Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri belakangan lempar kritik terhadap sistem pertahanan Indonesia. Mungkinkah ini sebenarnya merupakan pesan politik kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto?
Mendekati Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), segala macam gerakan politik yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh besar di negara kita pantas untuk dijadikan perhatian bersama. Salah satu yang paling menarik adalah apa yang ditunjukkan oleh Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri beberapa saat lalu.
Dalam kesempatan yang cukup langka, Mega melemparkan kritik pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang sistem pertahanan Indonesia yang menurutnya seperti “maju mundur”. Anak dari presiden pertama Indonesia tersebut juga mengatakan Indonesia sepatutnya membangun kekuatan pertahanannya atas cara pandang geopolitik karena kekuatan pertahanan yang andal mampu mewujudkan perdamaian dunia.
Hal ini menjadi lebih penting lagi mengingat belakangan ini tensi geopolitik dunia semakin menuntut sebuah negara mampu mempertahankan kedigdayaannya, contohnya adalah ketegangan yang masih terasa akibat Perang Rusia-Ukraina, serta tensi antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Republik Tiongkok (Taiwan). Oleh karena itu, di tengah terpaan ketidakpastian politik internasional ini, himbauan Megawati untuk memperkuat pertahanan Indonesia adalah masukan yang sangat masuk akal.
Tidak lupa, Mega juga memperingatkan Jokowi untuk menjaga rasa “gotong royong” antar tiga matra militer, yang tidak lain adalah Angkatan Udara (AU), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Darat (AD). Menurutnya, masing-masing dari matra ini perlu dikumpulkan Jokowi, bersama Panglima TNI agar bisa membuat masa depan pertahanan Indonesia aman.
Meski apa yang disampaikan Mega adalah sesuatu yang harus dianggap penting, kita tidak bisa mengesampingkan fakta janggal bahwa hal ini ia sampaikan secara spesifik kepada presiden Indonesia, yang juga merupakan kader PDIP. Padahal, Mega juga seharusnya mungkin menyampaikan hal ini kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, sebagai orang yang secara langsung mengurusi persoalan pertahanan Indonesia.
Karena itu, pantas bila kita pertanyakan. Mungkinkah kritik Mega terhadap Jokowi ini sesungguhnya diarahkan pada Prabowo? Dan bagaimana kira-kira konteks frame politik di belakangnya?
Megawati Serang Prabowo?
Bagi yang senang memperhatikan retorika-retorika yang disampaikan oleh seorang politisi, mungkin akan ada yang sadar bahwa terkadang interaksi antar tokoh-tokoh politik persis seperti apa yang sedang dilakukan dua orang anak remaja saat sedang pendekatan (PDKT).
Dalam beberapa kesempatan, ketika sedang ingin menunjukkan pada publik bahwa satu politisi sedang dekat dengan politisi lainnya, mereka membuat “adegan” yang terlihat hangat bagi banyak orang dan terkadang membuatnya terlihat se-menggemaskan mungkin. Contohnya seperti apa yang ditunjukkan Puan Maharani dan Muhaimin Iskandar beberapa saat lalu ketika bersamaan makan pecel di pinggir jalan.
Tapi ketika sedang berkonflik, biasanya ada dua pendekatan yang dilakukan, terkadang mereka menunjukkan secara eksplisit, dengan menyindir keras lawannya, tapi suatu waktu mereka juga melakukannya dengan tak kentara.
Terkait metode yang tak kentara ini, William Safire dalam tulisannya Safire’s Political Dictionary, menjelaskan bahwa politisi memang memiliki kebiasaan menyiratkan pesan sebenarnya yang ingin mereka sampaikan di dalam suatu pernyataan publik. Safire menyebut metode sindiran ini dengan istilah dog whistle politics, terinspirasi dari peluit untuk memanggil anjing yang hanya bisa didengar anjing tapi tidak bisa didengar oleh manusia.
Layaknya peluit anjing tadi, seorang politisi yang melakukan dog whistle politics menyelundupkan pesannya dengan harapan pihak-pihak yang diserangnya dapat mengerti, dengan juga menyebutkan beberapa petunjuk. Terkait pernyataan Megawati misalnya, petunjuk itu adalah pembahasan tentang sistem pertahanan, yang seharusnya jadi perhatian utama Prabowo sebagai Menhan.
Menurut Safire, ada beberapa alasan mengapa seorang politisi melakukan sindiran halus seperti ini, salah satunya adalah karena mereka tidak ingin terlihat terlalu konfrontatif namun secara bersamaan membuat sindirannya sebagai suatu serangan. Lalu, alasan lainnya adalah juga karena mereka tidak ingin masyarakat tahu bahwa ada upaya sepihak dalam merusak hubungan politik yang pada saat itu mungkin sebenarnya terasa cukup harmonis, karena itu akan memunculkan sentimen publik yang buruk.
Dengan kata lain, politisi yang melakukan sindiran dengan teknik seperti ini sesungguhnya melakukan serangan yang sifatnya “malu-malu”.
Melihat konteks yang disampaikan Safire terhadap hubungan antara Mega dan Prabowo, sebenarnya kita bisa menemukan relevansinya. Meski beberapa waktu lalu dua tokoh politik ini memang terlihat cukup berseteru, tapi belakangan hubungan keduanya mulai terasa dekat kembali. Seperti ketika HUT TNI ke-77 kemarin misalnya, Mega dan Prabowo duduk bersebelahan dan terlihat cukup akrab.
Oleh karena itu, mungkin Mega merasa perlu melakukan sindiran dengan dog whistle politics karena ia tidak ingin publik melihat bahwa ada upaya untuk mencederai hubungannya dengan Prabowo, namun sembari menyiratkan pada mantan Pangkostrad tersebut bahwa secara prinsip sebenarnya Mega telah menyerangnya.
Lantas, kenapa kira-kira Mega merasa perlu menyerang Prabowo?
Karena Prabowo Ingin Nyapres?
Mengingat Pilpres 2024 yang hanya tersisa kurang dari dua tahun lagi, maka setiap manuver politik yang dilakukan para politisi besar sangat besar kemungkinannya berkaitan dengan event demokrasi terbesar tersebut.
Terkait Prabowo, kita tidak boleh melupakan bahwa selain berperan sebagai Menhan dalam kabinet Jokowi, dia juga masih menjadi Ketum Partai Gerindra. Dan seperti yang diketahui, Prabowo adalah salah satu calon presiden (capres) yang paling dijagokan dalam sejumlah survei elektabilitas. Fakta ini kemudian berbenturan dengan kepentingan PDIP yang sampai saat ini terlihat cukup “ngotot” menjagokan Puan Maharani sebagai capres pilihannya untuk 2024 nanti.
Karena itu, sedekat apa pun hubungan antara Mega dan Prabowo, semuanya akan terlihat mengecewakan ketika kita sadar bahwa masing-masing Gerindra dan PDIP masih punya jagoannya sendiri-sendiri. Selama Mega dan Prabowo tidak mau mengalah dalam penentuan siapa capresnya, koalisi antar dua partai besar itu untuk sekarang tampaknya hanya jadi angan-angan belaka.
Kekhawatiran seperti ini juga diungkapkan oleh pengamat politik KedaiKOPI, Hendri Satrio, yang menyebutkan bahwa Prabowo harus benar-benar melakukan kerja ekstra untuk meyakinkan pada PDIP bahwa dirinya layak menjadi capres yang juga didukung oleh Partai Moncong Putih tersebut. Selama Prabowo belum bisa memastikan siapa pemilihnya selain garis keras di Gerindra, maka kemungkinan duet Prabowo-Puan akan sulit terjadi di Pilpres 2024.
Oleh karena itu, jika memang sindiran Mega tentang sistem pertahanan Indonesia sebenarnya dilayangkan untuk Prabowo, maka sepertinya ini juga menyimpan pesan politik yang cukup kuat, yakni juga jadi indikasi bahwa koalisi antara Gerindra dan PDIP sepertinya akan kandas di tengah jalan.
Dan kalau kita tarik ke belakang, PDIP pun sebenarnya terlihat cukup responsif dalam “menghambat” sejumlah tokoh dalam kabinet Jokowi yang terlihat terlalu kentara ingin menjadi capres. Kader PDIP, Junimart Girsang misalnya, pernah menyindir para menteri yang bermanuver politik untuk kepentingan Pilpres 2024 mendatang, dengan mengatakan seharusnya mereka fokus bekerja membantu Jokowi.
Secara spesifiknya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir tampaknya pernah jadi korban langsung serangan PDIP tersebut, ketika Junimart menyindir ada seorang menteri yang genit mendadak jadi rajin keliling pesantren di Indonesia.
Dengan demikian, kalau memang Mega tidak melihat koalisi antara Puan dan Prabowo menjadi kenyataan, bisa saja itu termotivasi oleh niatan Prabowo yang selama ini tampak ingin menjadi capres. Kalau Prabowo tidak seperti itu, maka mungkin saja Mega tidak akan melayangkan kritik ala dog whistle politics kepadanya.
Well, pada akhirnya kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa politik akan selalu dinamis. Bukan tidak mungkin, Gerindra dan PDIP bisa saja akan berkoalisi untuk Pilpres 2024 nanti. Yang jelas untuk sekarang, selama ke-ngotot-an masing-masing pihak tentang capres pilihan masih terjadi, sepertinya koalisi adalah imajinasi yang masih terlalu jauh untuk diwujudkan. (D74)