Site icon PinterPolitik.com

Melirik Lebaran Idulfitri Kala Corona

Melirik Lebaran Idulfitri Kala Corona

Presiden Jokowi ketika menjalankan ibadah salat id dalam merayakan Hari Raya Idulfitiri 1441H. (Foto: Twitter/@jokowi)

Hari Raya Idulfitri baru saja diperingati oleh umat Muslim sedunia, termasuk di Indonesia. Namun, terdapat persoalan pandemi virus Corona (Covid-19) yang timbul menyertai perayaannya, seperti pelanggaran terhadap Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB) dan larangan mudik yang dilakukan oleh masyarakat.


PinterPolitik.com

“Mom and Dad, I won’t be home for the holidays. I’m over 800 miles away” – Cyhi the Prynce, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Sebagian besar orang Indonesia pasti melihat Hari Raya Idulfitri (atau Lebaran) sebagai momen yang penting. Bagaimana tidak? Pergantian bulan dari Ramadan ke Syawal ini menjadi waktu yang ditunggu-tunggu untuk pulang ke tempat asal dan bertemu dengan sanak keluarga.

Guna menyiapkan momen seperti ini, masyarakat biasanya ramai-ramai berbelanja ke pasar dan mal. Selain untuk membeli baju dan pakaian baru, tak jarang keluarga turut membeli kebutuhan pokok untuk menyiapkan makanan ala lebaran, seperti opor ayam, ketupat, rendang, dan – yang selalu ada di meja ruang tamu – berbagai jenis kue kering.

Tak jarang, momen-momen ini disertai dengan kebiasaan dan tradisi yang tentunya “sulit ditolak”. Tak sedikit orang menanti-nanti kedatangan apa yang disebut sebagai tunjangan hari raya (THR). Di Jawa Timur, tradisi seperti ini biasa disebut dengan istilah “galak gampil”.

Lagi pula, siapa yang tidak mau diberi uang secara cuma-cuma? Semua orang pasti bersedia untuk menerima uang yang biasa diberikan oleh sanak-sanak keluarga lainnya. “Buat tambahan njajan,” kata biasa dari pakdhebudhe atau om-tante sembari memberikan sebuah amplop berisikan uang.

Namun, amplop yang diharap-harapkan itu mungkin tak akan segera datang pada Lebaran 2020 ini. Tidak sedikit orang harus rela kehilangan kesempatan untuk merayakan momen-momen hangat bersama keluarga ini karena pandemi virus Corona (Covid-19) yang tengah merongrong Indonesia.

Meski begitu, tak semua orang ternyata rela menunggu agar pandemi ini reda terlebih dahulu. Bagi sebagian orang yang tak ingin bersabar, tradisi Lebaran tetaplah perlu dilaksanakan.

Bagaimana tidak? Pasar dan mal ternyata kembali ramai dikunjungi oleh pengunjung menjelang Lebaran. Pusat-pusat perbelanjaan di berbagai kota – mulai dari Pasar Tanah Abang di Jakarta hingga Pakuwon Mall di Surabaya – tampak ramai bila dilihat dari video-video yang tersebar di media sosial.

Belum lagi, banyak masyarakat yang ternyata tetap memilih melakukan mudik di tengah pandemi ini. Kabarnya, sebanyak 465.582 kendaraan berhasil keluar dari DKI Jakarta dalam periode waktu seminggu sebelum lebaran.

Perilaku masyarakat seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan. Mengapa sebagian masyarakat tetap nekat menjalankan tradisi-tradisi Lebaran tersebut meski pandemi tengah terjadi?

Kebiasaan Susah Ditinggalkan?

Seperti apa yang sering dibilang oleh banyak orang, kebiasaan memang sulit diubah. Bukan tidak mungkin pelanggaran masyarakat terhadap PSBB dan larangan mudik di tengah pandemi ini dikarenakan kebiasaan yang mungkin telah mendarah daging di masyarakat.

Mungkin, kebiasaan yang mendarah daging inilah yang berusaha dijelaskan oleh Charles Duhigg dalam bukunya yang berjudul The Power of Habit. Setidaknya, Duhigg menjelaskan kebiasaan (habit) melalui neurologi dengan sebuah istilah yang disebutnya sebagai habit loop (lingkaran kebiasaan).

Lingkaran kebiasaan ini terdiri dari tiga komponen, yakni isyarat (cue) sebagai penyebab awal sebuah kebiasaan, rutin (routine) atau kegiatan yang dilakukan berulang sebagai respons terhadap cue, dan ganjaran/hadiah (reward) sebagai hal yang didapatkan dalam sebuah kebiasaan.

Duhigg pun mencontohkan loop ini dengan kebiasaan memakan kue cokelat dari seorang pelajar. Cue kebiasaan ini dapat saja disebabkan oleh kebosanan atau rasa lapar. Akibatnya, seseorang dapat melakukan sebuah routine ketika cue serupa muncul, yakni pergi membeli kue cokelat di sebuah kantin.

Dari kegiatan yang menjadi rutin tersebut, individu atau kelompok bukan tidak mungkin mengharapkan reward. Menurut Duhigg, reward ini bisa berupa kue cokelat itu sendiri atau kebahagiaan lain yang timbul dari lingkungan sekitar, seperti percakapan kantin yang timbul sambil memakan kue cokelat, perubahan pemandangan, pengalihan dari masalah, dan sebagainya.

Reward seperti ini dianggap memiliki pengaruh yang kuat dalam sebuah kebiasaan. Keinginan (craving) terhadap rewardinilah yang membuat seseorang atau sebuah kelompok untuk menjalankan kebiasaan.

Bila habit loop ini dapat membuat seorang pelajar memiliki kebiasaan untuk membeli kue cokelat di kantin, bagaimana dengan kebiasaan dan tradisi Lebaran di masyarakat Indonesia? Apakah habit loop ini bisa menjelaskan latar belakang mengapa masyarakat melakukan pelanggaran atas PSBB dan larangan mudik?

Pelanggaran PSBB dan larangan mudik bisa jadi didorong oleh craving akan reward yang ingin didapatkan dari kebiasaan dalam habit loop. Share on X

Bukan tidak mungkin kebiasan dan tradisi lebaran merupakan habit loop yang dimiliki oleh sebagian masyarakat Indonesia. Bisa jadi, lebaran itu sendiri menjadi cue tersendiri bagi warga menjalankan routine berupa berbelanja kebutuhan lebaran, seperti pakaian baru dan kebutuhan pangan.

Hal ini bisa jadi didorong oleh craving akan reward yang ingin didapatkan dari kebiasaan ini. Mungkin, reward yang didapatkan dari kebiasaan ini misalnya bisa berupa emosi afeksi (kasih sayang) ketika bertemu dengan sanak keluarga.

Secara biologis, afeksi berupa reward ini juga didorong oleh hormon yang biasa mengisi otak dan menimbulkan rasa senang. Hormon endorphin, dopamine, dan serotonin misalnya dapat menjadi sistem reward atas tubuh ketika emosi afeksi tengah timbul.

Bila habit loop ini membuat pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat dapat terjadi, apa yang sebenarnya perlu dilakukan oleh pemerintah? Kebijakan apa yang perlu diberikan?

Teori Kepatuhan

Pandemi yang bertepatan dengan hari besar seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang menjadi pusat pandemi Covid-19 pertama di dunia juga harus menghadapi persoalan wabah tepat kala segala persiapan peringatan Tahun Baru Imlek (atau Lunar New Year) telah selesai dilaksanakan.

Tahun Baru Imlek pada umumnya menjadi hari besar yang tidak hanya diperingati oleh warga Tiongkok, melainkan juga oleh komunitas dan diaspora Tionghoa di berbagai negara, seperti di Malaysia dan Indonesia. Namun, perayaan tersebut akhirnya harus ditunda dan dibatalkan dengan wabah yang dihadapi oleh Tiongkok.

Padahal, dalam perayaan Tahun Baru Imlek, sebagian besar warga Tiongkok akan bepergian untuk berlibur. Selain itu, mereka juga bepergian untuk pulang ke kota asal guna menghabiskan waktu bersama keluarga.

Mungkin, habit loop serupa turut terjadi di masyarakat Tiongkok dalam perayaan tersebut. Apalagi, banyak kasus penularan bermula dari penerbangan yang berasal dari pusat wabah, yakni dari Wuhan di Provinsi Hubei.

Meski begitu, pemerintah Tiongkok tampaknya langsung sigap menerapkan pembatasan perjalanan bagi Provinsi Hubei. Pembatasan tersebut disertai dengan lockdown dan larangan berpergian – baik domestik maupun internasional.

Tentunya, larangan tersebut dinilai berhasil mencegah banyak orang untuk berpergian guna merayakan Tahun Baru Imlek. Alhasil, acara kumpul-kumpul dengan keluarga harus ditunda bagi sebagian besar masyarakat Tiongkok.

Lantas, mengapa Tiongkok berhasil mencegah banyak perjalanan yang biasa dilakukan oleh warganya guna merayakan Tahun Baru Imlek? Mengapa tindakan serupa tak dapat terjadi di Indonesia?

Hal ini bisa jadi disebabkan oleh pemberlakuan aturan yang ketat oleh Tiongkok. Negara Tirai Bambu tersebut dinilai menerapkan kontrol yang kuat dan agresif terhadap warganya, seperti dengan pemberian sanksi dan pengawasan (surveillance).

Upaya-upaya kontrol yang ketat inilah yang sulit ditemui di negara-negara lain. Pemerintah-pemerintah di negara lain dianggap memiliki keraguan untuk menerapkan hal serupa. Boleh jadi, bila dibandingkan dengan negara-negara lain, apa yang dilakukan oleh Tiongkok ini telah menciptakan kepatuhan (compliance) dari warganya.

Hal ini dapat dijelaskan melalui teori kepatuhan (compliance theory). Dalam tulisan milik Julien Etienne yang berjudul Compliance Theory menjelaskan bahwa kepatuhan masyarakat dapat berakar dari tujuan (goal).

Setidaknya, Etienne menyebutkan beberapa kategori tujuan setiap individu yang dapat memengaruhi kepatuhan atau ketidakpatuhan seseorang, yakni hedonic goal yang berbicara soal motivasi untuk memiliki emosi, gain goal yang berbicara soal keuntungan apa yang didapatkan bila patuh, dan normative goal yang berbicara mengenai pantas atau tidaknya tindakan untuk patuh.

Dalam hal regulasi dan aturan, bukan tidak mungkin warga Tiongkok merasa perlu patuh karena beberapa goal ini. Bila mengacu pada sanksi yang ada dalam peraturan, warga negara Tirai Bambu tersebut dapat dikategorikan memiliki hedonic goal yang mana emosi negatif seperti perasaan malu, perasaan bersalah, dan kemarahan dapat timbul dari hukuman (punishment).

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apa yang sebenarnya perlu dilakukan oleh pemerintah?

Setiap kasus pelanggaran di tiap daerah tentu berbeda-beda. Mungkin, motivasi dan faktor pendorong kebiasaan bisa jadi mirip.

Namun, bukan tidak mungkin masyarakat memiliki goal yang berbeda agar dapat patuh terhadap peraturan PSBB dan larangan mudik. Di sinilah pemerintah perlu memberikan perhatian.

Boleh jadi, pemerintah perlu memberikan fokus pada reward yang diharapkan masyarakat dalam kebiasaan dan tradisi lebaran tersebut dengan memberikan routine yang tidak memiliki risiko penularan. Dengan begitu, sebagian masyarakat dapat memiliki gain goal yang diinginkan agar dapat patuh terhadap PSBB dan larangan mudik. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version