Site icon PinterPolitik.com

Megawati Takut Pecat Ganjar?

Megawati Takut Pecat Ganjar?

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (Foto: dok JawaPos.com)

Berbagai petinggi PDIP mengkritik Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo secara terbuka dan keras. Dengan berbagai ketegangan yang ada, mengapa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri belum memecat Ganjar sebagai kader?


PinterPolitik.com

Ada kabar panas dari internal Partai Gerindra. Ya, ini soal pemecatan M Taufik sebagai kader karena dinilai tidak loyal dan melakukan berbagai manuver yang tidak sejalan dengan partai. Mantan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta itu disebut tidak tegak lurus terhadap komando partai.

Membaca berita pemecatan M Taufik membuat penulis teringat pada Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo. Seperti yang diketahui, sejak pertengahan 2021, kita semua melihat terjadi ketegangan internal di tubuh PDIP. Mencuatnya nama Ganjar sebagai salah satu kandidat paling potensial di Pilpres 2024 rupanya membuat banyak elite internal partai banteng buka suara.

Ketua Bappilu PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto, misalnya, menyebut Ganjar kemajon atau sudah kelewatan. Lalu baru-baru ini, politikus senior PDIP Trimedya Panjaitan menyebut Ganjar kemlinthi alias congkak karena dinilai terlalu bernafsu menjadi calon presiden pada 2024.

Menurut Trimedya, Ganjar tidak menghormati Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang memegang hak veto terkait siapa yang akan diusung partai banteng di Pilpres 2024.

Menariknya, bau-bau keretakan hubungan Ganjar dengan PDIP sudah terjadi sejak 2020. Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menyebut mendapat informasi bahwa Ganjar tidak mendapat restu dari Megawati.

“Kemarin saya dapat kabar dari orang dalam PDIP, dalam satu pertemuan dengan Megawati dan Ganjar, di situ ada Effendi Simbolon, dan ketika Ganjar masuk, Effendi Simbolon mengatakan, ‘ini calon presiden kita’. Lalu Megawati mukanya langsung merah. Artinya tidak berkenan dalam konteks itu,” begitu tutur Ujang pada 4 Desember 2020.

Di sini tentu pertanyaannya satu. Dengan ketegangan yang ternyata sudah terjadi sejak 2020, mengapa Megawati belum memecat Ganjar sebagai kader? 

Jika membandingkan dengan kasus pemecatan M Taufik oleh Partai Gerindra, bukankah pemecatannya terbilang cepat dan tidak menimbulkan drama berkepanjangan seperti kasus Ganjar saat ini? 

Megawati adalah PDIP 

Jeffrey Winters dalam tulisannya Oligarchy Dominates Indonesia’s Elections menjelaskan bahwa partai politik di Indonesia tidak bersifat bottom-up, melainkan mengandalkan kepemimpinan elite di pusatnya. Terkhusus berbicara PDIP, Winters menyebut dominasi Megawati telah ada sejak partai itu baru didirikan.

Dalam literatur politik, dominasi Megawati tersebut disebut dengan personalisasi partai politik. Esty Ekawati dan Mouliza Sweinstani dalam tulisannya Dampak Personalisasi Partai Terhadap Demokrasi Internal Partai di Indonesia Pasca Order Baru, menjelaskan personalisasi partai politik merupakan kondisi ketika individu memiliki posisi yang lebih penting daripada organisasi partai itu sendiri. 

Figur kuat dalam partai politik muncul akibat kultur patronase dan loyalitas tinggi dari pengikut terhadap pimpinan partai. Akibatnya, tak jarang figur tersebut menjadi image atau identitas dari partai itu sendiri. Figur sentral ini memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah partai, hingga pemilihan umum. 

Kendati terkesan negatif, personalisasi partai juga memiliki sisi positif karena dapat menjaga solidaritas internal partai. Namun sebagai akibatnya, hilangnya sosok figur sentral dapat membuat eksistensi dan capaian partai menjadi menurun.

Nah, kasus Partai Gerindra dan PDIP sebenarnya sama, keduanya merupakan personalisasi partai. Prabowo Subianto tidak bisa dilepaskan dari Partai Gerindra, sementara Megawati merupakan figur sentral di PDIP.

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?, bahkan telah disebutkan bahwa PDIP telah berubah menjadi partai trah Megawati, bukan trah Soekarno. Untuk menjadi pimpinan partai banteng mutlak dibutuhkan aliran darah Megawati. 

Cara membuktikannya sederhana. Meskipun Sukmawati Soekarnoputri memiliki darah Soekarno, namanya tidak masuk sebagai kandidat Ketua Umum PDIP berikutnya. Sampai saat ini kandidat terkuat pengganti Megawati adalah Puan Maharani, Prananda Prabowo, dan Mohammad Rizki Pratama – ketiganya adalah anak Megawati.

Nah, di sini poinnya menjadi sangat menarik. Jika Megawati sudah tidak senang dengan Ganjar sejak 2020 seperti penuturan Ujang Komarudin, mengapa Ganjar belum dipecat?

Melihat kasus-kasus sebelumnya, Megawati terlihat tidak segan memecat kader yang tidak tegak lurus. Pada Pilkada 2020, misalnya, PDIP memecat lima kader karena mendukung calon yang bukan merupakan rekomendasi partai.

Kelimanya adalah Bupati Semarang Mundjirin dan anaknya, Biena Munawa Hatta (Kabupaten Semarang), Dwi Astutiningsih (Blora), Mugiyono (Demak), dan Harjanta (Klaten).

Penulis menyebut ini sangat menarik karena pada Pilkada 2020, Ganjar juga melakukan kesalahan serupa. Pada Pemilihan Bupati (Pilbup) Purbalingga 2020, alih-alih mendukung pasangan Dyah Hayuning Pratiwi dan Sudono yang diusung PDIP, Ganjar justru mendukung adik iparnya, Zaini Makarim yang menjadi wakil Muhammad Sulhan Fauzi. 

Poin itu kembali membuat kita bertanya, jika benar Ganjar tidak tegak lurus terhadap partai, kenapa Megawati belum memecatnya sebagai kader?

Pengorbanan Semu Megawati?

Atas keganjilan ini, sepertinya kita dapat membaca buku Niccolò Machiavelli yang begitu masyhur, Il Principe. Seperti yang telah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Il Principe, Bukunya Napoleon hingga Hitler, Il Principe memiliki dua sisi nasihat, yakni bagaimana menjadi pemimpin yang ditakuti, dan bagaimana menjadi pemimpin yang dicintai.

Yang menarik adalah, nasihat kejam dalam Il Principe selalu diikuti oleh nasihat baik. Ketika menyebut penguasa atau raja baru perlu membunuh semua keluarga raja lama, misalnya, Machiavelli menyebut sangat penting untuk menjaga kenyamanan masyarakat dengan tidak sembarang mengganti penguasa-penguasa lama di daerah.

Menurut Machiavelli, jika masyarakat sudah nyaman dengan pemimpinnya, maka kenyamanan itu tidak boleh diganggu dengan pengganti sang pemimpin. Menurutnya, mengganti pemimpin macam ini justru akan meningkatkan potensi kudeta karena sang pemimpin memiliki banyak pengikut.

Dalam literatur politik dewasa ini, apa yang dijelaskan Machiavelli disebut dengan politics of chess atau politik catur. Hugh Patterson dalam tulisannya The Politics of Chess, menjelaskan politik ibarat permainan catur. Agar tidak kalah, baik dalam catur ataupun politik, kita harus menghindari serangan yang prematur dan menyiapkan berbagai strategi untuk menghadapi kumpulan pertempuran kecil.

Menurut Patterson, kemenangan dalam suatu pertempuran pada dasarnya adalah akumulasi dari kemenangan atas pertempuran-pertempuran kecil. Dalam catur, pertempuran kecil ini disebut dengan tactical plays.

Yang menarik adalah, baik dalam catur ataupun politik, terkadang sesuatu harus dikorbankan untuk mendapatkan keuntungan. Rudolf Spielmann dalam bukunya The Art of Sacrifice in Chess membagi pengorbanan dalam catur menjadi dua, yakni sham sacrifice dan real sacrifice.

Sham sacrifice adalah pengorbanan bidak dalam waktu tertentu yang nantinya menghasilkan keuntungan materil (memakan bidak musuh) setara atau lebih besar. Sementara, real sacrifice adalah pengorbanan yang tidak mendapatkan keuntungan materil.   

Kembali pada Ganjar. Sebagai politisi senior yang sangat berpengalaman, Megawati tampaknya tengah menjalankan nasihat Machiavelli. Dengan tingginya elektabilitas dan banyaknya dukungan terhadap Ganjar, bukan tidak mungkin Megawati menilai pemecatan Ganjar justru akan menjadi backlash atau mendatangkan dampak buruk.  

Sedikit berspekulasi, Megawati mungkin sedang melakukan sham sacrifice. Faktanya, suka atau tidak, drama Ganjar-Puan yang mencuat ke permukaan sejak pertengahan 2021 telah membuat PDIP selalu menjadi top of mind publik. 

Jika di kemudian hari hubungan Ganjar dengan PDIP membaik, seperti pernyataan pengamat politik Hendri Satrio, bukan tidak mungkin Ganjar justru akan menjadi ketua tim sukses (timses) Puan di Pilpres 2024. 

Lebih jauh dari itu, jika ketegangan saat ini berubah menjadi kehangatan, bukan tidak mungkin juga apabila Ganjar yang menjadi pilihan PDIP nantinya di Pilpres 2024.

Well, entah apa pun yang terjadi nantinya, semuanya bergantung pada Ganjar. Apakah ketegangan saat ini akan mengalami eskalasi, atau justru sang Gubernur Jateng mampu memperbaikinya dengan baik. Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version