Konflik sosial kiranya bukan lagi menjadi potensi eksistensi tenaga kerja asing (TKA) saat gesekan hingga menimbulkan korban jiwa terjadi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Lalu, benarkah itu disebabkan oleh “karpet merah” yang diberikan, namun menutup mata atas potensi konflik sosial yang ada sebelumnya?
Pada era globalisasi saat ini sejatinya, penempatan atau memperkerjakan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia bukanlah hal yang baru. Dari masa kolonial, Indonesia sudah mengenal TKA.
Keberadaan TKA memang tidak dapat dihindari. Dengan alasan percepatan pembangunan dan tidak tersedianya tenaga ahli dan terampil sehingga banyak perusahaan yang memperkerjakan TKA di Indonesia.
Konsekuensi dari globalisasi dan liberalisasi perdagangan plus kebutuhan investasi, berdampak pada jumlah TKA yang bekerja di Indonesia untuk mendukung perekonomian nasional serta perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi.
Menurut data Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada Oktober 2022, pekerja asing yang bekerja di Indonesia jumlahnya 70.571 orang. Dari angka itu hampir 38 ribu orang TKA berasal dari Tiongkok.
Pekerja asal Tiongkok kini jumlahnya sekitar 55 persen dari total TKA seluruh negara yang bekerja di Indonesia.
Bentrokan maut antara pekerja lokal dan pekerja asing asal Tiongkok di area pabrik smelter PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah yang menewaskan dua orang pekerja seakan membuat mata publik terbuka, bahwa ada konflik sosial yang terjadi di antara pekerja lokal dan pekerja asing di Indonesia.
Jika ditinjau dari aspek sosio-politik, bentrokan di Morowali Utara ini tampaknya merupakan akumulasi dari kekecewaan pekerja asal Indonesia terhadap hak-hak yang tidak dipenuhi dan kelonggaran pemerintah terhadap TKA, terutama asal Tiongkok.
Pemerintah sepertinya dianggap sedari awal tidak tegas dan tidak transparan masalah TKA Tiongkok yang bekerja di Indonesia. Ini membuat kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat meningkat, karena merasa TKA asal Tiongkok seperti “dianakemaskan”.
Faktor potensi kecemburuan sosial lainnya adalah pekerja asing asal Tiongkok yang berada di Indonesia saat ini, bukan hanya terdiri dari sektor tenaga ahli, namun kabarnya juga dari pekerja kasar. Padahal, jumlah pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi.
Lantas, mengapa hubungan antara pekerja asing dan lokal berpotensi menimbulkan konflik sosial?
Sentimen Identitas?
Keberadaan TKA di Indonesia tidak jarang menimbulkan masalah sosial dengan para pekerja lokal. Mulai dari isu kesenjangan, diskriminasi sampai isu sentimen identitas.
Dalam konteks persaingan ekonomi global, sah-sah saja warga negara tertentu merantau dan mencari pekerjaan dengan tujuan prospek cerah dan pendapatan lebih baik di negara lain.
Sementara itu, penggunaan TKA di Indonesia sendiri bertujuan untuk alih ilmu pengetahuan dan teknologi (transfer of knowledge).
Proses transfer ilmu tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) tenaga kerja Indonesia (TKI). Namun, sebuah kesalahan fatal dan akan menimbulkan masalah sosial, bila yang datang ke Indonesia adalah tenaga kerja dengan kualifikasi rendah (buruh kasar). Di saat yang sama, kualifikasi tersebut juga banyak tersedia dari pekerja lokal.
Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Soerjono Soekanto menjelaskan masalah sosial terjadi karena ketidaksesuaian di antara unsur-unsur dalam masyarakat yang membahayakan atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok kelompok sosial, sehingga menyebabkan rusaknya ikatan sosial.
Merujuk pada penjelasan Soerjono Soekanto di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan TKA asal Tiongkok di Indonesia dengan kualifikasi rendah berpotensi menimbulkan masalah sosial karena keberadaan mereka menghambat dan membahayakan bagi ketersediaan lapangan kerja pekerja lokal.
Hal tersebut tercermin melalui meningkatnya pekerja asal Tiongkok yang berkerja bukan sebagai tenaga ahli di Indonesia. Kemampuan mereka yang tidak beda jauh dengan pekerja lokal menimbulkan sentimen identitas dan berpotensi terjadinya konflik.
Konflik dalam hal ini dapat dilihat Lewis A. Coser dalam The Function of Social Conflict, yang terbagi menjadi dua bentuk, yakni konflik realistik dan konflik nonrealistik.
Coser berpendapat dalam satu masyarakat, konflik dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi.
Kemudian ketika terjadi konflik maka kecenderungan setiap kelompok akan memperkuat kelompoknya masing-masing.
Selain itu, Coser dalam penjelasannya juga menawarkan konsep tentang katup penyelamat (safety valve), yang merupakan salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.
Katup penyelamat mengatur jika terjadi suatu konflik tidak akan merusak semua struktur yang ada, serta membantu memperbaiki keadaan suatu kelompok yang mengalami konflik.
Berdasarkan penjelasan Coser tersebut, pemerintah Indonesia tampaknya harus menerapkan mekanisme katup penyelamat dengan mengurangi penggunaan TKA yang bukan tenaga ahli.
Banyaknya penggunaan terhadap pekerja asing agaknya harus segera dibatasi dan diperketat oleh pemerintah Indonesia agar tidak menjadi bumerang bagi pekerja Indonesia dan berpotensi menjadi konflik sosial.
Persyaratan yang ketat kiranya akan membuat pekerja Indonesia terhindar dari kompetisi yang tidak sehat.
Jika sebaliknya dan hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan muncul kecemburuan sosial, dimana TKA mendapatkan fasilitas yang berbeda dengan pekerja Indonesia. Seperti, adanya perbedaan upah antara TKA dengan TKI dalam satu pekerjaan dan posisi yang sama.
Bukan tidak mungkin ini akan menjadi fenomena “bom waktu” terhadap masalah sentimen identitas yang dikhawatirkan akan meledak pada waktunya jika terus menerus dibiarkan.
Lalu, mengapa pemerintah Indonesia seakan masih berdiam diri terhadap konsekuensi potensi konflik sosial yang telah terjadi di Morowali Utara?
Demi Sebuah Warisan?
Kebutuhan Indonesia akan investasi asing juga bertujuan untuk dapat membentuk infrastruktur negara. Perkembangan infrastruktur yang ada akan memberikan dampak terhadap kemajuan dan kesejahteraan Indonesia itu sendiri.
Namun, salah satu kendala yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia adalah keterbatasan modal. Hal itu yang kemudian membuat Indonesia menjalin kerjasama ekonomi dengan negara lain.
Mitra kerjasama ekonomi terbesar Indonesia salah satunya adalah Tiongkok. Beberapa proyek infrastruktur di Indonesia menggunakan pendanaan utama dari Tiongkok.
Pembangunan infrastruktur yang pesat di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit. Ini yang kemudian seakan pemerintah menerima TKA dari Tiongkok sebagai bagian dari perjanjian kerjasama investasi kedua negara.
Dalam bukunya, The 8th Habit: Melampaui Efektivitas Menanggapi Keagungan, Stephen Covey mengatakan manusia memiliki empat dorongan dalam hidupnya, yaitu to live (hidup), to love (mencintai), to learn (belajar), dan to leave a legacy (meninggalkan warisan).
Niat untuk meninggalkan legacy itulah yang membuat seseorang, khususnya pemimpin berbondong-bondong melakukan inovasi dan kebijakan yang menjadi sorotan.
Jika bisa, itu harus dilakukan dengan secepat mungkin agar masyarakat semakin paham dan mengingat legacy yang ditinggalkannya.
Melihat apa yang dijelaskan Covey diatas, pembangunan infrastruktur era Jokowi terkesan sebagai sebuah peninggalan warisan (legacy) politik yang hendak dicapai Jokowi meskipun harus mengesampingkan potensi konflik sosial yang terjadi antara pekerja lokal dan TKA asal Tiongkok.
Pendanaan investasi dari Tiongkok dan motivasi sebuah legacy Jokowi tersebut tampaknya menjadi “pintu masuk” TKA asal Tiongkok untuk bekerja di Indonesia.
Hal itu juga disinyalir membuat proyek infrastruktur yang menggunakan kucuran dana dari Tiongkok banyak menggunakan tenaga kerja dari negara tersebut.
Selain itu, untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi, pemerintah boleh jadi memang merasa perlu membuat aturan tentang perizinan penggunaan TKA.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 26 Maret 2018, Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA.
Jelas ini bukan sesuatu yang baik bagi dunia ketenagakerjaan dan faktor sosiologis masyarakat Indonesia. Kembali, terhadap potensi konflik sosial yang telah dijabarkan di bagian sebelumnya.
Di titik ini, Pemerintah Indonesia seharusnya dapat mengambil sikap yang jelas demi pekerja Indonesia.
Pemerintah agaknya wajib menciptakan iklim yang kondusif bagi ekonomi Indonesia. Selain itu harus ada upaya yang lebih serius dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk menciptakan keunggulan komparatif.
Kehadiran pemerintah dalam menangani masalah perlindungan dan kesejahteraan pekerja lokal sangat dibutuhkan. Ihwal yang tentunya dimaksudkan agar tidak muncul masalah yang serius secara sosiologis.
Tentu kejadian di Morowali Utara diharapkan tidak terulang kembali di tempat lain di tanah air. (S83)