HomeHeadlineMegawati Kembalikan PDIP ke Tahun 2014? 

Megawati Kembalikan PDIP ke Tahun 2014? 

Dengarkan artikel berikut

Pidato Megawati Soekarnoputri usai mengumumkan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah PDIP jadi sorotan publik, khususnya terkait sindiran-sindirannya kepada “penguasa”. Apa kira-kira makna sebenarnya di balik sindiran-sindiran Megawati? 


PinterPolitik.com 

“Eh begitu dengar ini akan diambil, ‘nih kayanya PDI Perjuangan’. Saya mau jadi ketua umum lagi. Keren apa tidak?” ucap Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum (Ketum) PDIP, saat mengisi acara pengumuman bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah di Kantor DPP PDIP Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2024). 

Sorakan para peserta pertemuan yang mayoritas merupakan kader PDIP, ramai menyambut ucapan Megawati, seakan menjadi simbol bahwa di bawah naungan Megawati, PDIP telah selamat dari usaha sabotase pihak eksternal partai. 

Ucapan Megawati itu pun sontak menjadi bahan headline berita sejumlah media. Tidak heran, setiap kali pucuk pimpinan Partai Banteng Moncong Putih tersebut muncul di publik, pernyataan-pernyataannya memang selalu menjadi bahan gunjingan para wartawan dan mungkin seluruh pecinta politik di Indonesia. 

Menariknya, narasi yang disampaikan Megawati ini tampak jadi pola berkelanjutan semenjak dirinya terakhir terlihat bersama di publik dalam acara Rakernas PDIP ke-IV, pada 29 September 2023. Dalam acara-acara publik setelah momen itu, Megawati tercatat selalu melemparkan narasi yang terlihat memposisikan pihaknya sebagai pihak yang ‘terzalimi’ tindak kekuasaan yang tidak bertanggung jawab. 

Menarik kemudian untuk kita pertanyakan, apa yang sebenarnya ingin dicapai Megawati dengan membuat penyataan-pernyataan ini? Apakah ini hanya ungkapan kekesalan belaka atau ada intensi mendalam di baliknya?

image

 

Megawati ‘Agitasi’ PDIP?

Pernyataan Megawati Soekarnoputri pada 14 Agustus 2024 tentang adanya pihak yang ingin mengambil alih PDIP dapat dianalisis menggunakan teori politik viktimisasi.  

Mengutip pandangan  dari Martha Winow dalam bukunya Between Vengeance and Forgiveness, politik viktimisasi menyinggung soal bagaimana posisi sebagai korban sering digunakan dalam politik untuk mendapatkan keuntungan moral dan politik. Minow menyoroti bagaimana narasi korban dapat digunakan untuk membenarkan tindakan politik tertentu dan memobilisasi dukungan publik.  

Dalam konteks pernyataan Megawati, sangat wajar bila seorang pemimpin mengklaim adanya ancaman dari pihak luar untuk menggambarkan bahwa dirinya dan institusi yang dipimpinnya berada dalam bahaya, sehingga memerlukan perlindungan dan dukungan yang lebih besar dari para pendukung setianya. 

Megawati dalam pernyataannya menegaskan bahwa dirinya memutuskan untuk tidak mundur sebagai Ketua Umum PDIP karena merasa ada pihak yang ingin menguasai partainya. Klaim ini bisa dilihat sebagai kemungkinan bentuk strategi viktimisasi, di mana ia berupaya untuk menjaga kohesi dan loyalitas internal partai dengan menyiratkan bahwa partai sedang berada dalam ancaman eksternal.  

Baca juga :  Adu Mekanik Endorse Anies vs Jokowi

Hal ini dapat memunculkan efek “rally around the flag,” yakni efek di mana para pengikut cenderung bersatu dan memperkuat dukungan ketika pemimpin atau partai mereka menghadapi ancaman eksternal. 

Salah satu elemen kunci dari politik viktimisasi adalah legitimasi kepemimpinan. Dengan menyampaikan bahwa dirinya tetap berada di pucuk pimpinan untuk mempertahankan partai dari ancaman, Megawati memperkuat citranya sebagai pemimpin yang mampu menjaga kestabilan dan integritas partai. Ini merupakan langkah yang efektif untuk mempertegas posisinya, baik di mata anggota partai maupun publik, yang mungkin sebelumnya mempertanyakan relevansinya setelah lebih dari dua dekade memimpin PDIP. 

Taktik politik semacam ini juga sering digunakan untuk mendiskreditkan lawan. Dengan menyebut adanya “pihak yang ingin mengambil alih partai,” Megawati secara tidak langsung mengidentifikasi musuh tanpa menyebut nama, yang menciptakan suasana ketidakpercayaan dan potensi konflik dalam lingkup politik nasional. Penggunaan retorika semacam ini tidak hanya mempertahankan kekuatan internal, tetapi juga menimbulkan narasi bahwa partai sedang dalam kondisi rentan yang membutuhkan kepemimpinan kuat dan konsisten. 

Dalam analisis yang lebih luas, strategi ini dapat dilihat sebagai respons Megawati terhadap dinamika politik yang berkembang. PDIP sedang menghadapi tantangan signifikan menjelang Pilkada dan Pemilu, dan narasi tentang ancaman eksternal dapat menjadi cara efektif untuk mempertahankan kekompakan internal di tengah kompetisi yang ketat, baik dari dalam partai maupun dari luar. 

Dengan demikian, klaim Megawati dapat dilihat sebagai strategi politik yang bertujuan untuk menegaskan kembali kendali dan otoritasnya, serta menciptakan rasa urgensi di antara para pendukung PDIP. Hal ini dapat membantu memperkuat solidaritas di dalam partai dan menghalangi upaya-upaya internal maupun eksternal yang berusaha meruntuhkan kepemimpinan atau posisi PDIP di kancah politik nasional. 

Menariknya, jika pernyataan-pernyataan Megawati kemarin memang mengarah ke asumsi ini, tampaknya ada kemungkinan hal tersebut berkaitan dengan gaya kepemimpinan partainya sebelum PDIP memenangkan Pemilu 2014.  

image

Megawati dan PDIP ‘Back to Their Roots’? 

Pernyataan Megawati yang menyinggung adanya pihak yang ingin mengambil alih PDIP dalam konteks menjelang Pilkada 2024 memiliki kemiripan yang menarik dengan gaya narasi politik PDIP sebelum menjadi penguasa, khususnya sebelum Pemilu 2014.  

Kala itu, PDIP dan Megawati menggunakan strategi yang berupaya mem-frame penguasa sebagai musuh bersama guna membangun koalisi politik yang solid dan memperkuat citra partai sebagai alternatif kekuatan politik. Gaya ini sangat konsisten dengan retorika politik populis yang menempatkan diri sebagai korban ketidakadilan dari elite yang berkuasa. 

Baca juga :  Hype Besar Kabinet Prabowo

Pada masa sebelum Pemilu 2014, PDIP sering menggambarkan pemerintahan saat itu sebagai tidak merakyat, tidak demokratis, dan cenderung elitis. Megawati dan tokoh-tokoh PDIP secara konsisten mengangkat narasi bahwa pemerintah cenderung melupakan rakyat kecil, dan menyebut partai mereka sebagai satu-satunya kekuatan yang benar-benar berpihak kepada rakyat.  

Narasi ini menciptakan semacam musuh bersama yang digunakan untuk menggalang dukungan dari kalangan pemilih yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan penguasa. 

Sekarang, Megawati tampaknya mengulang strategi yang sama. Dengan mengklaim ada ancaman terhadap PDIP dari pihak luar, ia tampak berusaha memposisikan partainya sebagai korban ancaman eksternal, sebuah teknik yang ia gunakan secara efektif sebelum Pemilu 2014 ketika PDIP belum menjadi penguasa. 

Salah satu alasan mengapa Megawati terus menggunakan narasi ini bisa dikaitkan dengan strategi mempertahankan identitas politik PDIP sebagai partai perjuangan, partai yang lahir dari sejarah panjang perlawanan terhadap ketidakadilan. Dengan menciptakan musuh bersama—yang bisa berupa “pihak yang ingin mengambil alih PDIP”—ia menjaga ingatan kolektif pendukung partai akan narasi perjuangan masa lalu, yang dianggap penting untuk memelihara daya juang dan kohesi internal partai. 

Efek psikologis dari narasi ini juga bisa jadi sangat signifikan, terutama dalam politik Indonesia yang masih sangat dipengaruhi oleh ikatan emosional terhadap pemimpin dan sejarah partai. Para pendukung PDIP yang masih terhubung secara emosional dengan masa-masa sulit partai ini di masa lalu akan cenderung merespons pernyataan Megawati dengan loyalitas yang lebih tinggi dan militansi yang lebih kuat. Mereka akan merasa perlu untuk “melindungi” partai dari ancaman yang ia sebutkan, meskipun ancaman tersebut mungkin tidak sepenuhnya nyata atau jelas. 

Dengan demikian, gaya narasi politik yang digunakan Megawati dalam pernyataannya kemarin dapat dilihat sebagai kelanjutan dari pola komunikasi yang ia gunakan sebelum PDIP menjadi partai penguasa. Di satu sisi, hal ini pun layak jadi semacam sinyal bahwa di umurnya yang mencapai 77 tahun, ia masih memiliki tekad yang kuat untuk tetap berpolitik.  

Namun, sebelum menutup tulisan ini, penting untuk diingat bahwa semua hal yang disebutkan di atas hanyalah asumsi akademis belaka. Yang jelas, sangat menarik untuk kita lihat dinamika politik PDIP di tahun-tahun mendatang. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia?