Foto Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali menjadi sorotan publik karena keduanya terlihat tidak nyaman. Kira-kira, apa alasannya selain rivalitas politik di antara keduanya?
Belakangan ini, julukan menarik yang disematkan pada Indonesia dari warganet semakin beragam. Ada yang suka memanggil negara kita “Wakanda”, sebuah negara fiksi di komik Marvel. Lalu, yang tidak kalah lucunya banyak juga yang menyebut Indonesia sebagai “Konoha”, yakni kampung para karakter utama dalam anime Naruto dan Boruto.
Dan yang menariknya, Konoha ternyata memiliki kesamaan dengan Indonesia, yakni dari jumlah pemimpinnya. Desa yang terletak di Negara Api tersebut memiliki total tujuh hokage (gelar pemimpin) yang pernah memimpin Konoha, dan kalau kita lihat, Indonesia sampai saat ini juga memiliki tujuh presiden.
Tidak hanya itu, anggota presiden dan hokage pun juga memiliki kesamaan. Semua presidennya adalah laki-laki, kecuali presiden dan hokage kelima, yakni Megawati Soekarnoputri dan Tsunade yang jadi satu-satunya perempuan.
Namun, sayang, kalau di anime Naruto para hokage terlihat tidak pernah tidak bertempur satu sama lain, di Indonesia, tidak demikian. Seperti yang diketahui banyak orang, Megawati dan Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memiliki rivalitas politik yang cukup panas. Dua-duanya pernah bersaing dalam pemilihan umum (pemilu) dan partai keduanya pun kerap saling lempar sindiran politik hingga sekarang.
Perselisihan tentu akan membuat hati panas. Setidaknya, mungkin itulah yang dijadikan motivasi awal bagi mereka yang bekerja di balik layar untuk akhirnya mempertemukan dua ‘mantan dewa’ Indonesia ini di meja yang sama. Ya, ketika jamuan makan malam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali beberapa hari lalu, Megawati dan SBY tampak duduk satu meja dalam suatu ruangan. Momennya berhasil diabadikan melalui sebuah foto.
Politisi dari kedua sisi, PDIP dan Demokrat, memasarkan itu sebagai momen perdamaian politik. Masinton Pasaribu, politikus PDIP mengklaim bahwa foto itu adalah manifestasi dari apa yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia. Lalu, elit Demokrat, Jansen Sitindaon, orang yang mengunggah foto tersebut, juga memberikan captio “Damai Indonesia”.
Akan tetapi, warganet justru menemukan kejanggalan dalam foto tersebut. Banyak yang menyadari bahwa Mega dan SBY tampak menunjukkan gelagat yang kurang nyaman, terutama SBY yang terlihat berpose menghadapkan seluruh tubuhnya ke kamera.
Kira-kira, apa alasannya Mega dan SBY terlihat begitu canggung di foto tersebut? Apakah ada alasan lain selain karena sejarah politik keduanya?
Semiotika yang Gagal?
Bagi orang awam, foto Mega dan SBY tadi mungkin hanya diartikan layaknya foto biasa, sehingga kesalahan dan segala keunikan di dalamnya barangkali tidak memiliki makna yang mendalam. Namun, kita tidak boleh abaikan bahwa dua tokoh tadi adalah salah satu tokoh politik terbesar Indonesia sehingga, walaupun apa yang mereka lakukan adalah aksi yang biasa, pasti mereka tetap akan memikirkan dampak politik yang akan muncul.
Terkhusus soal foto Mega-SBY, kita perlu pahami terlebih dahulu bahwa ini besar kemungkinannya adalah upaya para politisi dalam menyampaikan suatu pesan dengan mengandalkan apa yang disebut sebagai semiotika. Secara sederhana, semiotika adalah studi yang mencoba menggali pesan tersembunyi di balik pertanda-pertanda (signs) yang sedang disampaikan oleh suatu aktor.
Filsuf Amerika, Charles Sanders Pierce, dalam teori semiotika pragmatisnya menjelaskan bahwa semiotika adalah teori yang bersifat trikotomis karena melibatkan tiga segi, yakni representamen, objek, dan interpretan.
Representamen adalah fenomena yang pertama kali ditangkap, sedangkan proses kognitif yang terbentuk dari penangkapan itu disebut dengan “objek”. Sementara, proses hubungan dari representamen ke objek disebut semiomis, yang kemudian berlanjut ke dalam proses penafsiran atau “interpretan”.
Sederhananya, dalam persoalan foto Mega-SBY, representamen adalah memori publik tentang perselisihan politik antara Mega dan SBY, objeknya adalah foto itu sendiri, dan interpretan atau penafsiran yang diharapkan adalah pembenturan dua variabel tadi – kalau Mega dan SBY dahulu ‘ribut’ foto yang menunjukkan bahwa mereka semeja seharusnya bisa dipahami bahwa keduanya sekarang baik-baik saja.
Akan tetapi, jelas sepertinya niatan berdasarkan semiotika tadi gagal. Mengapa?
Well, salah satu dugaan menarik yang bisa kita prediksi adalah pakaian yang dikenakan Mega dan SBY yang kalau kita lihat, keduanya sama-sama mengenakan batik berwarna biru. Seperti yang kita ketahui, biru adalah ‘warnanya’ SBY karena sesuai dengan warna andalan Partai Demokrat. Oleh karena itu, pakar semiotika dari ITB, Acep Iwan Saidi, menilai bahwa Mega yang mengenakan batik biru sepertinya tengah menyodorkan “proposal perdamaian” pada SBY karena bersedia tampil satu warna dengannya.
Perdamaian yang dimaksud ini sendiri bisa diinterpretasikan ke beberapa hal. Pertama, tentu adalah perdamaian hubungan politik antara Mega dan SBY yang selalu terlihat panas. Kedua, ada juga kemungkinan itu berkaitan dengan Pilpres 2024 karena anak Mega, Puan Maharani, juga diajak duduk bersama.
Apapun alasannya, yang jelas batik biru yang dikenakan Mega memang pantas untuk disorot karena sebenarnya ia bisa saja hadir dengan batik berwarna merah. Kalau ini memang adalah semacam proposal, dan memang ada kemungkinan demikian, maka jelas sepertinya taktik yang dimainkan Mega justru gagal, karena di foto tersebut terlihat bahwa SBY lebih terlihat merasa tidak nyaman dibanding Mega.
Jika penalaran ini benar, kenapa SBY tampak merasa risih? Padahal, Mega adalah pihak yang bertindak lebih jauh dengan mengenakan warna yang sama dengan dirinya.
Megawati Terlalu Agresif?
Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita senang dengan seseorang, terkadang kita merasa ada sebuah dorongan untuk menyerupai orang yang kita suka, entah itu pakaian yang digunakannya, lagu kesenangan, atau gaya bicara. Namun, jujur saja, mungkin sebagian besar dari kalian justru sering mendapat feedback yang kurang menyenangkan dari orang yang ingin kita serupakan tersebut.
Well, kalian bisa sedikit berlega hati karena kalian bukanlah satu-satunya orang yang diperlakukan demikian. Jeff Thompson dalam tulisannya Mimicry and Mirroring Can Be Good or Bad, mengatakan bahwa terdapat banyak eksperimen psikologis yang coba menguak fenomena ini, dan ditemukan bahwa ternyata kemungkinannya seseorang merasa risih ketika ada yang mencoba memiripkan diri padanya cukup tinggi.
Meski mimicry atau penyerupaan bisa juga menciptakan karisma yang baik, kalau kita keliru dalam memetakan situasi, kondisi, dan perasaan seseorang, maka upaya mimicry kita tadi justru bisa berbalik, yang tadinya ingin terlihat baik dan terbuka, orang yang kita dekati justru malah merasa risih karena ia merasa ruang lingkup pribadinya sedang ingin diusik orang lain. Ini tentu bisa berdampak lebih besar bila kita memiliki pengalaman yang kurang enak dengan orang yang mencoba menyerupai kita.
Satu hal yang bisa kita petik dari upaya seseorang dalam menyerupai orang lain juga adalah adanya kemungkinan ia bersikap posesif, ia memaksakan diri agar bisa dianggap lebih terbuka oleh lawan bicaranya tapi secara tidak sadar aksinya tersebut justru malah menonjolkan sifat yang egoistik. Proses mimicry dalam posesivitas dengan demikian menandakan adanya upaya yang ekstra untuk membuat lawannya berada dalam kendali. Tentu, kita tidak boleh lupa bahwa orang yang kita tiru pun memiliki perasaan, ketika kita ingin mengendalikannya, maka secara otomatis akan ada respon menolak.
Kembali ke konteks pertemuan Mega dan SBY, bisa jadi apa yang dilakukan Mega dalam ‘meraih’ hati SBY justru malah menjadi sebuah blunder politik. Kalau interpretasi ini benar, hal tersebut sangat disayangkan karena bagaimanapun juga pertemuan kedua mantan presiden itu seharusnya bisa digunakan sebaik mungkin untuk ciptakan suasana perdamaian yang lebih tulus.
Di sisi lain, mungkin kasus ini juga bisa jadi pelajaran bagi kita, jika kita ingin mengejar seseorang, jangan sampai kita melewati batas kenyamanan orang tersebut. (D74)