Dalam pidatonya di HUT ke-50 PDIP, Megawati Soekarnoputri mengingatkan jasa PDIP terhadap karier politik Joko Widodo (Jokowi). Apakah Megawati sedang menagih balas budi Jokowi? Jika iya, apa yang diinginkan Megawati?
PinterPolitik.com
“There’s no such thing as a free lunch.” – Milton Friedman
Berbagai pihak begitu menanti pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di perayaan HUT ke-50 PDIP. Santer beredar kabar bahwa Megawati akan mengumumkan calon presiden (capres) PDIP pada kesempatan tersebut.
Banyaknya mata memandang tentu bukan tanpa alasan. Sebagai satu-satunya partai yang mampu mengusung calonnya sendiri di Pilpres 2024, sosok yang diusung PDIP akan memberi perubahan signifikan terhadap peta koalisi.
Sebagaimana penegasan Sun Tzu yang terkenal dalam buku The Art of War, ketahuilah musuhmu (know your enemy).
Namun, alih-alih memberi nama atau sekadar petunjuk, Megawati justru memberikan sindiran terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Pak Jokowi itu ya ngono loh, mentang-mentang. Lah iya padahal Pak Jokowi kalau nggak ada PDI Perjuangan juga duh kasihan dah,” ungkap Megawati pada 10 Januari 2023.
Pernyataan terbuka Megawati sangatlah menarik. Pasalnya, Megawati tentu menyadari pidatonya akan menjadi primadona pemberitaan. Semua mata kamera media akan memperhatikan kalimat per kalimat yang dikeluarkan Megawati.
Dengan demikian, kuat dugaan Megawati sengaja membuat publik membahas sindirannya terhadap Presiden Jokowi. Sebagaimana dijelaskan Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication, media massa merupakan alat “persuasi kesadaran”. Melalui berbagai pemberitaan, politisi mempersuasi atau menggiring masyarakat untuk membahas isu yang dikehendakinya.
Lantas, apakah Megawati hendak menunjukkan kepada publik bahwa Presiden Jokowi memiliki utang budi yang besar kepada PDIP?
Balas Budi dan Tahu Budi
Secara cepat kita dapat mengatakan “iya”. Pidato Megawati tersebut mengingatkan kita pada adagium terkenal, “there ain’t no such thing as a free lunch” atau “there is no such thing as a free lunch”.
Tidak ada makan siang gratis. Adagium ini menerangkan tidak mungkin didapatkan sesuatu tanpa adanya biaya. Tidak ada hal yang gratis di dunia ini.
Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, menerangkan kenapa adagium itu dapat bekerja. Dalam bagian bukunya yang berjudul Don’t Accept Free Drink, Dobelli menjelaskan sifat alamiah manusia yang disebut dengan reciprocity atau efek timbal balik.
Mengutip studi psikolog Robert Cialdini, ditemukan bahwa seseorang mengalami kesulitan yang ekstrem – perasaan bersalah atau tidak menyenangkan – apabila mengabaikan utang atau jasa yang telah diberikan oleh orang lain. Perasaan itu membuat manusia terjebak dalam efek timbal balik, sehingga merasa harus membalas.
Menurut Dobelli, reciprocity merupakan salah satu strategi bertahan hidup paling berguna dalam sejarah umat manusia. Karena efek ini, kita dapat menikmati berbagai sistem kemasyarakatan ataupun ekonomi seperti koperasi, gotong-royong, saling membantu, kerja sama, dan keluarga.
Dalam lingkup yang lebih spesifik, tulisan Arie Putra yang berjudul Menguji “Balas Budi” Jokowi pada Megawati merupakan referensi yang bagus. Tulis Arie, nilai tertinggi dalam alam kebudayaan orang Solo sangat terkait dengan “tahu budi”.
Lanjutnya, “budi” bagi orang Solo merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilupakan untuk memastikan eksistensi kemanusiaannya. Wong kang ora ngerti ing budi, padha karo kewan. Manusia hanya akan menjadi manusia bila selalu mengingat balas budi.
Dengan demikian, mengacu pada adagium “tidak ada makan siang gratis”, tentu wajar apabila Megawati mengingatkan Presiden Jokowi atas utang budi politiknya terhadap PDIP. Di sisi lain, Presiden Jokowi yang merupakan orang Solo, sebagaimana ditulis Arie, sekiranya sangat memahami pentingnya adab “tahu budi”.
Di titik ini pertanyaannya menjadi lebih menarik. Jika benar Megawati tengah menagih balas budi, bahkan menyampaikannya secara terbuka agar masyarakat mengetahui, apa yang diinginkan Megawati?
Megawati Ingin Apa?
Mengumpulkan dan membaca variabel politik yang tertangkap, setidaknya ada dua hal yang mungkin diinginkan Megawati dari Presiden Jokowi. Pertama, sesuai dengan kultur PDIP yang tegak lurus, Megawati ingin Presiden Jokowi mendukung capres pilihan PDIP.
Sebelumnya, elite PDIP seperti Hasto Kristiyanto dan Ahmad Basarah juga secara terbuka mengingatkan Presiden Jokowi atas gelagatnya dalam memberikan sinyal-sinyal dukungan politik. RI-1 diingatkan untuk tidak terlibat politik praktis di Pilpres 2024, dan jangan mencampuri kedaulatan partai dalam menentukan capres-cawapres.
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Pilpres 2024: All Jokowi’s Men? pada 11 Januari 2023, telah diurai bahwa ada kemungkinan Pilpres 2024 akan menjadi pertarungan all Jokowi’s men atau mereka yang direstui Presiden Jokowi.
Kedua, dengan Megawati juga mengingatkan Presiden Jokowi bahwa sudah cukup dua periode, Megawati sepertinya menegur RI-1 untuk tidak terlibat atau membiarkan manuver politik di luar koridor PDIP.
Seperti yang kita lihat, berbagai manuver dan narasi liar seperti tiga periode dan pemilu ditunda keluar secara berkala. Politisi senior PDIP Panda Nababan bahkan menyebut narasi-narasi itu menyesatkan. “Bukan tersesat, tapi maha tersesat,” ungkap Panda pada 9 Januari 2023.
Sebagai orang Solo yang sangat memahami tahu budi, Megawati sekiranya berharap Presiden Jokowi dapat menjawab dua keinginan tersebut.
Well, sebagai penutup, tentu perlu dipertegas bahwa tulisan ini adalah interpretasi. Simpulan dalam tulisan ini didapat berdasarkan variabel-variabel politik yang tertangtap. (R53)