Dengarkan artikel berikut
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belakangan menghadapi dinamika yang cukup memberatkan. Kira-kira bagaimana Partai Banteng Moncong Putih akan menjadikan ini sebagai pelajaran untuk langkah-langkahnya ke depan?
Akhir tahun 2024 tampak menjadi momen yang cukup berat bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bagaimana tidak, Sekretaris Jenderal mereka selama 10 tahun, Hasto Kristiyanto, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa, 24 Desember 2024.
Menariknya, kasus yang menimpa Hasto bukanlah “penderitaan” pertama yang dialami PDIP pada tahun 2024. Sebelumnya, Partai Banteng Moncong Putih ini juga harus menelan kepahitan setelah “jagoan”-nya kalah di Pilpres 2024, dan dilanjutkan kekalahan di wilayah-wilayah yang selama ini jadi lumbung suara mereka di Pilkada 2024, seperti di Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Secara langsung ataupun tidak langsung, hal-hal ini disinyalir terjadi akibat kaitannya dengan posisi politik yang diambil PDIP saat ini. Sejak sebelum penyelenggaraan Pilpres 2024, PDIP memang sudah mengambil posisi sebagai “lawan” dari pihak petahana, khususnya Jokowi. Posisi ini lantas membuat partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu secara alamiah terus mengambil posisi yang berlawanan dari apa yang dikaitkan dengan keputusan Jokowi dan loyalis-loyalisnya.
Pertanyaan menarik selanjutnya adalah, mungkinkah kondisi tidak mengenakkan yang dialami PDIP saat ini sebetulnya bisa dihindari bila Megawati bertindak lebih “lembut” terhadap Jokowi?
PDIP Sebetulnya Hampir “Aman”?
Dibandingkan dengan partai-partai politik negara lain, partai politik di Indonesia mungkin memiliki ciri khasnya sendiri, terutama partai besar yang memiliki figur dominan seperti Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan tentu, PDIP.
Jika kita perhatikan, semua partai ini memiliki satu kesamaan, yakni memiliki logika individu yang bisa dikatakan lebih kuat dari logika organisasi dalam segala keputusan yang dilakukannya. Singkatnya, formulasi keputusan partai-partai ini di dalamnya sangat ditentukan oleh pertimbangan dan keputusan dari ketua umumnya secara individual. Jika di Gerindra, suara Prabowo Subianto dianggap memiliki bobot yang paling tinggi, begitu juga suara Surya Paloh di Nasdem, dan suara Megawati di PDIP.
Kondisi yang demikian jadi sangat menarik jika kita melihat riwayat gestur politik yang ditunjukkan sejumlah elite PDIP dalam beberapa waktu ke belakang. Sebagai contoh, Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, yang juga anak kandung Megawati, justru beberapa bulan terakhir memperlihatkan gestur yang relatif lebih lembut kepada Jokowi dan pemerintahan Prabowo. Seperti ketika ia bertemu dengan Prabowo saat HUT Golkar, 12 Desember silam.
Tidak hanya Puan, elite PDIP lainnya seperti Bambang “Pacul” Wuryanto, juga sebetulnya menunjukkan gelagat yang cukup baik dengan Prabowo dan Jokowi. Ketika ditanya wartawan soal pertemuan Prabowo dan Jokowi pada 9 Oktober lalu contohnya, Bambang menjawab bahwa hal itu adalah pertemuan biasa saja. Bambang pun memiliki catatan unik tersendiri karena jadi salah satu elite PDIP yang hampir tidak pernah menyerang Jokowi secara langsung.
Hal-hal di atas lantas mengindikasikan bahwa sebetulnya PDIP mungkin sempat memiliki agenda untuk merajut hubungan dengan Jokowi dan memulai awal yang lebih baik dengan pemerintahan baru Prabowo.
Namun, jika kita melihat indikasi di lapangan, agenda tersebut sepertinya tidak jadi sepenuhnya dijalankan, kini, bahkan sebelum penetapan Hasto sebagai tersangka, PDIP justru semakin keras melempar kritik terhadap Jokowi. Apakah itu semua merupakan arahan dari Megawati? Well, kalau kita mengacu ke ciri khas idiosinkratisme partai politik yang sedikit sudah dibahas di atas, jawabannya, bisa saja.
Jika spekulasi ini benar, tentu pertanyaannya adalah, apa yang membuat PDIP tetap merasa perlu ber-oposisi, apakah ada kalkulasi politik yang ciamik di belakangnya, atau jangan-jangan ini hanya karena PDIP, atau tepatnya Megawati, murni merasa perlu berseberangan dengan Jokowi? Tidak ada yang tahu.
Kendati demikian, kalau internal PDIP saat ini merasa perlu ada perubahan besar, maka sebetulnya ada kemungkinan Megawati di momen ini akan mengikuti hal tersebut. Kira-kira, apa alasannya?
PDIP dan “Bounded Reality”
Dalam konteks politik Indonesia, keputusan strategis sering kali diambil dalam kondisi penuh tekanan dan keterbatasan, baik dari segi informasi, waktu, maupun kapasitas untuk memprediksi dampak jangka panjang. Teori bounded rationality (rasionalitas terbatas) yang dikembangkan oleh Herbert Simon menawarkan kerangka kerja untuk memahami bagaimana keputusan diambil dalam situasi seperti ini, termasuk potensi langkah Megawati untuk mengubah posisi politik PDIP.
Bounded rationality menjelaskan bahwa manusia, termasuk aktor politik, tidak selalu mampu membuat keputusan yang sepenuhnya rasional karena keterbatasan informasi, kapasitas kognitif, dan waktu. Alih-alih mencari solusi optimal, manusia cenderung membuat keputusan yang “cukup baik” atau satisficing untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam politik, teori ini relevan karena sering kali pemimpin harus mengambil keputusan di tengah tekanan besar dan ketidakpastian, seperti yang dihadapi PDIP saat ini.
Lantas, bagaimana hal ini akan mempengaruhi pengambilan keputusan Megawati?
Pertama, keterbatasan informasi menjadi faktor utama. Meskipun PDIP memiliki jaringan yang luas, mereka tidak mungkin memiliki akses lengkap ke seluruh dinamika kekuasaan yang terjadi di pemerintahan Prabowo. Dalam ketidakpastian ini, keputusan untuk tetap konfrontatif menghadirkan risiko yang tinggi. Dengan bounded rationality, Megawati kemungkinan akan memilih untuk mengurangi risiko tersebut dengan membuka peluang dialog atau kompromi demi menjaga stabilitas partai.
Kedua, waktu menjadi kendala. PDIP menghadapi ancaman elektoral dalam pemilu berikutnya, khususnya di wilayah-wilayah yang dikalahkan Koalisi Indonesia Maju, yang berarti mereka harus segera memperbaiki citra mereka di mata publik. Pendekatan yang lebih lembut dan kompromistis dapat membantu meredakan ketegangan politik dan mengurangi serangan hukum atau opini publik yang merugikan. Dengan waktu yang terbatas untuk menyusun strategi yang optimal, langkah pragmatis ini mungkin dianggap cukup untuk menenangkan situasi.
Ketiga, bounded rationality menjelaskan bahwa dalam situasi tekanan tinggi, individu sering kali mengambil keputusan yang tidak sepenuhnya optimal, tetapi memadai untuk kebutuhan jangka pendek. Dalam hal ini, Megawati mungkin akan mengadopsi strategi “satisficing” dengan membuat konsesi tertentu kepada pemerintahan Prabowo sambil tetap mempertahankan narasi partai sebagai penyeimbang kekuasaan.
Dan sejujurnya, hal ini mulai terlihat di dunia nyata. Pada hari Selasa minggu ini misalnya, muncul berita bahwa PDIP akhirnya menyetujui keputusan PPN 12% yang akan dilakukan pemerintahan Prabowo.
Dalam situasi ini, teori bounded rationality menunjukkan bahwa langkah pragmatis lebih mungkin diambil daripada mempertahankan posisi ideologis yang keras. Dengan mengubah sikap politik PDIP menjadi lebih lembut, Megawati dapat mengurangi tekanan yang dihadapi partai dan melindungi kepentingan jangka panjangnya. Langkah ini mungkin tidak sepenuhnya ideal dari sudut pandang loyalis PDIP, tetapi cukup untuk menjaga stabilitas politik partai dalam lanskap politik yang terus berubah.
Namun, tentu pada akhirnya perlu dipahami bahwa ini semua hanyalah spekulasi belaka. Yang jelas, dinamika terkait posisi politik PDIP dalam beberapa waktu dekat ini akan semakin menarik untuk disimak. (D74)