Hubungan Megawati dan Prabowo bagaikan sepasang kekasih yang ingin bersama, namun tak saling suka. Sejarah Sumitro Djojohadikusumo – ayah Prabowo – yang harus “melarikan diri” ke luar negeri karena tuduhan korupsi dan terlibat pemberontakan di era Soekarno, lalu bergabungnya Prabowo menjadi bagian dari Keluarga Cendana, kemudian keputusan untuk bersanding bersama dalam koalisi Mega-Prabowo di Pilpres 2009, hingga “pengkhianatan” Perjanjian Batu Tulis, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya. Maka, setiap kalimat yang keluar dari mulut, tak bisa begitu saja dipahami secara tersurat. Lidah tak bertulang, Jenderal!
PinterPolitik.com
“I’m going to change it (Indonesia) from the inside.”
:: Prabowo Subianto muda, kepada teman-temannya saat memutuskan masuk tentara ::
[dropcap]K[/dropcap]isah tentang hubungan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto memang menjadi warna tersendiri dalam politik Indonesia, setidaknya dalam kurun 20 tahun terakhir. Namun, pertalian hubungan keduanya ibarat roller coaster: kadang baik, kadang turun dan bisa saling berseberangan.
Yang terbaru adalah pernyataan Megawati beberapa hari lalu yang menyebut dirinya kasihan terhadap Prabowo karena dikelilingi oleh orang-orang yang cenderung bersikap negatif terhadap pemerintahan Jokowi saat ini.
Megawati memang melontarkan kritik ke Prabowo, namun bukan secara langsung. Ia juga menyebutkan bahwa antara dirinya dengan Prabowo tidak ada masalah pribadi karena keduanya tidak pernah saling menjelekkan.
Apakah jika Mega tidak “melanggar” kesepakatan Batu Tulis, kemungkinan polarisasi politik saat ini tidak akan terjadi? Atau apakah jika Mega dan SBY bisa berdamai, konteks politik akan jauh lebih baik? Tidak ada yang tahu pasti. Share on XMega juga mengkritisi nuansa kampanye politik yang belakangan ini cenderung mengarah ke perpecahan dan adu domba.
Partai Gerindra kemudian menanggapi pernyataan Mega tersebut. Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria misalnya, menanggapinya dengan santai, namun dengan pernyataan yang agak menohok.
Menurutnya, yang ada di sekitar Prabowo – di DPP Gerindra khususnya – adalah orang-orang yang berprestasi, berintegritas dan punya komitmen serta kompetensi memperjuangkan aspirasi rakyat dan program untuk kepentingan bangsa dan negara. Tidak ada kasus oknum partainya yang tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tanggapan ini tentu saja “menembus jantung” atau dalam bahasa kids zaman now: “Jleb banget”. Pasalnya, sejak 2014 hingga Oktober 2018, PDIP masuk dua besar parpol penyumbang kasus korupsi terbanyak dengan 15 kasus, diikuti Golkar dengan perolehan yang sama.
Terlepas dari tanggapan Gerindra tersebut, tentu pertanyaannya adalah apakah kata-kata Megawati ini hanya dimaknai secara lurus saja? Atau ini sebenarnya menggambarkan dimensi lain dari “tarung elite” yang mewarnai panggung politik dalam dua dekade terakhir dan – tentu saja – menjadi bagian dari doublespeak ala Mega?
Konsensus Megawati, dari Sumitro hingga Militer
Mega dan Prabowo adalah pertautan dua generasi kekuasaan yang memimpin negara ini selama lebih dari 53 tahun: Soekarno dan Soeharto.
Mega adalah penerus garis politik trah Soekarno, sementara Prabowo, sebaliknya, adalah bagian dari trah “lawan” Soekarno. Hal tersebut setidaknya bisa dilihat dari sambutan Prabowo saat Rakernas PDIP pertengahan 2009 lalu. Saat itu, mantan Danjen Kopassus itu menyebut dirinya “canggung” berbicara di depan keluarga besar PDIP.
“Karena saya berasal dari keluarga lawan politik Bung Karno. Saya sekarang berada di depan partainya Bung Karno”, ujar Prabowo mengucap alasan kecanggungannya saat itu di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Prabowo patut canggung sebab ayahnya, Sumitro harus menyingkir ke luar negeri untuk beberapa lama karena dituduh terlibat kasus korupsi.
Sumitro juga disebut-sebut menjadi bagian dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan menjabat sebagai menteri di pemerintahan tandingan tersebut. Hal inilah yang membuat semua anaknya, termasuk Prabowo, mengenyam pendidikan di luar negeri karena sedang dalam “pelarian” tersebut.
Namun, menurut Keith Loveard – seorang jurnalis yang menulis untuk majalah Asiaweek – dalam sebuah wawancaranya dengan Prabowo saat masih aktif memimpin Kopassus, menyebutkan bahwa sang jenderal memilih untuk masuk menjadi bagian dari militer karena melihat ada peluang untuk menjadi bagian dari perubahan pasca kejatuhan Soekarno.
Prabowo kemudian menjadi bagian dari Orde Baru – rezim baru yang berkuasa selama 32 tahun. Bahkan, karir politiknya cenderung mulus, apalagi setelah ia menjadi bagian dari keluarga Soeharto pasca menikah dengan Siti Hediati Hariyadi atau Titiek soeharto.
Sementara itu, di saat yang sama Megawati pun mulai muncul sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Keluarga Cendana. Adalah Jenderal Benny Moerdani yang disebut-sebut sebagai pihak yang mendorong Mega tampil ke panggung politik dan “melangkahi” konsensus keluarga Soekarno yang tidak ingin terlibat politik praktis lagi. (Baca: Megawati Pensiun, Akhir Digdaya PDIP)
Moerdani saat itu memang terlibat perebutan pengaruh dengan Soeharto dan sedang menjadi “oposisi yang mengancam” kekuasaan Cendana. Ia adalah orang yang men-trigger Megawati untuk tampil melawan kekuasaan yang saat itu Prabowo menjadi bagian di dalamnya.
Prabowo sendiri selalu melihat Moerdani sebagai orang yang berusaha merebut kekuasaan dari Soeharto. Dengan kata lain, Mega dan Prabowo pernah menjadi begian dari “perang dingin” dan perebutan pengaruh Moerdani vs Soeharto.
Puncaknya adalah pada reformasi 1998, Mega beralih menjadi bagian dari kekuasaan, sementara Prabowo harus tersingkir, bahkan dicopot dari militer.
Cerita berikutnya menjadi berbeda pada 2009, ketika Prabowo bersama Gerindra yang baru ia dirikan setahun sebelumnya, membentuk koalisi “duo nasionalis” dengan Megawati untuk maju pada Pilpres di tahun tersebut.
Koalisi Mega-Prabowo ini seolah mengulang “konsesus Megawati” – istilah yang digunakan Angel Rabasa dan John Haseman untuk menyebut dukungan militer kepada putri Soekarno itu di awal-awal kekuasaannya pasca lengsernya Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Saat itu, Mega dianggap mampu mendapatkan dukungan karena ideologi politiknya dianggap “lebih mirip” dengan kubu militer, dibanding Islam tradisionalis ala Gus Dur atau Islam-teknokratis ala B.J. Habibie.
Dalam konteks yang berbeda, konsensus tersebut seolah hadir kembali ketika ia dan Prabowo maju bersama pada Pilpres 2009. Keduanya “melupakan” perseteruan lama dua kekuatan yang terjadi sejak Soekarno masih berkuasa, dan maju bersama untuk mengalahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – sekutu lama yang sebetulnya menjadi bagian dari konsensus dukungan militer pada Mega pasca lengsernya Gus Dur.
Kongsi Mega-Prabowo kemudian bubar jelang Pilpres 2014. Megawati dituduh melanggar Perjanjian Batu Tulis yang mengharuskannya mendukung pencapresan Prabowo di tahun tersebut. Bahkan, kata “pengkhianatan” sempat digunakan beberapa media massa untuk menggambarkan hal tersebut. Megawati memang menjatuhkan pilihan pada Joko Widodo yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta sebagai capres yang ia usung.
Maka, sampailah kita dalam konteks politik hari ini di mana Mega dan Prabowo berdiri saling berseberangan. Keduanya memang tidak bersitegang atau “dingin-dinginan”, katakanlah tidak separah jika dibandingkan dengan hubungan Mega dengan SBY. Namun, posisinya juga tidak bisa dikatakan tidak mirip dengan yang terjadi sejak era Sumitro dan Soekarno.
Doublespeak Power Elite
Megawati kasihan pada Prabowo, tetapi tetap mengkritik. Siapa pun pasti akan melihat hal tersebut sebagai kritik dua tingkat – istilahnya doublespeak. Terminologi terakhir diperkenalkan oleh George Orwell pada 1984 untuk menyebutkan maksud lain yang disampaikan dalam sebuah ucapan tertentu.
Kritik Megawati tentu saja punya tendensi untuk “menyinggung” aksi-aksi kampanye politik Prabowo. Ia mungkin menyebutkan bahwa persoalannya ada di orang-orang sekitar Prabowo, namun secara tidak langsung juga menyinggung sang jenderal. Bagaimanapun juga, kampanye politik adalah kemasan politik Prabowo.
Konteks doublespeak adalah wacana politik tingkat tinggi yang sering kali hanya bisa dipahami secara tersirat. Konteks kata-kata Mega tentu saja secara tidak langsung menyatakan bahwa “pihak kami” – pendukung Jokowi – lebih baik dari “pihak kalian”. Cara “kampanye kami” lebih baik dari cara “kampanye kalian”. Pada akhirnya, “calon kami” lebih baik dari “calon kalian”. Dengan kata lain: Prabowo, you are not good enough.
Selain itu, konteks pernyataan Megawati ini juga memperkuat apa yang ditulis oleh Charles Wright Mills tentang konflik. Menurut Mills, konflik dalam masyarakat sering kali lahir karena sekelompok orang yang disebutnya power elite – elite berkuasa. Kelompok ini mendapatkan status tersebut dari kekuasaannya atas militer, pemerintahan, sumber daya ekonomi dan pengaruh tertentu.
Megawati dan Prabowo sudah ada pada level power elite – tentu saja bersama SBY. Pada titik tertentu, ketiganya juga akan bertransformasi menjadi apa yang oleh Graham Scambler dari University College London disebut sebagai governing oligarchy atau oligarki berkuasa.
Persoalannya, tarik menarik kepentingan politik yang terjadi di antara para power elite dan oligarki sering kali menjadi cikal bakal konflik sosial di masyarakat. Hal inilah yang terjadi di negara ini selama hampir 20 tahun terakhir menjalankan demokrasi.
Mega, Prabowo dan SBY menjadi kekuatan politik utama yang menentukan arah dan tensi politik nasional.
Lalu, apakah itu berarti jika Mega tidak “melanggar” kesepakatan Batu Tulis dan mendukung pencalonan Prabowo di 2014, kemungkinan polarisasi politik dengan tetek bengek politik identitas yang ada di dalamnya tidak akan terjadi?
Tidak ada yang tahu pasti, namun ada kemungkinan ke arah sana.
Atau apakah jika Mega dan SBY bisa berdamai, konteks politik hari ini akan jauh lebih baik bagi masyarakat?
Tidak ada yang tahu pasti juga, tetapi lagi-lagi ada kemungkinan ke arah sana.
Pada akhirnya, konteks politik nasional dalam kritik Megawati terhadap Prabowo punya lebih dari sekedar satu paragraf pendek penjelasan. Mega melemparkan fakta konteks politik nasional yang lebih besar bahwa mungkin saja, selama para elite politik ini masih berkonflik, situasi nasional tidak akan pernah lebih baik.
Seperti kata Aristoteles, semua manusia adalah makhluk politik – political animal. Lalu, karena politik itu adalah tentang kekuasaan dan kekuasaan itu cenderung korup – power tends to corrupt – maka mungkin kita masih perlu bermimpi tentang kemajuan. Sebab, korupsi dan ketidakadilan adalah salah satu sumber utama konflik. Masyarakat yang penuh konflik jauh dari kemajuan. (S13)