Site icon PinterPolitik.com

Megawati, Jokowi, dan Balada Frankenstein 

Pilpres 2024: Pertarungan Jokowi Melawan Megawati

Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. (Foto: RMOL)

Dengarkan artikel berikut

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/08/peringatan-darurat-dua.mp3

Panasnya dinamika politik saat ini merupakan akumulasi tensi politik para elite yang terjadi sejak lama. Bagaimana kita bisa mengambil makna dari fenomena ini? 


PinterPolitik.com 

Peringatan darurat. Dua kata dengan latar belakang biru tua ini memenuhi seluruh platform media sosial di Indonesia dari Rabu (21/8) malam hingga Kamis (22/8). Mulai dari orang biasa, selebriti, hingga opinion leader sekelas Najwa Shihab turut menyebarkannya. 

Namun, di tengah amarah publik yang jelas terasa, muncul beberapa pertanyaan kritis di media sosial tentang siapa yang paling “bersalah” dalam persoalan politik terkini. Secara mayoritas, banyak yang mengatribusikan kesalahan tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, ada juga pandangan menarik bahwa dari perspektif yang lebih luas, konflik politik yang terjadi belakangan ini adalah “chain reaction” dari perseteruan personal antara dua kubu, yaitu PDIP dan Jokowi. 

Pandangan di atas bukan tanpa alasan, karena jika kita melihat ke belakang, narasi yang paling kencang berhembus jelang Pemilihan Kepala Daerah 2024 (Pilkada 2024) adalah PDIP dicurigai hendak dikucilkan oleh koalisi pendukung pemerintahan Jokowi.  

Hal tersebut kemudian berujung pada pembentukan koalisi gemuk yang membuat PDIP tidak bisa mengusulkan calon di beberapa daerah. Kecurigaan ini juga bahkan disebut beberapa sumber berkaitan dengan upaya pencalonan kepala daerah di bawah umur 30 tahun. 

Menariknya, kecurigaan ini sejatinya sudah muncul bahkan sebelum pelaksanaan Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Dan jika benar dinamika belakangan ini memang berakar dari tensi kedua kubu tersebut, maka ironi semakin terasa jika kita melihat animo masyarakat yang terbentuk dalam dua hari terakhir ini. 

Menarik kemudian untuk dipertanyakan, bagaimana kita melihat relevansi hubungan PDIP-Jokowi dengan meningkatnya tensi politik dalam negeri dalam dua hari terakhir ini? 

The Modern Prometheus” 

“Semua tergerak karena nuraninya dan tentunya untuk menyelamatkan demokrasi” ucap Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum (Ketum) PDIP pada hari Kamis ini, sebagai respons atas aksi massa yang terjadi di depan Gedung DPR. 

Pernyataan Megawati di atas menyusul sejumlah narasi yang muncul di media sosial bahwa PDIP tengah menjadi benteng terakhir atas dugaan “pencederaan demokrasi” yang terjadi belakangan ini. 

“Anak-anak muda patriotik turun ke jalan, selamatkan konstitusi, selamatkan demokrasi” ucap Masinton Pasaribu, politisi senior PDIP, yang juga sebelumnya menanggapi aksi “Peringatan Darurat”. 

Ya, kondisi politik saat ini tidak dipungkiri bahwa PDIP memiliki kondisi yang tepat untuk menjadi pejuang terakhir melawan rezim. Namun, pendapat dari Saiful Anam, Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam pada 12 April 2024 menarik untuk kita jadikan perenungan. 

Saiful mengatakan bahwa kendati Jokowi jadi perhatian pertama saat ini, dalam pandangan retrospektif, Megawati dan PDIP pun perlu disalahkan karena jadi pihak terkuat yang selama 10 tahun terakhir telah “meninabobokan” Jokowi dengan memberikan pembelaan mati-matian. 

“Harusnya itu dilakukan sejak dulu, untuk melakukan check and balances kepada pemerintahan Jokowi” kata Saiful. Pandangan ini pun jadi menarik mengingat perselisihan antara PDIP dan Jokowi baru memanas setidaknya sejak 2 tahun terakhir. 

Fenomena ini mengingatkan pada kisah klasik Frankenstein karya Mary Shelley, di mana seorang ilmuwan bernama Dokter Frankenstein menciptakan makhluk hidup yang pada akhirnya lepas kendali dan menimbulkan masalah besar. Analogi ini sekiranya cukup relevan dalam menggambarkan situasi politik saat ini, di mana Jokowi bisa dianggap sebagai “ciptaan” PDIP yang kini menimbulkan tantangan yang tak terduga bagi partainya sendiri. 

Dalam novel Frankenstein, Dokter Frankenstein menciptakan sebuah manusia buatan dari berbagai bagian tubuh manusia, dengan harapan menciptakan sesuatu yang luar biasa. Namun, ciptaannya ternyata tidak sesuai dengan harapan, dan ia gagal mengendalikannya. Manusia buatan tersebut, yang awalnya hanya ingin diterima, kemudian berubah menjadi ancaman karena merasa diabaikan dan tidak diinginkan. 

Menariknya, jika kita menganalisis siapa yang paling salah dalam novel Frankenstein, tentu makhluk buatan Dokter Frankenstein bukan satu-satunya yang perlu disalahkan, tetapi jika ingin adil, kita pun perlu mempertanyakan sikap sang Dokter yang dari awal cenderung membiarkan dan bahkan mungkin menginginkan ciptaannya bertindak bebas. 

Ironisnya, cerita fiksi ini bisa membuat kita sedikit merenung dengan melihat kondisi antara PDIP dan Jokowi serta dampaknya pada perpolitikan Indonesia. Jika hal ini memang benar, sayangnya ia telah berkembang menjadi konflik terbuka yang menyebabkan fragmentasi politik di tingkat nasional. Demonstrasi besar yang terjadi di depan DPR adalah salah satu manifestasi dari ketegangan ini.  

Menarik untuk dicatat bahwa dalam analogi ini, tanggung jawab atas situasi yang memanas tidak hanya terletak pada Jokowi sebagai ciptaan yang lepas kendali, tetapi juga pada PDIP sebagai pencipta yang gagal mengendalikan ciptaannya. Ketidakmampuan PDIP untuk membimbing kader terbaiknya tersebut sesuai dengan asas kepemimpinan yang benar lantas mampu menjadi setitik testimoni atas melemahnya upaya menjaga idealisme partai. 

Maka dari itu, kita pun pantas pertimbangkan lebih lanjut, bagaimana hubungan yang seperti ini berdampak pada dinamika tensi politik MK dan DPR ke depannya? 

Jadi Preseden Waspada Tunggangan Politik? 

Menarik untuk mengingat pernyataan Socrates, filsuf legendaris dari Yunani kuno, yang pernah mengatakan, “semua peperangan yang pernah terjadi dilakukan demi uang.” Pepatah ini mengandung makna bahwa peperangan, baik dalam konteks militer maupun politik, tidak akan terjadi jika tidak ada pihak yang merasa perlu mengejar kepentingan dan keuntungan material atau kekuasaan. 

Dalam konteks dinamika politik saat ini, pernyataan Socrates tersebut sepertinya relevan sebagai filter untuk memahami bahwa selama ada pihak yang merasa dirugikan secara politik, kemungkinan untuk memanfaatkan situasi politik akan tetap ada. Andrea Ruggeri, dalam tulisannya “Emotions, Ideologies, and Violent Political Mobilization,” mengingatkan kita tentang hal ini melalui teori mobilisasi emosi. 

Teori mobilisasi emosi menekankan bagaimana emosi kolektif dapat dimobilisasi untuk membentuk gerakan sosial yang kuat dan berpengaruh. Mobilisasi emosi adalah proses di mana emosi individu diubah menjadi emosi kolektif yang kuat dan memotivasi tindakan bersama. Emosi seperti kemarahan, ketidakadilan, dan ketakutan sering kali menjadi pendorong utama dalam gerakan sosial. 

Menurut Ruggeri, mobilisasi emosi sering kali terjadi saat ada gejolak sosial dan politik karena pada momen-momen ini opini publik lebih mudah dibentuk. Dalam kasus demonstrasi di DPR, kemarahan publik dipicu oleh keputusan DPR yang dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah, sehingga perlu diwaspadai. 

Oleh karena itu, di tengah suasana emosional politik saat ini, penting untuk tidak melupakan permainan politik yang menjadi latar belakangnya. Persoalan di DPR dan MK memang memerlukan kewaspadaan terhadap demokrasi, namun masalah-masalah tersebut mungkin dapat dihindari jika para elit tidak terlibat dalam konflik pribadi satu sama lain. 

Pada akhirnya, semoga selama masa-masa kritis ini, kita bisa menghindari situasi yang tidak diinginkan. Harapan besar kita adalah agar dinamika politik berbahaya seperti ini dapat dicegah dalam pemerintahan yang baru. (D74) 

Exit mobile version