karena kesimpulan yang diambil tidak memiliki bukti nyata, atau only based on the assumption.
Karena ini apriori maka pendekatan atau dimensi di balik kemunculan kelompok ini pun beragam, baik itu ekonomi politik maupun ideologi. Sejauh ini tidak ada kesimpulan valid terkait akar di balik kemunculan terorisme, dengan demikian ruang perdebatan selalu ada. Kendati demikian, dimensi psiko-politis dapat menjadi variabel lain untuk melacak motif di balik perilaku teror.
Indonesia sudah beberapa kali mengalami peristiwa teror bom, tidak ada gejala islamophobia bahkan di wilayah yang mayoritasnya non muslim sekalipun.
— Benny Octavian (@Bennyvian) May 21, 2018
Pendekatan psiko-politis mengkaji masalah terorisme dari segi perilaku individu dan bagaimana kebijakan-kebijakan politik sebagai variabel yang turut mempengaruhi seseorang melakukan aksi teror mematikan. Penting untuk memahami dimensi psiko-politis supaya kita tidak terjebak pada satu sudut pandang semata, misalnya yang menyebut terorisme adalah konspirasi elit internasional, dan bukan merupakan faktor psikologis dan politik.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) pada tahun 1988 pernah membuat defenisi mengenai terorisme sebagai “kekerasan yang direncanakan, bermotivasi politik dan bertujuan untuk mempengaruhi kyalayak banyak”.
Terorisme sebagai Non-State Actor
Label hegemon global yang melekat pada AS pasca Perang Dingin (1947-1991) tidak lantas memberikan jaminan bahwa negara-negara yang tunduk pada kebijakan pro Barat akan bebas dari ancaman teror secara global.
Sebaliknya, fenomena internasional pasca era itu justru memberikan ruang bagi non state-actor atau aktor selain negara untuk menunjukan eksistensinya, sebut saja seperti kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Sejak munculnya kelompok ISIS, dinamika politik internasional menjadi semakin kompleks, sekaligus menunjukkan adanya struktur internasional yang timpang antara negara maju dan berkembang. Dalam konteks ini, kemunculan terorisme bisa dipahami sebagai rivalitas negara-negara dunia ketiga terhadap dominasi kapitalisme Barat.
Sukawarsini Djelantik dalam buku berjudul Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Nasional membagai tipologi kelompok teroris dalam 4 golongan, yakni kelompok nasionalis-separatis, kelompok fundamentalis agama, kelompok agama baru, dan terakhir kelompok pelaku revolusi sosial.
Dalam buku yang dicetak pertama kali pada tahun 2010 itu, Djelantik dengan sangat apik menganalisa tindakan terorisme dengan pendekatan psikologi-politik yang jarang sekali didengar ketika serangan-serangan teror terjadi, khususnya di Indonesia.
Faktor Politik dan Psikologi
Paul Wilkinson dalam Political Terrorism menyebutkan revolusi dan kekerasan politik merupakan faktor penyebab terorisme, termasuk di dalamnya konflik etnis, konflik agama, ideologis, kemiskinan, tekanan modernisasi, ketidakadilan politik, pemerintahan yang lemah, memudarnya kepercayaan rakyat terhadap kelompok yang berkuasa serta perpecahan di antara elit yang sedang berkuasa.
Jika kita membuat korelasi antara aksi terorisme dengan kemampuan negara untuk mengatasi teror tersebut, secara eksplisit ada indikasi bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia khususnya pada pemerintahan Jokowi tidak hanya menunjukkan faktor pemerintahan yang lemah tapi sekaligus mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah tehadap faktor keamanan nasional.
Hubbard, David G dalam Psychodynamics of Terrorism mengatakan terdapat subtansi yang membuat seseorang melakukan tindakan teror, yakni norepinephrine – yang diproduksi oleh kelenjer adrenal dan saraf simpatis dan berasosiasi dengan respons psikologis fight dari individu yang tengah berada dalam kondisi tertekan.
Karena subtansi ini ada di dalam diri teroris, maka bisa disimpulkan kebanyakan kekerasan yang yang dilakukan teroris bukan berakar pada faktor kejiwaan melainkan faktor penyebaran (contagion effect).
Selain David dan Wilkinson, Oots dan Wiegele dalam Terrorist and Victim: Psychiatric and Physiological Approaches from a Social Science Perspective, juga mengungkapkan bahwa kondisi psikologis calon terorisme secara signifikan dipengaruhi oleh stabilitas masyarakat. Menurut Oots dan Wiegele, seorang individu berpindah dari calon teroris menjadi teroris melalui proses psikologis, fisiologis dan politis.
Operasi Penindakan Terhadap Jaringan Teror Pasca Kejadian Bom Surabaya pic.twitter.com/R7JmIajuYX
— Aditya Firman (@adityfirman495) May 21, 2018
Teroris digambarkan sebagai seorang individu yang frustasi dan terdorong karena berulang kali mengalami sindrom fight atau flight. Pada akhirnya calon teroris mencari pelampiasan melalui aksi agresif untuk menghilangkan rasa frustasinya guna mengejar tujuan politik.
Apa Motif Pelaku Teror di Surabaya?
Kesimpulan sementara yang bisa diambil dalam kasus teror di Surabaya adalah bahwa faktor psikologis dan politis turut memainkan peran penting dalam menentukan seseorang melakukan tindakan teror. Kasus ini sekaligus membenarkan bahwa faktor ekonomi bukan motif utama pelaku melakukan tindakan teror.
Seperti diketahui, Sri Puji sang pelaku bom bunuh diri, berasal dari keluarga terpandang di Muncar, Banyuwangi. Bapaknya, Haji Kusni merupakan pebisnis jamu tradisional yang terbilang sukses. Ia disebut sebagai salah satu orang terkaya di Banyuwangi.
Sementara, Dita Oepriarto dan Sri Puji juga merupakan pengusaha yang menjual berbagai jenis minyak atau sari tanaman yang dipasarkan melalui media sosial, Facebook.
Selain itu, seperti diberitakan media massa, keluarga Dita juga diketahui bermukim di salah satu perumahan cukup elit di Surabaya dengan harga per rumah di kawasan itu mencapai 1 miliar lebih. Pelaku juga memiliki 1 unit mobil keluarga yang digunakan untuk melakukan tindakan teror.
Jika kasus Dita dihubungkan dengan pendapat Wilkinson di atas terkait motif seseorang melakukan tindakan teror, maka alasan yang cukup rasional untuk mengatakan motif pelaku teror di Surabaya lebih dipengaruhi oleh faktor ideologis dan ketidakadilan politik. Untuk menjelaskan pendapat Wilkinson di atas, informasi mengenai hubungan antara Dita dengan kelompok teror di Suriah (ISIS) dapat memperkuat rasionalitas ini.
Faktor Ideologi dan Ketidakadilan Politik
Seperti dilaporkan oleh berbagai media, Dita Oepriarto merupakan ketua Jammah Ansharut Daulah (JAD) cabang Jawa Timur. Organisasi ini diketahui memiliki jaringan kuat dengan ISIS di Suriah. Menurut beberapa sumber, Dita dan keluarga juga baru saja kembali dari Suriah.
Pada Oktober 2017 silam, data dari The Soufan Center, sebuah lembaga kajian yang berpusat di New York, menyebutkan terdapat sekitar 600 warga Indonesia yang bergabung bersama ISIS sebagai petempur dan 384 dari mereka masih berada di Suriah. Menurut lembaga itu ada 113 perempuan Indonesia yang bergabung bersama ISIS di Irak dan Suriah.
Sementara itu, pada 15 Mei lalu, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu mengatakan terdapat 500 orang WNI yang baru saja pulang dari Suriah. Menurut menteri pertahanan, 500 WNI ini merupakan generasi ketiga para pejuang ISIS. Kembalinya para pejuang ini disinyalir karena ISIS sedang mengalami tekanan.
#InfoGen1031Fm Pemkot Surabaya beri pengharagaan pd 41 orang dan instansi atasi tragedi teror bom bunuh diri di Surabaya, Minggu dan Senin lalu. Dr 41 orang itu, 13 di antaranya terlibat langsung halau pelaku teror bom.
— Gen 103.1 Fm (@gen1031fm) May 21, 2018
Sejak 2017 ISIS telah mengalami kekalahan, jatuhnya kota Deir al-Zour di Suriah Timur merupakan kemunduran besar bagi ISIS. Selain itu, ISIS juga telah kehilangan kota Raqqa yang diklaim sebagai ibukota kekhalifahan Islam.
ISIS merupakan sempalan Al-Qaeda yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi. Dalam pidato Al-Baghdadi pada 2014, terlihat bahwa ISIS ingin mendirikan negara khilafah. Meski demikian, impian untuk mendirikan negara khilafah ini dianggap oleh kelompok lain sebagai cita-cita yang utopis.
Ketika kelompok lain menganggap kelompok ini sebagai gerakan utopis, di situlah letak awal mula teror dimulai karena ISIS merasa kelompok lain tidak adil dalam memandang ideologi mereka. Ini sejalan dengan teorema yang dibangun oleh Paul Wilkinson bahwa faktor psikologi-sosial, prejudis, kebencian dan fanatisme merupakan faktor dominan dalam mendorong kekerasan ekstrim.
Hal lain yang memicu kebencian kelompok ini adalah ketika mereka tidak mendapatkan ruang aspirasi politik dalam panggung internasioal. Apalagi sejak Amerika Serikat membentuk koalisi anti-ISIS bersama 68 negara di dunia. Ketidakadilan ini membuat ISIS mencari alternatif perjuangan lain, untuk menunjukan eksistensi mereka sebagai bagian dari ideologi besar di dunia.
Dengan demikian, dari sudut pandang psiko-politis kita bisa melihat ada dimensi lain yang mempengaruhi atau mendorong kelompok radikal ISIS dan jaringan internasionalnya untuk melakukan tindakan teror.
Meskipun ada wacana lain untuk memahami kelompok ini seperti yang dipaparkan oleh Peter Bergen dalam Al-Qaeda, the Organization: A Five Years Forecast atau dijelaskan Robert Dreyfuss dalam Devil’s Game: How United State Helped Unleash Fundamentalist Islam. Namun, pendekatan psiko-politis juga penting untuk menjadi pertimbangan, terutama bagi pemerintah, untuk membuat sebuah kebijakan politik yang adil dan non-diskriminasi.
Pemerintah tidak boleh timpang dalam memahami penyebab seseorang melakukan tindakan teror, seperti hanya berhubungan dengan faktor ekonomi semata. Lebih jauh daripada itu, pemerintah harus selalu mempertimbangkan motif psiko-politis sebagai pemicu seseorang melakukan tindakan teror, seperti halnya ISIS yang tak mendapatakan ruang politik sebagai sebuah ideologi yang diakui dunia internasional. (A13)