Terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara menarik atensi publik dengan begitu masif. Bagaimana tidak, Juliari disinyalir mengambil keuntungan di tengah upaya pemerintah dalam menangani dampak pandemi Covid-19. Apa sebenarnya penyebab dirinya sanggup melakukan tindakan yang bisa dianggap menerobos moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan ini?
Sejak tahun 2005, setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Hari peringatan ini ditetapkan berdasarkan hasil United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diselenggarakan pada Desember 2003 silam.
Salah satu tujuan dari ditetapkannya Hakordia ini adalah untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat umum tentang berbagai bentuk tindak korupsi. Selain itu, PBB juga berharap publik memiliki kekhawatiran terhadap korupsi karena penyebarannya yang sangat luas.
Dengan masih merebaknya pandemi Covid-19, Hakordia tahun ini mengambil tema ‘Recover with Integrity’. Seperti diberitakan sejumlah media, tema ini sendiri dipilih untuk mengingatkan dunia bahwa selama krisis kesehatan Covid-19, memerangi korupsi dapat menjadi pembeda antara hidup dan mati.
Namun bak jauh panggang dari api, apa yang terjadi di dalam negeri justru berbeda 180 derajat. Tak lama sebelum peringatan Hakordia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru membongkar praktik rasuah yang dilakukan oleh Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Mirisnya, praktik culas yang Ia lakukan itu berkaitan dengan bantuan sosial (bansos) untuk penanganan Covid-19.
Sontak kasus yang menjerat politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu pun memantik rentetan sentimen minor. Publik sepertinya satu suara bahwa kasus yang menjerat Juliari ini melampaui batas-batas moral kemanusiaan karena nekat mengambil keuntungan dari masyarakat yang tengah terhimpit dampak pandemi.
Pandangan itu pun sepertinya juga diakui sendiri oleh negara dan penegak hukum. Pasalnya, jauh sebelum kasus ini terungkap, Ketua KPK Firli Bahuri sudah pernah mengancam akan menuntut para pemburu rente dana penanganan Covid-19 dengan pidana mati.
Meski masih perlu waktu untuk membuktikan ancaman Firli tersebut, namun di titik ini setidaknya bisa disepakati bahwa kasus korupsi Juliari ini memang sangat mengusik nilai-nilai kemanusiaan. Lantas pertanyaannya, mengapa hal ini bisa sampai terjadi?
Juliari Terjebak Kemewahan?
Mengacu pada pemberitaan di sejumlah media, korupsi yang dilakukan Juliari disebut-sebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Komisi antikorupsi dikabarkan mengamankan total uang mencapai Rp 14,5 miliar.
Mengutip informasi dari situs e-lhkpn.go.id, Juliari tercatat memiliki harta kekayaan mencpai Rp 47 miliar. Fakta ini kemudian membuat publik semakin bertanya-tanya mengapa orang dengan jumlah kekayaan yang sebanyak ini masih juga nekat mempertaruhkan kredibilitasnya untuk melakukan korupsi.
Konteks keterikatan manusia terhadap aset-aset ekonomi sebenarnya dapat ditelusuri jauh sebelum peradaban modern berdiri.
Matthew Shaer tulisannya yang berjudul The Archaeology of Wealth Inequality menyebutkan bahwa peradaban manusia sebelum memasuki kehidupan bercocok tanam dinilai paling adil lantaran belum adanya akumulasi kekayaan karena harta dan komoditas terdistribusi secara merata.
Namun, sejak manusia hidup dengan cara bercocok tanam, kesenjangan ekonomi mulai terjadi karena pertanian memungkinkan manusia untuk mengumpulkan kekayaan dan menyebarkannya.
Di Eropa dan Asia, misalnya, domestikasi hewan untuk keperluan pertanian sudah dimulai sekitar 10.000 tahun yang lalu, di mana ini memungkinkan beberapa pemilik tanah mengolah wilayah yang lebih luas dan semakin memusatkan kekayaan mereka. Di Amerika, fenomena ini tidak terjadi sampai orang-orang Eropa mengekspor inovasi pertanian mereka pada abad ke-16.
Terkait dengan hal ini, Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Sapiens kemudian memberikan pertanyaan lanjutan yang cukup menarik untuk didalami; jika gaya hidup berburu sudah mencukupi kebutuhan dasar manusia, untuk apa manusia mempertahankan kehidupan bercocok tanam yang justru berpotensi melahirkan masalah-masalah baru?
Ia menduga hal ini terjadi lantaran manusia terperangkap dalam kemewahan sebab hidup bercocok tanam telah memungkinkan manusia untuk melakukan akumulasi kekayaan yang tak terjadi di peradaban sebelumnya.
Hidup dengan kemewahan ini kemudian membuat manusia menerima dengan wajar masalah-masalah baru, seperti konflik sosial yang diakibatkan oleh peradaban bercocok tanam.
Terlebih lagi, dengan adanya revolusi industri dan kemajuan sains, umat manusia semakin mengembangkan cara untuk mengakumulasi kekayaan karena memandang suatu pertumbuhan ekonomi setara dengan kebaikan.
Berangkat dari pemikiran Harari ini, maka bisa saja dibilang bahwa motif ekonomi telah membuat manusia tak lagi mampu membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk. Lantas pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi?
Kognisi Juliari Terpolusi?
Sejak kecil manusia pasti sudah diajarkan bahwa beramal adalah perbuatan baik dan mencuri adalah perbuatan buruk. Pemahaman ini kemudian tersimpan dalam kognisi manusia hingga mereka bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk.
Kendati demikian, Kendra Dupuy dan Siri Neset dalam tulisan mereka yang berjudul The Cognitive Psychology of Corruption Micro-Level Explanations for Unethical Behavior mengatakan rasionalitas sebagai logika yang sangat membatasi sebab rasionalitas menuntut kepatuhan pada aturan logika yang tidak dapat diterapkan oleh pikiran manusia yang serba terbatas.
Sebaliknya, manusia rentan terhadap berbagai bias kognitif yang mendorong mereka untuk mengambil keputusan dan perilaku dengan cara yang tidak sesuai dengan prediksi pilihan rasional dan pendekatan fungsionalis.
Namun selain memiliki keterbatasan dalam memahami rasionalitas, kognisi manusia juga bisa dibilang tercemar. Hal ini lah yang kiranya membuat manusia acap kali melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Filsuf Jean-Jacques Rousseau menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya baik, namun menjadi jahat karena dipengaruhi oleh peradabannya. Selain itu, Rousseau juga mengatakan bahwa peluang yang manusia ciptakan demi memenuhi hasrat kemalasan dan kemewahannya telah berkontribusi pada perilaku korupsi. Lebih lanjut, Ia menilai kemajuan pengetahuan telah menghancurkan kebebasan individu.
Dia juga menyimpulkan bahwa kemajuan materi sebenarnya telah merusak persahabatan sejati dan menggantinya dengan kecemburuan, ketakutan, dan kecurigaan.
Dari sini maka dapat dikatakan bahwa selain adanya dorongan terhadap motif ekonomi, tindakan korupsi Juliari yang dinilai telah melampaui batas-batas moral dan rasa kemanusiaan juga bisa terjadi lantaran adanya keterbatasan dan pencemaran yang melanda kognisi manusia.
Dua faktor ini kemudian berkontribusi pada tindakan manusia yang tak lagi bisa membedakan baik-buruk atau bahkan sanggup melakukan perbuatan yang memang disadarinya buruk.
Korupsi adalah Dilema Sosial?
Kendati pada ulasan sebelumnya menyinggung praktik korupsi dari sudut pandang kognisi individual manusia, namun dalam konteks yang lebih sistemik, praktik rasuah tetap berada di ranah sosial.
Nils Christopher Köbis dalam tulisannya yang berjudul The Social Psychology of Corruption mengategorikan korupsi sebagai dilema sosial. Hal ini terjadi lantaran dalam setiap praktik korupsi kerap terjadi pertentangan antara kepentingan pribadi jangka pendek dengan kepentingan kolektif jangka panjang.
Dalam konteks korupsi, pemegang kekuasaan menghadapi konflik antara menyalahgunakan kekuasaan dan menggunakan kekuasaan secara bertanggung jawab. Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan demi melayani kepentingan pribadi jangka pendek, sedangkan tidak korupsi adalah menggunakan kekuasaan secara bertanggung jawab demi melayani kepentingan kolektif jangka panjang.
Senada, Kendra Dupuy dan Siri Neset juga menyebut bahwa korupsi sangat mungkin terjadi dalam situasi asimetri kekuasaan. Asimetri yang dimaksud adalah ketika adanya beberapa individu (agen) memegang kekuasaan atas orang lain (prinsipal).
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan selain adanya faktor kognisi, korupsi juga bisa terjadi karena adanya dukungan dari lingkungan yang mendukung perbuatan itu bisa terjadi. Dalam hal ini, pemegang kekuasaan adalah pihak-pihak yang paling rentan melakukan tindakan korupsi.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa hasrat terhadap kemewahan dan polusi yang mencemari kognisi manusia adalah faktor yang cukup berperan mengapa Mensos Juliari mampu mengabaikan naluri kemanusiaannya untuk berbuat korupsi di tengah pandemi Covid-19. Namun selain dua faktor individual tadi, aspek sosial juga berperan mengapa hal ini bisa sampai terjadi.
Bagaimana pun, sekelumit ulasan ini hanyalah interpretasi teoretis semata yang masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Di titik ini, hanya Juliari sendiri lah yang mampu menjawab apa motif sebenarnya dari tindakan rasuah yang dilakukannya. Mari berharap saja semoga kasus korupsi, apalagi yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19 tak akan terjadi lagi di kemudian hari. Menarik ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.