Site icon PinterPolitik.com

Megawati Kena Senjata Makan Tuan?

Megawati Kena Senjata Makan Tuan?

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri (foto: Suara Jakarta)

Akhir-akhir ini, pelabelan PKI terhadap Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kembali masif terjadi. Apabila kita melihat laju perpolitikan nasional sejak 2014, pelabelan tersebut tampaknya adalah buah dari pelabelan radikalisme dan anti Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah. Benarkah demikian?


PinterPolitk.com

Sejak peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965 lalu, istilah PKI telah bertransformasi menjadi istilah label untuk menjatuhkan lawan politik. Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri adalah sosok yang kerap dirundung menggunakan label tersebut. Selain dirinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga tidak jarang disebut sebagai kader PKI. 

Namun akhir-akhir ini, Megawati tampaknya gerah dengan pelabelan tersebut. Ia mengaku heran, mengapa dirinya yang merupakan Presiden Kelima RI selalu diserang menggunakan label tersebut. Keheranan serupa juga ditunjukkan oleh pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, yang menyebutkan bagaimana mungkin seorang mantan presiden disebut sebagai PKI. Apalagi, menurutnya Megawati adalah sosok yang nasionalis.

Tudingan itu sendiri jamak dirujuk melalui kedekatan PDIP dengan Partai Komunis Tiongkok, adanya kader PDIP yang merupakan keluarga kader dan simpatisan PKI, hingga hubungan Soekarno dengan PKI di masa lalu. Di bawah pemerintahan Jokowi, Indonesia juga disebut semakin dekat dengan Tiongkok. Ini misalnya dilihat dari lonjakan investasi dari negeri Tirai Bambu tersebut.

Lalu, ada pula manuver-manuver Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini yang disebut sebagai upaya untuk membendung pengaruh Tiongkok dari Indonesia. Mulai dari mengundang Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto ke Pentagon, kunjungan Menteri Luas Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo ke Nahdlatul Ulama (NU), hingga memberikan pembebasan bea masuk melalui skema Generalized System of Preferences (GSP).

Namun, apabila kita melihat perjalanan kontestasi politik nasional dalam 6-7 tahun terakhir, label PKI terhadap Megawati dan Presiden Jokowi tampaknya merupakan konsekuensi dari strategi politik yang dilakukan oleh pemerintah. Benarkah demikian?

Pelabelan vs Pelabelan

Penuturan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy akan memberikan kita kejelasan terkait asal muasal label PKI diproduksi. Selaku sosok yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Strategi Tim Pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Ia menyebut bahwa isu Jokowi adalah keturunan Tionghoa dan kader PKI sengaja dilempar sebagai taktik pemenangan pada Pilpres 2014 lalu.

Isu itu lalu disebarkan melalui tabloid Obor Rakyat, diproduksi sebanyak 1 juta eksemplar, dan disebarkan ke 28.000 pondok pesantren, serta 724.000 masjid di Pulau Jawa. Pemimpin Redaksi tabloid, Setiyardi Budiono dan Redaktur tabloid, Darmawan Sepriyossa kemudian divonis 8 bulan penjara karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik.

Namun menariknya, kendati penanggung jawab tabloid telah dipenjara, isu Jokowi adalah kader PKI, di mana itu juga merembet ke PDIP dan Megawati, nyatanya masih beredar di tengah masyarakat. Saat ini, isu tersebut tampaknya telah menjadi semacam rahasia umum. Ini tentu aneh, mengapa putusan hukum tidak menghentikan peredaran isu tersebut?

Jawabannya mungkin terletak dari strategi pemerintah dalam merespons isu tersebut. Bagaimana tidak? Alih-alih menjernihkan isu tersebut, pemerintah justru melempar isu tandingan, yakni radikalisme dan anti Pancasila atau tidak Pancasilais.

Kate Grealy dalam tulisannya Politicising the Label Radical? memberi pertanyaan menarik, dengan masifnya penggunaan label radikalisme dari pemerintah, apakah istilah tersebut akan menjadi PKI baru? Konteksnya tentu bukan dalam artian terciptanya partai, melainkan apakah radikalisme akan menjadi label yang digunakan untuk menjatuhkan lawan politik seperti halnya label PKI.

Menurut Grealy, sejak menjelang akhir 2019, pemerintah telah menggunakan label radikal(isme) untuk membungkam aktivis, individu, gerakan, dan institusi. Lanjutnya, itu tidak hanya kontradiktif dengan kebebasan berbicara dan berkumpul, melainkan juga berkontribusi pada polarisasi politik yang lebih besar.

Dengan kata lain, pelabelan politik tengah dibenturkan dengan pelabelan politik lainnya. Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas menyebutkan bahwa sumber utama potensi konflik di dunia kontemporer adalah asumsi bahwa individu atau kelompok masyarakat dapat secara mutlak dikategorikan dalam suatu identitas tunggal.

Masalahnya adalah, kendati kita memahami bahwa identitas bersifat jamak, individu ataupun kelompok masyarakat cenderung untuk memilih suatu identitas yang kemudian dikristalisasi dalam dirinya. Ketika identitas itu diusik, respons us vs them atau mengategorisasi pengusiknya sebagai identitas yang berbeda dari dirinya kemudian dilakukan.

Pada kasus perang label politik atau tepatnya label identitas, antara PKI vs radikalisme, masalah us vs them dengan jelas terlihat. Mereka yang dituduh PKI, yakni PDIP dan pemerintah kemudian merespons dengan melempar tuduhan radikal dan tidak Pancasilais. Alhasil, setiap kubu akan mengristalisasi identitasnya yang terusik, sehingga konflik politik seperti yang terjadi saat ini menjadi tidak terhindarkan.

Singkatnya, semakin menguatnya narasi PDIP, Megawati, ataupun Jokowi adalah PKI, pada dasarnya adalah konsekuensi dari strategi pemerintah yang justru mempertajam polarisasi politik dengan menggunakan label radikal(isme).

Manusia Tanpa Kepala

Ilmuwan politik AS, Francis Fukuyama, menyebutkan bahwa tujuan utama demokrasi liberal adalah untuk memberikan hak yang setara bagi setiap individu. Namun, persoalannya adalah, dengan demokrasi liberal yang memberikan hak setara melalui kebebasan berekspresi, setiap individu ataupun kelompok masyarakat akan berusaha untuk menyuarakan identitasnya agar mendapatkan pengakuan.

Oleh karenanya, partikularitas tidak terbatas, atau tumpang tindih klaim identitas menjadi tidak terelakkan. Tidak hanya itu, persepsi identitas yang direndahkan dapat menjadi justifikasi untuk tindakan tidak demokratis, dan bahkan juga kekerasan.

Dalam bukunya The End of History and the Last Man, pada pembahasan yang berjudul Manusia Tanpa Kepala, Fukuyama menjelaskan bahwa persoalan vital yang sulit diselesaikan demokrasi liberal adalah bagaimana membuat setiap individu mendapatkan kualitas pengakuan yang sama.

Dengan mengutip Friedrich Nietzsche, Fukuyama tampaknya hendak membayangkan sosok manusia paripurna yang terpuaskan dari segala hasrat pengakuan. Namun di sini, kendati mempromosikan demokrasi liberal sebagai akhir sejarah, Fukuyama menaruh pertanyaan dan pesimisme, apakah asas-asas liberal yang mengedepankan individualisme dapat mewujudkan bayangannya terkait kesetaraan manusia.

Bertolak dari Fukuyama, konteks masalah pelabelan PKI ataupun radikalisme tampaknya merupakan konsekuensi dari asas liberal itu sendiri. Dalam politik demokrasi, kebebasan berekspresi dipandang sebagai norma wajib yang harus ditegakkan. Namun sebagai hasilnya, kebebasan tersebut justru menjadi bumerang yang memperdalam politik identitas ataupun polarisasi politik.

Pada kasus Pilpres 2014 lalu, dilemparnya isu Jokowi adalah PKI tentu bertolak dari iklim politik demokrasi yang meyakini itu adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Kasus yang lebih parah dapat kita jumpai di AS. Di sana, pelemparan label semacam bahkan dipandang lumrah dalam kontestasi politik.

Singkatnya, di sini pemerintah perlu menyadari bahwa Manusia Tanpa Kepala, atau manusia yang tidak memiliki hasrat pengakuan adalah utopia yang mungkin tidak akan pernah ada. Artinya, polarisasi politik yang terjadi saat ini tidak boleh ditajamkan lagi. Teruntuk PDIP selaku partai dominan saat ini, mereka harus melakukan evaluasi agar pelabelan, seperti tidak Pancasilais, tidak boleh dipandang sebagai narasi yang lumrah.

Pada akhirnya, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa masifnya pelabelan Megawati sebagai PKI adalah buah dari digunakannya label seperti radikalisme dan tidak Pancasilais. Ini adalah perang pelabelan vs pelabelan yang harus segera ditinggalkan jika menginginkan kesatuan politik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)  

Exit mobile version