Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka bertemu dengan bakal calon presiden (bacapres) sekaligus Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, pada beberapa waktu lalu. Mungkinkah ini pertanda Gibran telah melepaskan “sendoknya”?
Gibran Rakabuming Raka menjadi sorotan setelah sang Wali Kota Solo menyambut kedatangan Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto. Kedatangan Prabowo juga disambut hangat oleh para relawan Joko Widodo (Jokowi)-Gibran yang tidak tanggung-tanggung memberikan deklarasi dukungan kepada Prabowo sebagai calon presiden (capres).
Pertanyaan pun bermunculan dari media menanyakan apakah ini suatu langkah politik yang dilakukan oleh Gibran. Kemudian kepada para awak media ia menjelaskan bahwa ia tidak melakukan manuver politik apapun dan mengibaratkan dirinya hanya seorang ”anak kecil” dalam PDIP, tidak memiliki massa, dan tidak perlu panik dengan langkah yang ia lakukan.
Imbas setelah penyambutan tersebut, anak pertama dari Presiden Jokowi itu dipanggil oleh DPP PDIP pada Senin, 22 Mei 2023. Namun, pada pertemuan itu, Gibran tak diberikan sanksi, melainkan diberikan nasihat dan diingatkan agar Wali Kota Solo tersebut berhati-hati terhadap adanya manuver politik yang menyesatkan.
Menanggapi itu, analis politik sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai bahwa tidak diberikannya sanksi terhadap Gibran merupakan keputusan yang kurang tepat dan menunjukkan bahwa ia seperti mendapatkan perlakuan istimewa. Asumsinya adalah dikarenakan Gibran seorang anak presiden maka ia tidak diberikan sanksi.
Dari jawaban Gibran, ia cenderung menekankan inferioritasnya dalam kejadian ini. Namun, apa benar Gibran hanya sekedar kader partai biasa? Mengapa Gibran sebenarnya memiliki posisi politik yang penting?
Melihat “Sendok” Gibran
Tidak dapat dipungkiri bahwa menjadi anak orang kaya atau anak pejabat dapat disebut sebagai suatu privilege. Benar saja, pasti seseorang tersebut akan mendapatkan perlakuan yang spesial dibandingkan dengan orang lain yang hanya keturunan orang biasa dari segi finansial maupun kekuasaan yang dimiliki oleh orang tuanya.
Dari situ, terdapat satu teori yang menarik untuk dibahas. Adapun teori ini disebut sebagai spoon-class theory atau teori kelas-sendok.
Sejarah dari spoon-class theory berawal dari kasus korupsi yang dilakukan seorang presiden dan menteri di Republik Korea atau Korea Selatan (Korsel) yang bernama Park Geun Hye dan Cho Son Sil. Kasus ini terjadi karena Chong Yu Ra menggunakan posisi kelas orang tuanya (Cho Son Sil) untuk masuk ke Universitas Ewha tanpa mengikuti prosedur umum.
Privilege yang dimiliki Chong Yu Ra sebagai anak menteri membuatnya melakukan banyak kecurangan akademis, seperti mendapat nilai bagus tetapi tidak mengerjakan tugas-tugas. Di sisi lain, Universitas Ewha juga meminta imbalan berupa pendirian Future Life University untuk merencanakan ekspansi komersial.
Mengutip dari tulisan “Spoon Theory” and the Fall of a Populist Princess in Seoul dari Hyejin Kim, banyak orang tergantung pada sendoknya – apakah gold spoon (sendok emas), silver spoon (sendok perak), bronze spoon (sendok perunggu), atau dirt spoon (sendok tanah). Hal ini tergambar dari anak-anak kelas sosial atas yang sangat bergantung pada orang tuanya.
Hal ini pula yang dapat menjadi sebuah acuan penilaian terhadap Gibran – yang mana merupakan seorang anak presiden. Bukan tidak mungkin, statusnya ini memberikan privilege bagi dirinya – yang apabila mencoba ditarik dari teori kelas-sendok, dia adalah definisi sepadan dengan pemegang sendok emas.
Atas hal tersebut mungkin dapat dinilai banyak keistimewaan yang dimiliki Gibran dalam hal ini adalah bagaimana perjalanan kariernya hingga menjabat sebagai Wali Kota Solo. Bukan tidak mungkin, “sendok” inilah yang turut mengantarkan Gibran hingga kursi kekuasaan.
Namun, dengan berbagai pertemuan politis yang dilakukannya, bukan tidka mungkin juga Gibran memiliki pengaruhnya sendiri. Mungkinkah Gibran telah membangun pengaruh politiknya sendiri – di luar “sendoknya” sebagai putra sulung
Gibran Punya ‘Kaki’ Sendiri?
Mungkin, Gibran memang anak presiden – menjadikan dirinya seorang pemegang sendok emas. Namun, apakah ia menggunakan privilege tersebut untuk kesuksesannya, adalah sebuah cerita yang berbeda.
Sebelum menjadi orang nomor satu di Solo, Gibran mengikuti jejak ayahnya yang adalah seorang pengusaha. Dia memulai bisnis makanan dan ternyata berhasil.
Tidak mungkin keberhasilan bisnisnya hanya disebabkan oleh kalimat “milik anak presiden” maka semua akan membelinya. Tentu saja, hal ini dapat dicapai oleh Gibran karena kerja keras dan ketekunannya dalam berbisnis.
Hal ini dapat disandingkan dengan teori meritokrasi – yang mana kesuksesan seseorang adalah berdasarkan dengan kemampuan dan bakat daripada hak istimewa kelas sosial serta kekayaan yang dimiliki.
Menurut Stephen J. McNamee dan Robert K. Miller Jr. dalam The Meritocracy Myth, istilah “meritokrasi” berarti sistem sosial yang mana di dalamnya seseorang mendapatkan penghargaan atas kemampuan individu mereka. Sistem meritokrasi menjadikan prestasi seseorang secara individu sebagai satu-satunya ukuran dalam tinggi-rendahnya status dan peringkat sosial individu tersebut.
Adapun, menurut Michael Young dalam bukunya The Rise of the Meritocracy, sebuah kemajuan sosial ditentukan tergantung sejauh mana penyatuan kekuasaan dan kecerdasan. Orang-orang pintar memiliki peluang untuk menaikkan derajatnya.
Kepintaran tersebut diukur masyarakat dengan intelligence quotient (IQ) sebagai satuan pengukur kecerdasan. Selain itu, Young juga mengatakan kecerdasan saja tidak cukup bahwa IQ ditambah dengan usaha adalah kunci dalam meritokrasi.
Maka dari itu, pada akhirnya, ketika Gibran mencalonkan dirinya sebagai Wali Kota Solo pun, dia sudah memiliki kesuksesan melalui usahanya. Dari sanalah, ia pun memiliki apa yang disebut sebagai political capital (modal politik).
Penggunaan istilah political capital berasal dari pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) ke-43 George W. Bush yang mengatakan, “Let me put it to you this way: I earned capital in the campaign, political capital, and now I intend to spend it. It’s my style.” Dapat disimpulkan bahwa political capital adalah suatu modal yang dimiliki, diperoleh, dan dipergunakan oleh aktor politik.
Mengutip Kimberly L. Casey dari tulisannya yang berjudul Defining Political Capital: A Reconsideration of Bourdieu’s Interconvertibility Theory, political capital adalah penjumlahan dari penggabungan jenis modal lain untuk tindakan politik.
Modal-modal lain yang dimaksud oleh Casey di sini adalah economic capital (modal ekonomi), social capital (modal sosial), institutional capital (modal institusional) atau endorsement (dukungan) dari partai, human capital atau kepiawaian diri dalam berpolitik, cultural capital (mudal kultural), dan moral capital (modal moral).
Bukan tidak mungkin, selama menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gibran telah membangun modal-modal lainnya. Sebagai pejabat publik, misalnya, Gibran telah membangun modal institusional – bisa mempengaruhi konstituen dan cabang eksekutif di Solo.
Tidak hanya itu, posisinya sebagai Wali Kota Solo juga membuatnya memiliki modal sosial yang lebih luas. Relasi sosial Gibran – mau tidak mau – akan terbangun dengan sendirinya.
Modal-modal ini menjadikan Gibran punya pengaruh penting dalam kepentingan elektoral PDIP – yang mana juga tidak ingin kehilangan sejumlah suara di Jawa Tengah (Jateng) yang selama ini menjadi basis suara partai berlambang banteng tersebut.
Dengan modal-modal yang ditransformasikan menjadi modal politik ini, bukan tidak mungkin, Gibran bisa memiliki pengaruh lebih untuk mempengaruhi politik elektoral – setidaknya di Solo yang juga merupakan kendang dari PDIP.
Namun, itu semua kembali kepada bagaimana Gibran mengakumulasikan, mentransformasikan, hingga menerapkan modal-modal politiknya. Semua keputusan itu kembali ke diri Gibran – dan mungkinnya ayahnya, Presiden Jokowi. (S93)