Gestur yang ditafsirkan sebagai dukungan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) 2024 seolah memanaskan tensi internal PDIP yang digadang mengusung Puan Maharani. Lantas, seperti apa skenario akhir dari intrik internal PDIP itu?
“Mungkin yang kita dukung ada disini,”. Penggalan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rakernas V Relawan Pro Jokowi (Projo) di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah pada 21 Mei lalu itu meninggalkan kesan yang menarik sampai saat ini.
Pasalnya, itu disampaikan Jokowi saat berbicara mengenai sosok calon presiden (capres) 2024 mendatang dan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo hadir di tempat yang sama.
Meskipun jika dilihat secara utuh, pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta itu adalah imbauan agar tidak tergesa-gesa dalam memberikan dukungan kepada sosok capres, tetap saja, frasa “kita” diterjemahkan sejumlah pengamat sebagai dukungannya kepada Ganjar.
Indikasi dukungan itu dinilai telah ditunjukkan Presiden Jokowi dalam sejumlah kesempatan. Hal ini sebagaimana analisa Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie yang menjelaskan bahwa sinyal dukungan Jokowi kepada Ganjar sudah terbaca dari bahasa verbal dan nonverbal selama ini.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menganalisa lebih jauh mengenai ikhtisar pernyataan Jokowi. Dia melihat pernyataan tersebut tak hanya sinyal dukungan bagi Ganjar, tetapi juga menilai bahwa Jokowi ingin menjadi king maker dalam kontestasi elektoral 2024.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta Hendri Satrio atau Hensat justru mengkritik bahwa semestinya, sebagai pemimpin, Jokowi mutlak tidak memberikan gestur dukungan dalam bentuk apapun kepada siapapun. Bahkan, acara Projo di Magelang itu dianggap Hensat sebagai sebuah blunder.
Well, gestur dukungan Presiden Jokowi itu agaknya memang berpotensi meningkatkan tensi di internal PDIP. Hal itu dikarenakan adanya benturan dengan sosok Puan Maharani – putri Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri – yang juga terus ditonjolkan sebagai kandidat dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Bahkan, ketidakhadiran Megawati dan Puan dalam acara pernikahan adik Jokowi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman pada 26 Mei lalu jamak dinilai sebagai reaksi atas dukungan RI-1 kepada Ganjar.
Lantas pertanyaannya, seperti apakah skenario akhir yang kemungkinan besar akan terjadi dari intrik internal PDIP itu?
Titah Absolut Megawati
Selama ini, bukan rahasia lagi bahwa keputusan final dalam dinamika yang terjadi di PDIP tidak bisa dilepaskan dari apa yang menjadi sabda sang Ketum, Megawati Soekarnoputri.
Pasca intrik dukungan Jokowi kepada Ganjar, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Bambang Wuryanto hingga Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto memberikan jawaban “template” bahwasanya capres yang akan diusung PDIP berujung pada keputusan Megawati nantinya.
Mengapa demikian?
Salah satu pendekatan yang kiranya tepat untuk memahami dinamika internal partai banteng ialah melalui perspektif politik Jawa. Tanpa bertendensi Jawa-sentris, perspektif tersebut dinilai memiliki signifikansinya tersendiri sebagaimana yang dijelaskan Aris Huang dalam Jokowi-Prabowo political reconciliation as Javanese strategy.
Huang mengatakan bahwa “dominasi Jawa” di Indonesia telah berkontribusi membentuk lanskap politik di Tanah Air, mulai dari nilai-nilai dalam interaksi para aktor politik hingga konsep kepemimpinan Jawa.
Politik memang diliputi kecenderungan pragmatisme, namun nilai serta konsep itu masih jamak dipegang teguh hingga saat ini oleh sebagian politikus. Bahkan tetap diamalkan ketika esensi nilai itu terkesan tidak demokratis yang mana salah satunya masih tercermin dalam aspek kepemimpinan.
Politikus kawakan tanah air, Fahri Hamzah memiliki perspektif mengenai hal ini. Dalam bukunya yang berjudul Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat vs Daulat Parpol, Fahri menyebutkan bahwa relasi masyarakat dengan pemimpin dalam falsafah Jawa berbeda dengan nilai-nilai kepemimpinan dalam demokrasi.
Mengutip Niels Mulder, dikatakan bahwa dalam tatanan sosial Jawa, rakyat dilarang memikirkan moralitas penguasa apalagi hingga mempertanyakannya. Etika dan keharmonisan menjadi alasannya.
Selain dapat menjelaskan mengapa Megawati menjadi pemegang tunggal titah absolut segala keputusan PDIP, telaah di atas agaknya juga memiliki pertalian dengan kemungkinan keputusan sosok yang akan jadi jagoan PDIP di Pilpres 2024 mendatang.
Benedict R. Anderson dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia menjelaskan bahwa berdasarkan falsafah Jawa, harmoni dan ketenteraman merupakan tujuan utama dari eksistensi kekuasaan.
Oleh karena itu, kepemimpinan dengan karakteristik raja (God-king) sebagai pusat kekuatan dianggap penting untuk menciptakan harmoni tersebut.
Kala direfleksikan pada kata kunci berupa PDIP, Megawati, dan Pilpres 2024, ide pokok pemikiran Anderson kiranya dapat memberikan petunjuk terhadap kepastian siapa sosok yang akan diusung partai banteng.
Regenerasi kepemimpinan Megawati yang selama lebih dari dua dekade telah membawa harmoni di PDIP tentu akan terjadi. Sebagai sosok prominen yang dikenal sebagai pemegang simbol trah Soekarno, bukan tidak mungkin Megawati akan berupaya mempertahankan karakteristik kepemimpinan God-king demi kesinambungan harmoni internal PDIP.
Aria Bima, salah satu politikus elite PDIP, pernah mengatakan bahwa faktor kepemimpinan trah Soekarno-lah yang menjadi pemersatu internal terkuat partai sampai saat ini.
Puan Maharani lantas menjadi satu-satunya sosok yang memenuhi kriteria tersebut untuk meneruskan estafet kepemimpinan Megawati di PDIP. Dan untuk menjadi pemimpin simbolik, Puan tentu membutuhkan jabatan politik prestisius dalam pemerintahan agar memiliki legitimasi memimpin partai.
Megawati dinilai tidak akan mengorbankan Puan demi sosok lain di Pilpres 2024 demi tujuan lebih besar, yakni harmoni dan stabilitas PDIP ke depannya. Bahkan, opsi mengusung Puan kiranya akan tetap diutamakan meski PDIP hanya akan menyumbang jabatan cawapres jika mengacu pada rendahnya elektabilitas Ketua DPR RI itu.
Oleh karena itu, Pilpres 2024 akan menjadi pertaruhan besar bagi PDIP. Bukan hanya dalam arena pertarungan elektoral, tetapi juga mengenai masa depan partai.
Terkait dengan masa depan partai dan korelasinya dengan faktor trah Soekarno, satu hal sesungguhnya masih mengganjal bagi PDIP. Tidak lain tentang apakah simbolisasi Bapak Proklamator masih akan terus relevan bagi PDIP sepeninggal Megawati kelak?
Kultus Pragmatis Pada Soekarno?
Megawati seolah memang melakukan pengkultusan sosok Presiden RI pertama Soekarno. Mulai dari pembuatan patung hingga penamaan fasilitas institusi pemerintahan, dinilai tak terlepas dari inisiasi Megawati sebagaimana yang pernah dibahas dalam Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?.
Bahkan Megawati juga pernah mengusulkan pelurusan sejarah mengenai Soekarno dan tragedi 1965 kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pada November 2020 silam.
Xavier Marquez dalam A Model of Cults of Personality mengatakan bahwa pengkultusan sosok tertentu sebagai flattery inflation atau inflasi pujian, yaitu adanya kecenderungan kuat pujian atau sanjungan akan diberikan kepada sosok tersebut.
Pengkultusan ini acap kali terjadi pada pemimpin politik dengan karakter karismatik demi pengukuhan kekuasaan. Beberapa di antaranya ialah Fidel Castro, Xi Jinping, hingga rival politik Soekarno sendiri, Soeharto.
Di samping apa yang dikatakan Marquez, khusus bagi Megawati, pengkultusan Soekarno kemungkinan juga bertujuan menjaga karakter sekaligus harmoni PDIP seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Akan tetapi, pengkultusan itu bisa saja tak menemui momentum dan relevansinya lagi di kemudian hari bagi internal PDIP. Kembali lagi, hal ini terkait dengan siapa sosok yang benar-benar menjadi suksesor Megawati nantinya serta apakah sosok itu memegang kekuasaan atau tidak.
Anderson menjelaskan pula mengenai hal ini bahwasannya ketika God-king memimpin, pengikut maupun entitas lain memainkan peran sebagai pemberi tribut kepada sang penguasa dengan jaminan perlindungan dan keamanan. Artinya, terdapat alasan pragmatis mengapa para pengikut sang raja patuh.
Jika diterjemahkan, pengkultusan Soekarno yang seolah menjadi alat pemersatu internal PDIP bisa saja karena dua faktor pendukung, yakni partai sedang berkuasa serta dipimpin oleh trah langsung Putra Sang Fajar.
Dengan kata lain, falsafah pengkultusan yang bertujuan menjaga harmoni partai bisa saja tak menemui relevansinya lagi ketika salah satu atau kedua faktor tersebut hilang.
Atas dinamika yang saat ini tengah berkembang, PDIP dipastikan akan melakukan pertaruhan besar pada Pilpres 2024 mendatang. Bukan hanya konteks mempertahankan kekuasaan, tetapi demi nasib partai di masa yang akan datang. Menarik untuk dinantikan. (J61)