Puan Maharani terus didorong PDIP untuk menjadi kandidat di Pilpres 2024. Namun, jika elektabilitas Puan stagnan, mungkinkah Megawati akan menggantinya dengan Mohammad Rizky Pratama atau Tatam?
Bagi penikmat dinamika politik, pasti akrab dengan frasa “Kepak Sayap Kebhinekaan”. Itu adalah frasa yang terpampang dalam baliho Ketua DPR Puan Maharani. Meskipun tidak pernah diakui secara eksplisit, mudah menyimpulkannya sebagai upaya mendorong Puan maju di Pilpres 2024.
Seperti yang telah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Operasi Intelijen di Balik Baliho Puan, tebaran baliho itu adalah upaya infiltrasi wajah Puan ke tengah masyarakat. Sedikit mengulang, tebaran baliho bukan dimaksudkan untuk menaikkan elektabilitas, melainkan untuk meningkatkan popularitas sang Ketua DPR.
Well, terlepas dari tebaran baliho itu diniatkan untuk apa, yang jelas, elektabilitas merupakan variabel penting yang diperhitungkan partai politik untuk mengusung capres. Ini misalnya terlihat dari fenomena yang dijelaskan Leo Suryadinata dalam tulisannya Golkar’s Leadership and the Indonesian President.
Terangnya, berbagai petinggi PDIP sebenarnya tidak begitu menyukai Joko Widodo (Jokowi), tetapi Megawati Soekarnoputri tetap mengusungnya pada Pilpres 2014 karena elektabilitasnya yang tinggi. Sebagai pemegang hak veto partai banteng, konteks ini menunjukkan Megawati tengah berlaku rasional.
Ini pula yang disebutkan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, ketika mengomentari siapa yang akan diusung PDIP di Pilpres 2024. Menurutnya, PDIP merupakan partai rasional yang melihat dan membaca realitas elektabilitas, tren, serta kemungkinan terbesar kemenangan.
Lantas, mengacu pada penegasan Pangi Syarwi, jika nantinya elektabilitas Puan Maharani tetap rendah, apakah Megawati akan menggantinya dengan sosok lain?
Tatam adalah Alternatif?
Melihat hamparan pemberitaan, mudah menebak bahwa berbagai pihak akan menyebut Megawati bisa saja menggantikan Puan dengan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo. Komentar seperti ini mudah ditemukan dalam berbagai unggahan infografis PinterPolitik di Instagram. Warganet menilai serangan atas Ganjar merupakan drama politik untuk meningkatkan popularitas, dan pada ujungnya akan diusung PDIP.
Namun, berdasarkan informasi yang dihimpun oleh tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik, serta memetakan gestur-gestur terkini elite PDIP, anggapan semacam itu dapat dikatakan keliru. Faktanya, memang terjadi friksi internal yang tajam antara pendukung Ganjar dan Puan Maharani.
Keluarnya elite PDIP seperti Trimedya Panjaitan dan Bambang Wuryanto untuk mengkritik Ganjar secara terbuka juga semakin menegaskan ketegangan itu nyata adanya.
Lantas, jika demikian kondisinya, situasi PDIP dapat dikatakan sangat menarik saat ini. Dengan dicoretnya nama Ganjar, siapa yang dapat didorong Megawati jika kalkulasi politik menunjukkan Puan sulit untuk menang?
Pengamat politik Hendri Satrio (Hensat) memiliki pandangan menarik yang dapat direnungkan. Dalam rangka menanggapi sosok pengganti Megawati sebagai Ketua Umum PDIP, Hensat menilai putra sulung Megawati, yakni Mohammad Rizky Pratama atau Tatam dapat menjadi alternatif.
Menurutnya, dengan kemiripan wajah Tatam dengan Soekarno, sosoknya dapat menjadi solusi jika terjadi deadlock antara kubu Puan dengan kubu Muhammad Prananda Prabowo.
Nah, di sini konteksnya menjadi menarik. Mengutip Hensat, jika Tatam dapat menjadi alternatif Ketua Umum PDIP, mungkinkah Tatam juga dapat menjadi alternatif capres partai banteng di Pilpres 2024?
Pesona Soekarno Masih Kuat
Kata kunci atas hipotesis itu adalah pernyataan Hensat yang menyebut wajah Tatam mirip dengan Soekarno. Melihat fotonya, memang harus diakui bahwa sosok Soekarno tua terlihat hadir dalam diri Tatam. Atas kemiripan ini, PDIP dapat menjalankan strategi branding atau marketing politik untuk menarasikan Tatam adalah the next Soekarno. Seperti yang diketahui, telah lama Soekarno menjadi sosok yang dikultuskan. Tidak hanya oleh PDIP, melainkan juga banyak masyarakat Indonesia.
Xavier Marquez dalam tulisannya A Model of Cults of Personality menyebut pengkultusan sosok ini sebagai flattery inflation atau inflasi pujian. Ketika suatu sosok dikultuskan, terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan pujian atau sanjungan secara berlebihan.
Budayawan Hilman Farid menyebut sosok Soekarno banyak dikultuskan karena konsep, gagasan, dan pemikirannya dianggap masih relevan hingga saat ini. Salah satunya adalah konsep Trisakti, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Konsep ini juga kerap dikutip oleh Presiden Jokowi.
Kemudian, sosok Soekarno juga menjadi representasi nasionalisme yang kuat. Konteks itu sangat penting, karena menurut Erhard Eppler dalam bukunya The Return of the State?, pesatnya globalisasi yang meningkatkan kesenjangan ekonomi telah membangkitkan kesadaran atas pentingnya nasionalisme.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah, berhasilkah strategi menarasikan Tatam sebagai the next Soekarno?
Mungkinkah Berhasil?
Di titik ini, khususnya kaum terpelajar perkotaan mungkin memandang sinis narasi semacam itu. Dalam benak banyak pihak akan mengatakan, “sudah bukan zamannya lagi mengkultuskan sosok tertentu”. Pernyataan semacam ini tidak salah, namun tidak tepat.
Untuk menilai tingkat keberhasilan strategi itu, kita perlu mengetahui bagaimana kondisi psikologis pemilih di Indonesia. Nyimas Latifah dalam tulisannya Peran Marketing dalam Dunia Politik, menyebut ada empat tipe pemilih di Indonesia, yakni pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, dan pemilih skeptis. Menurutnya, pemilih tradisional merupakan pemilih mayoritas di Indonesia.
Kelompok pemilih ini lebih mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai indikator untuk calon pemimpin dan partai politik. Biasanya mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sehingga lebih mudah dimobilisasi.
Kemudian, menurut M. Arief Virgy dalam tulisannya Perburuan Rente Hantui Pilkada?, alasan masyarakat sulit bertindak sebagai pemilih rasional adalah, karena mereka masih berkutat pada masalah ekonomi. Akibatnya, daripada memilih pemimpin secara objektif dan komprehensif, kebanyakan pemilih melakukan tindakan pragmatis dengan menerima politik uang atau memilih berdasarkan kesukaan (selera).
Nah, dominasi pemilih tradisional pragmatis adalah kunci keberhasilan menarasikan Tatam sebagai the next Soekarno. Situasi ekonomi global yang tak menentu akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina merupakan bahan baku yang mudah dibakar untuk membakar semangat nasionalisme ekonomi.
Pada konteks itu, menarasikan Tatam sebagai pembawa semangat berdikari ekonomi Soekarno adalah pilihan yang sangat masuk akal.
Terlebih lagi, seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, PAN Tolak Usung Airlangga?, PDIP memiliki pengalaman sukses menaikkan drastis popularitas dan elektabilitas Ganjar Pranowo hanya dalam waktu tujuh bulan pada Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2013. Ketika diusung PDIP, popularitas Ganjar hanya 6,3 persen. Jauh tertinggal dari pesaingnya, Bibit Waluyo, yang memiliki popularitas sebesar 77 persen.
Dan yang utama, seperti yang telah diulas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Operasi Intelijen di Balik Pilpres 2024, persepsi-persepsi politik, seperti popularitas dan elektabilitas sebenarnya adalah buah dari strategi pemenangan. Itu adalah operasi penggalangan intelijen yang disebut dengan cipta kondisi.
Artinya, dengan modal memiliki wajah yang mirip Soekarno dan kondisi ketidakpastian ekonomi global, mesin pemenangan PDIP akan mudah menarasikan Tatam sebagai Soekarno baru yang dapat membawa dan menjadi harapan bagi masyarakat luas.
Well, sebagai penutup, kira-kira demikian strategi pemenangan yang dapat dilakukan PDIP jika Megawati benar-benar mengganti Puan dengan Tatam di Pilpres 2024. Sekarang tentu pertanyaannya pada Puan. Apakah elektabilitasnya dapat naik, atau justru berjalan stagnan seperti sekarang. Kita lihat saja. (R53)