Site icon PinterPolitik.com

Megawati: Mega-Diplomat untuk Korsel?

megawati mega diplomat untuk korsel

Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri (kiri) bergandengan tangan dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol ketika bertemu di Seoul, Korsel, pada 11 Mei 2022. (Foto: Istimewa)

Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri baru saja melakukan perjalanan ke Korea Selatan (Korsel) guna menghadiri pelantikan Presiden Korsel Yoon Suk-yeol. Bahkan, Megawati dan Yoon terlihat sangat akrab dan bergandengan tangan saat bertemu.


PinterPolitik.com

“Jabat erat tanganku, kawan. Kau tak akan pernah sendiri. Hancurkan dendam dengan cinta di dada untuk semua manusia” – Superman Is Dead, “Kuat Kita Bersinar” (2009)

Siapa yang tidak ingat dengan potongan lirik lagu dari Superman Is Dead yang berjudul “Kuat Kita Bersinar” (2009)? Dulu, kala lagu ini populer, video musiknya kerap ditampilkan di saluran televisi nasional ketika acara-acara musik ditayangkan.

Tidak hanya itu, lagu satu ini kerap digunakan juga untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian antar-kelompok hingga dunia. Pada intinya, persatuan dianggap bisa menjadi modal utama untuk membangun dunia yang kuat dan bersinar.

Mungkin, potongan lirik di atas inilah yang mengilhami seorang politikus besar asal Indonesia, yakni Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri. Bagaimana tidak? Beberapa waktu lalu, Presiden RI ke-5 tersebut berjabat dan bergandengan tangan dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) yang baru saja dilantik pada tanggal 10 Mei 2022 lalu, yakni Yoon Suk-yeol.

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh PDIP, pertemuan Megawati dan Yoon tersebut bukanlah tanpa alasan. Ketum PDIP itu disebut memiliki jasa yang besar dalam upaya peningkatan perdamaian di Semenanjung Korea antara Korsel dan Korea Utara (Korut).

Bila benar demikian, mungkin Megawati memang benar-benar mengilhami makna yang terkandung dalam lirik lagu “Kuat Kita Bersinar”. Pasalnya, ada anggapan juga yang mengatakan bahwa Megawati diterima dengan baik – baik di Korsel maupun Korut.

Bagi Korut, misalnya, Megawati saat masih menjabat sebagai Presiden RI menjadi salah satu sosok penting yang kembali menguatkan hubungan Indonesia dan negara yang kini dipimpin oleh Kim Jong-un tersebut. Seperti yang diketahui secara umum, hubungan Indonesia dengan negara-negara komunis – seperti Korut – sempat memburuk di bawah pemerintahan Soeharto kala Orde Baru.

Namun, benarkah demikian? Apakah mungkin ada kepentingan politik tertentu di balik kunjungan Megawati ke Korsel tersebut? Pasalnya, bila dibandingkan dengan perwakilan negara-negara lain yang hadir dalam pelantikan Yoon, hanya Megawati lah yang tidak menjabat sebagai pejabat eksekutif tinggi.

Republik Rakyat Tiongkok (RRT), misalnya, diwakili oleh Wakil Presiden (Wapres) Wang Qishan. Sementara, Singapura diwakili oleh Presiden Halimah Yacob.

Lantas, mengapa Megawati yang menjadi sosok Indonesia yang paling terlihat dalam acara pelantikan tersebut? Mungkinkah Megawati memiliki pengaruh diplomatik yang cukup besar di panggung politik dunia?

Megawati, the Mega-Diplomat?

Terdapat sebuah konsep menarik yang dicetuskan oleh Parag Khanna, seorang India-Amerika yang ahli dalam hal geopolitik dan globalisasi. Istilah tersebut adalah mega-diplomacy (mega-diplomasi).

Dalam tulisannya yang berjudul Global Governance and Megadiplomacy, Khanna menjelaskan bahwa mega-diplomasi merupakan pola diplomasi yang dibutuhkan di abad ke-21 kini. Pasalnya, guna mengatasi berbagai persoalan umat manusia yang ada, diplomasi kini perlu melibatkan semua pihak – bukan hanya negara, melainkan kombinasi kerja sama antara negara, perusahaan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non-governmental organization (NGO).

Apa yang dijelaskan oleh Khanna sebenarnya masuk akal. Di abad ke-21 yang disertai dengan globalisasi – yakni penyamaran batas-batas antar-negara, banyak aktor politik dunia selain negara yang semakin berperan banyak. Mereka biasa disebut sebagai aktor non-negara (non-state actors) seperti perusahaan, individu, hingga NGO.

Tentu, tantangan global pun sangat beragam. Salah satunya adalah instabilitas kawasan yang bisa saja timbul akibat gesekan yang terjadi antar-negara – sebut saja gesekan yang terjadi antara Korsel dan Korut.

Maka dari itu, menjadi wajar apabila muncul aspirasi agar Korsel dan Korut bisa melalui proses reunifikasi – menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea. Bagaimana pun, kehadiran dua negara ini tidak dapat dipungkiri bisa menciptakan instabilitas hingga konflik – apalagi dengan adanya ancaman senjata nuklir.

Boleh jadi, Megawati bisa menjadi sosok yang dilihat bisa berkontribusi dalam membangun perdamaian di kawasan Asia Timur – khususnya Semenanjung Korea. Pasalnya, Ketum PDIP tersebut bisa berperan sebagai aktor non-negara dalam geopolitik di kawasan tersebut.

Alex J. Douville dalam tulisannya yang berjudul Beyond the Water’s Edge menjelaskan bahwa mantan presiden biasanya turut mempengaruhi kebijakan dan politik luar negeri suatu negara – khususnya di Amerika Serikat (AS). Bukan tidak mungkin, Megawati sebagai seorang mantan presiden juga menggunakan pengaruhnya di panggung politik dunia.

Mantan Presiden AS Barack Obama, misalnya, masih aktif bergerak dalam berbagai isu politik dan aktivisme meskipun tidak lagi menjabat. Selain Obama, terdapat juga mantan Perdana Menteri (PM) Britania Raya (Inggris) Tony Blair yang bahkan aktif mempengaruhi dinamika politik internasional – seperti di Timur Tengah – dengan berbagai bisnis dan investasinya.

Mungkin, Megawati juga berperan sebagai mega-diplomat yang menggunakan pengaruhnya sebagai mantan presiden. Apalagi, Megawati disebut diminta oleh lembaga legislatif Korsel agar bisa mewakili negara mereka untuk upaya peningkatan perdamaian dengan Korut.

Namun, apakah ini artinya Megawati tidak memiliki kepentingan politiknya sendiri? Sebagai ketum dari partai terbesar di Indonesia, Megawati tetaplah aktor politik yang memiliki kepentingan tertentu – setidaknya di lingkup domestik. 

Manuver ala Megawati?

Bukan tidak mungkin, dengan koneksi yang terbangun dalam kunjungannya ke Korsel, Megawati dan PDIP mendapatkan keuntungan tertentu. Bagaimana pun, kehadiran Korsel bisa berdampak pada konstelasi politik domestik Indonesia.

Bisa jadi, terdapat dua kepentingan yang bisa saja ada di balik manuver kunjungan Megawati ke negara yang kini dipimpin oleh Yoon tersebut, yakni kepentingan politik dan kepentingan bisnis. Tidak dipungkiri, Korsel menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan investasi yang pesat di Indonesia – selain Tiongkok.

Pada tahun 2021, misalnya, investasi Korsel di Indonesia mencapai USD1,64 miliar (sekitar Rp22,9 triliun). Besarnya investasi negara Ginseng tersebut menjadikannya sebagai negara investor terbesar keenam di Indonesia – setelah Singapura, Jepang, Tiongkok, Hong Kong, dan Belanda.

Belum lagi, Korsel juga menjadi salah satu negara yang gencar berinvestasi di industri nikel Indonesia – selain Tiongkok. Menariknya, ada sosok pejabat sekaligus politikus yang disebut berperan besar dalam investasi nikel Tiongkok di Indonesia, yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Seperti yang banyak diketahui, hubungan PDIP dan Megawati dengan Luhut kerap berjalan tidak mulus. Kehadiran Luhut di kabinet pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sejak periode pertama menimbulkan kontraproduksi bagi pengaruh Megawati di pemerintahan mantan Wali Kota Solo tersebut.

Boleh jadi, apa yang dilakukan Megawati adalah strategi balancing (pengimbangan) terhadap pengaruh Luhut di industri nikel. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa nikel disebut-sebut menjadi komoditas masa depan Indonesia yang bakal diperebutkan oleh banyak negara – seperti AS dan Tiongkok.

Bila benar demikian, manuver ini juga bisa saja memenuhi kepentingan politik-bisnis antara Korsel dan Indonesia. Bila diperhatikan kembali, terdapat sosok yang familiar dalam bisnis yang turut mendampingi Megawati dalam lawatannya ke kantor Yoon, yakni Duta Besar RI untuk Korsel Gandi Sulistiyanto.

Gandi sendiri sebelumnya merupakan Managing Director dari konglomerasi Sinar Mas Group yang bergerak di banyak bidang industri dan bisnis. Gandi menjabat sebagai Dubes sejak tahun 2021 lalu.

Kala menjabat, sejumlah kesepakatan bisnis antara Sinar Mas dengan perusahaan Korsel pun terjadi, misalnya bersama Reco Inc. yang bergerak di bidang pengelolaan limbah. Bukan tidak mungkin, potensi kerja sama bisnis antara dua negara ini memperluas jejaring koneksi Megawati di dunia bisnis itu sendiri.

Di sisi lain, Presiden Korsel Yoon merupakan sosok yang diprediksi bakal bersikap berani terhadap Korut dan Tiongkok – memunculkan prediksi bahwa Yoon akan memiliki hubungan erat dengan pemerintahan Biden di AS. Bukan tidak mungkin, jaringan koneksi politik antar-partai di tingkat dunia juga bisa dimanfaatkan oleh Megawati dan PDIP dalam bernavigasi di politik domestik Indonesia.

Terlepas dari benar atau tidaknya, banyak kemungkinan yang bisa saja terbangun dari kunjungan Megawati ke Korsel – apalagi sampai bertemu secara tatap muka dengan Yoon. Siapa tahu ini adalah cara Megawati untuk menjadi semakin kuat dan bersinar seperti lirik lagu Superman Is Dead di awal tulisan? (A43)


Exit mobile version