Site icon PinterPolitik.com

Megawati Putar Kembali Demokrasi?

Megawati MPR

Megawati Soekarnoputri (Foto: Istimewa)

Wacana mengembalikan pemilihan presiden ke MPR merupakan langkah ironis bagi demokratisasi yang dihasilkan oleh reformasi.


Pinterpolitik.com

Kebebasan untuk memilih presiden secara langsung merupakan kemewahan yang dinikmati masyarakat Indonesia di era reformasi. Setelah lama harus menikmati pemimpin yang dipilihkan oleh MPR, rakyat akhirnya bisa menentukan sendiri presiden sesuai dengan pilihan mereka.

Sayangnya, kemewahan tersebut berpotensi akan dicabut kembali oleh para pembuat legislasi di Gedung DPR. Merujuk pada tulisan John McBeth di Asia Times, partai pemenang pemilu 2019, PDIP dan ketua umumnya Megawati Soekarnoputri berencana mengembalikan mekanisme pemilihan presiden ke MPR.

Sebagaimana diwartakan sejak lama, para wakil rakyat baru nanti memang berencana untuk mengubah UUD 1945 kembali ke kondisi awalnya. Dalam rencana amandemen tersebut, PDIP merupakan salah satu partai utama yang mendorongnya.

Wacana ini kemudian membuat ketakutan banyak elemen masyarakat pro demokrasi di negeri ini. Banyak yang menganggap bahwa wacana amandemen dengan mengembalikan kekuasaan MPR ini merupakan kemunduran bagi demokrasi dan tamparan bagi cita-cita reformasi.

Kondisi tersebut sebenarnya cukup membingungkan jika mengingat kiprah Megawati dan PDIP dalam reformasi. Lalu, mengapa partai berlogo banteng itu sampai merasa perlu mengembalikan kekuatan MPR dalam memilih presiden?

Memutar Reformasi

Jika melihat kiprah PDIP, sebenarnya wacana untuk mengembalikan UUD 1945 ke kondisi semula boleh jadi tidak mengherankan. Selama beberapa tahun terakhir, amendemen UUD 1945 tampak menjadi agenda dari partai ini.

Kondisi tersebut kemudian dipertegas kembali melalui sikap partai tersebut selama beberapa waktu ini. PDIP menjadi salah satu partai utama yang mendorong terjadinya amendemen terbatas pada UUD 1945.

Sikap tersebut dijelaskan sebagai salah satu poin hasil dari Kongres PDIP beberapa waktu lalu. Ada dua hal yang menjadi agenda amendemen yang disebutkan dalam hasil kongres tersebut yaitu pengembalian Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan seperti yang disebutkan di atas, pengembalian kekuatan MPR.

Meski secara garis partai hal tersebut sudah tertulis, jika mengingat kiprah Megawati dan PDIP, wacana untuk mengembalikan kuasa MPR ini sebenarnya cukup membingungkan. Bagaimanapun, Megawati dikenang sebagai tokoh yang besar melalui reformasi di tahun 1998. 

Wacana partainya untuk mengembalikan pemilihan presiden ke MPR boleh jadi mengkhianati reformasi yang membesarkan nama dan partainya. Bagaimanapun, pemilihan presiden melalui MPR merupakan luka lama era Orba yang menggambarkan kondisi tidak demokratis. Oleh karena itu, cukup ironis bagi Megawati dan PDIP sebagai produk reformasi dan demokratisasi jika mendorong hal itu.

Melanggengkan Rezim

Sebenarnya, jika melihat gelagatnya yang memundurkan demokrasi, wacana amandemen UUD 1945 ini memiliki kemiripan dengan perubahan konstitusi di Turki pada tahun 2017. Banyak yang menganggap bahwa perubahan konstitusi Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan itu mengarahkan negeri di antara benua Asia dan Eropa itu menuju otoritarianisme.

Anggapan seperti itu diungkapkan misalnya oleh Koray Caliskan. Menurutnya, perubahan konstitusi di Turki telah mengubah negara tersebut dari otoritarianisme kompetitif, menuju otoritarianisme penuh. Hal ini tergolong beralasan karena konstitusi ini menjadi jalan bagi pelanggengan rezim Erdogan di Turki.

Secara umum, perubahan konstitusi di negeri di Teluk Bosphorus itu akan mengubah sistem pemerintahan Turki dari parlementer menjadi presidensial. Dengan perubahan konstitusi ini, Erdogan memiliki peluang untuk kembali menjadi sosok tertinggi dalam kamar eksekutif Turki.

Sebelumnya, Erdogan telah menjadi kepala pemerintahan Turki sebagai perdana menteri selama 3 periode pada tahun 2003 hingga 2014. Dalam konstitusi yang lama, ada batasan tiga periode sehingga Erdogan tak lagi bisa menjadi kepala pemerintahan.

Ia kemudian mengisi jabatan sebagai presiden, posisi yang sebenarnya tak punya kuasa setara kepala pemerintahan. Perubahan konstitusi pada tahun 2017 kemudian memberikan kesempatan pada posisi tersebut untuk mendapatkan kewenangan lebih.

Perubahan konstitusi tersebut, mengubah sistem pemerintahan Turki yang semula parlementer menjadi presidensial. Sekilas, hal ini boleh jadi adalah perubahan sistem pemerintahan biasa. 

Meski demikian, perubahan tersebut membuat Erdogan yang sudah tak lagi bisa menjadi kepala pemerintahan sebagai perdana menteri karena telah menjabat  tiga periode, kembali punya kesempatan menguasai kamar eksekutif Turki.

Perubahan pun terjadi di mana kursi perdana menteri dihapus dan Erdogan yang sejak tahun 2014 telah menjadi presiden melenggang sebagai kepala pemerintahan di Turki.

Meski tidak sama persis, wacana amandemen UUD 1945 dari Megawati dan PDIP ini memiliki kemiripan dengan perubahan konstitusi di Turki. Dalam kadar tertentu, ada nuansa pembalikan demokrasi serupa antara rencana amandemen UUD 1945 dengan reformasi konstitusi Turki.

Mengamankan Kursi

Pada konteks Turki, terjadi perubahan dari pemerintahan parlementer menjadi presidensial. Sementara itu, pada konteks amandemen UUD 1945, terjadi potensi perubahan dari sistem presidensial menjadi sistem yang mendekati parlementer di mana pimpinan lembaga eksekutif dipilih oleh lembaga legislatif.

Merujuk pada Caliskan, perubahan konstitusi ini mengubah sistem yang lebih demokratis menuju pada sistem yang lebih otoriter. Pada konteks Turki, perubahan konstitusi memudahkan jalan kepada Erdogan untuk menjadi penguasa eksekutif Turki dalam waktu yang lebih panjang.

Jika melihat kiprah Megawati dan PDIP selama beberapa waktu terakhir, sebenarnya mereka boleh jadi tak benar-benar sial dalam politik Indonesia. Selama dua kali pelaksanaan Pemilu, partai ini berhasil keluar sebagai pemenang pemilu secara berturut-turut.

Sayangnya, meski dua kali menjadi pemenang pemilu, PDIP tak pernah bisa menempatkan kader strukturalnya menjadi presiden di negeri ini. Memang, mereka adalah partai pendukung utama bagi Jokowi. Meski begitu, bagi partai sekelas PDIP, tentu akan lebih membanggakan jika ada kader strukturalnya yang menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Tak hanya sekadar kebanggaan, jika Megawati dan PDIP bisa menaruh kadernya di puncak kekuasaan eksekutif Indonesia, mereka bisa memiliki kontrol yang lebih penuh. Hal ini tentu menjadi pembeda dengan sosok Jokowi yang dalam kadar tertentu seorang outsider meski kerap dianggap petugas partai oleh Megawati.

Secara spesifik, bagi Megawati sendiri, boleh jadi akan lebih membanggakan jika keturunan Soekarno sendiri yang menjadi presiden di negeri ini. Dalam konteks tersebut, Puan Maharani yang diproyeksikan sebagai ketua DPR periode mendatang bisa saja menjadi sosok yang disiapkan.

Mengembalikan pilpres lewat MPR merupakan ironi bagi produk reformasi seperti Megawati dan PDIP Share on X

Dengan menaruh kader sendiri, Megawati dan PDIP akan lebih mudah menjalankan pemerintahan sesuai dengan keinginan partai. Berbagai kebijakan yang dijalankan negara kemudian memiliki potensi untuk memberikan keuntungan kepada partai yang menurut Richard S. Katz dan Peter Mair dapat berupa regulasi, finansial, maupun institusi kunci negara.

Jika mekanisme pemilihan presiden diambil dari rakyat dan dikembalikan ke MPR, maka jalan Megawati untuk menempatkan kadernya di posisi tertinggi kamar eksekutif akan lebih mudah. Sebagai partai yang terus mendominasi hasil pemilu, mereka tak akan mengalami banyak kesulitan untuk mengamankan suara MPR dalam pemilihan presiden. 

Tak hanya itu, kebijakan dan regulasi yang akan dibuat nantinya akan lebih mudah dibentuk karena kamar eksekutif dan legislatif sama-sama dalam genggaman.

Pada akhirnya, semua itu masih menjadi kemungkinan yang menunggu untuk terungkap. Meski demikian, pengembalian pemilihan presiden ke MPR jelas merupakan hal kontras dari reformasi yang mendambakan demokrasi. (berbagai sumber/H33)

 

Exit mobile version