Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat dengan menggunakan AI.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian menunjuk duet Pramono Anung-Rano Karno sebagai Cagub-Cawagub Jakarta karena berhasil menang satu putaran berdasarkan hasil rekapitulasi akhir KPUD Jakarta. Bahkan, di tengah opsi populis mengusung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Anies Baswedan.
Torehan itu pun sekaligus membuat Megawati dan PDIP boleh jumawa di tengah gempuran endorse combo Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Dan tentu hal tersebut menjadi catatan istimewa saat membicarakan nama terakhir.
Lalu, mengapa keputusan itu tampak menjadi brilian dengan berkaca pada hasil yang diraih?
Queen’s Gambit?
Cendekiawan dari Boston University, Shahla Haeri dalam bukunya The Unforgettable Queens of Islam membahas Megawati dengan menyebutnya sebagai “Limbuk yang menjadi Ratu”.
Limbuk sendiri adalah salah satu karakter dalam dunia perwayangan yang ciri utamanya yakni statusnya sebagai perempuan di lingkup kekuasaan yang tak banyak bicara dan cenderung tidak dianggap.
Haeri kiranya melihat komparasi tersebut dalam diri Megawati yang awalnya dianggap sebagai sosok pemalu dan tak pandai berbicara di hadapan publik dalam dimensi politik.
Namun, sosok Limbuk itu berubah menjadi seorang ratu, demikian tegas Haeri. Dalam konteks melihat kelemahan-kelemahan dirinya, Megawati nyatanya mampu membangun lingkaran pendukung di sekitarnya yang berisi orang-orang yang loyal dan punya kemampuan yang mendukung kekuasaannya.
Hal tersebut tentu berakar dari pengalaman yang kemudian membentuk bagaimana Megawati membuat keputusan-keputusan strategis dalam berpolitik. Tak berlebihan kiranya memberikan interpretasi lanjutan bahwa Megawati adalah aktor protagonis utama dalam The Queen’s Gambit.
Keputusan Megawati itu pun menjadi pangkal atau titik krusial bagaimana mesin politik PDIP bekerja secara kolektif di Jakarta untuk membendung calon Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, Ridwan Kamil-Suswono.
Menariknya, terdapat beberapa faktor utama yang membuat turunan dari keputusan brilian Megawati diterjemahkan kan ke kampanye politik yang apik.
Pertama, Pramono-Rano yang sejak awal tak diunggulkan, agaknya berhasil memaksimalkan kelemahan lawan yang begitu empuk untuk dieksploitasi.
Kedua, dan masih berkorelasi, hal itu diaktualisasikan dengan melakukan transformasi identitas “merah” yang kental karena Pramono dan Rano adalah kader PDIP, seolah menjadi prioritas dalam konsep frame alignment dan depoliticized branding bernuansa oranye.
Ketiga, hasil rekapitulasi dari KPUD Jakarta yang menunjukkan sangat rendahnya partisipasi pemilih kiranya dapat diinterpretasi bahwa elemen tim pemenangan Pramono-Rano sukses menargetkan kampanye secara efektif ke konstituen yang memang dapat dipastikan memberikan suara ke TPS.
Termasuk, hasil lebih dari pra-syarat utama 50 persen plus satu suara untuk memenangkan Pilgub Jakarta 2024 dalam satu putaran.
Namun, faktor keputusan Megawati serta turunannya oleh mesin partai PDIP agaknya hanya menjadi faktor yang tak dominan kendati kubu PDIP tentu akan melakukan glorifikasi terhadap pencapaian tersebut. Mengapa demikian?
Menang Dari Jokowi, Titik?
Di samping faktor internal seperti yang telah diinterpretasi di atas, jika diuraikan, terdapat beberapa faktor eksternal yang porsinya tampak lebih signifikan membuat Pramono-Rano dan PDIP menang mudah di Pilgub Jakarta 2024.
Mulai dari yang tak kalah krusial seperti Putusan MK yang mengubah ambang batas pencalonan dan membuat PDIP bisa bertarung di Jakarta, soliditas KIM Plus dan tim pemenangan yang dipertanyakan, faktor inheren kelemahan impresi personal Ridwan Kamil dan Suswono yang dengan mudah dieksploitasi, hingga gagasan dan janji kampanye yang kerap disebut terlalu muluk bagi sebagian besar warga Jakarta yang lebih kritis.
Itu belum termasuk arah endorse politik dua game changer Pilgub Jakarta kontemporer, yakni Anies Baswedan dan Ketum Jakmania Dicky Soemarno di menit-menit akhir kepada Pramono-Rano.
Dan, satu hal lagi yang mungkin saja bisa terjadi adalah deal tertentu di belakang panggung para aktor kunci yang memang menghendaki kemenangan Pramono-Rano.
Bagaimanapun, Megawati, PDIP, serta Pramono-Rano kiranya akan menganggap kemenangan adalah kemenangan, terlepas dari faktor objektif dan komprehensivitas variabel politik determinan di dalamnya.
Lebih istimewa lagi, dan sekali lagi, faktor “Jakarta-centric political telescope” seakan bakal jadi glorifikasi PDIP di tengah gempuran kesuksesan endorse politik Jokowi, yang bahkan berhasil menumbangkan kandidat mereka di Jawa Tengah.
Lalu, mungkinkah kemenangan keputusan krusial Megawati serta kemenangan PDIP di Jakarta akan membawa dampak politik yang signifikan, utamanya terhadap politik-pemerintahan Prabowo Subianto serta Jokowi ke depannya? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)