Jauh sebelum Kamala Harris dinyatakan sebagai wakil presiden perempuan pertama Amerika Serikat (AS), beredar rumor yang menyebut bahwa negeri Paman Sam tersebut sebenarnya pernah dipimpin secara de facto oleh seorang perempuan. Namun begitu, secara resmi AS memang belum pernah memiliki presiden perempuan. Apa sebenarnya yang menyebabkan perempuan sulit mendapatkan posisi politik tertinggi di negara demokrasi terbesar ini?
“While I might be the first woman in this office, I won’t be the last” – Kamala Harris, Wakil Presiden Terpilih AS
Kemenangan presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden atas calon petahana Donald Trump pada Pilpres yang digelar November lalu digadang-gadang mencetak sejarah baru bagi negeri Paman Sam tersebut. Bukan karena sosok sang presiden terpilih, melainkan karena pendampingnya, Kamala Harris.
Bagaimana tidak? Harris memang merupakan sosok yang merepresentasikan tiga golongan minoritas sekaligus, yakni perempuan, kulit hitam, dan imigran pertama yang berhasil menduduki kursi tertinggi kedua di Washington DC. Dalam pidato kemenangannya, Harris sendiri menyebut bahwa pencapaiannya ini merupakan bukti bahwa AS merupakan “negeri akan segala kemungkinan”.
Kendati belum pernah dipimpin oleh seorang perempuan secara resmi selama tiga abad setelah kemerdekaannya, namun sebuah rumor menyebutkan bahwa AS secara de facto sebenarnya pernah memiliki kepala negara perempuan. Ini terjadi di masa kepemimpinan Presiden Woodrow Wilson pada tahun 1919.
Disebutkan saat itu, Presiden Wilson yang menderita penyakit stroke secara diam-diam ‘mentransfer’ wewenang presiden kepada istrinya, Edith Wilson. Padahal saat itu Ia memiliki seorang Wakil Presiden yang dapat menggantikan posisinya.
Meski klaim ini masih menimbulkan perdebatan, namun rumor tersebut dilandasi pada fakta bahwa Edith Wilson kerap mengambil keputusan eksekutif selama suaminya menderita lumpuh akibat penyakit yang dideritanya.
Sekalipun Edith Wilson memang bisa dianggap sebagai kepala negara perempuan pertama AS secara de facto, namun tak dapat dipungkiri Ia bukanlah Presiden yang dipilih melalui mekanisme pemilu. Fakta ini kemudian tetap menyisakan pertanyaan mengapa di negara demokrasi sebesar AS, peluang bagi seorang perempuan untuk tampil sebagai pemimpin negara begitu sulit untuk terwujud. Padahal di sejumlah negara demokrasi yang jauh lebih muda, seperti Indonesia saja, seorang perempuan, yakni Megawati Soekarnoputri sudah pernah duduk sebagai kepala negara.
Lantas pertanyaannya, apa sebenarnya yang menyebabkan sulitnya seorang perempuan untuk menjadi Presiden AS? Apakah ini bisa dianggap sebagai bukti bahwa demokrasi di Indonesia sudah jauh lebih matang ketimbang AS?
Persoalan Persepsi
Narasi untuk menempatkan seorang perempuan sebagai presiden merupakan diskursus yang telah lama diperdebatkan di AS. Sejumlah pakar politik, mencoba menemukan jawaban mengapa posisi itu sangat sulit diduduki oleh seorang perempuan.
Charlotte Alter dalam tulisannya di Time menduga bahwa sistem politik AS sendiri yang sebenarnya menjadi barrier bagi perempuan untuk dapat duduk di kursi pimpinan tertinggi negara.
Charlotte mengatakan seorang pemimpin perempuan akan lebih mudah terpilih di negara yang menganut sistem parlementer. Hal ini dikarenakan sistem parlementer memungkinkan partai politik untuk lebih sengaja memajukan pemimpin perempuan; beberapa bahkan memiliki kuota tentang jumlah kursi yang disediakan untuk perempuan.
Selain faktor sistem pemerintahan, kondisi sosial dalam mengkonstruksi gender juga bisa jadi penyebab mengapa di AS hingga hari ini belum memiliki pemimpin perempuan.
Erika Falk dalam bukunya yang bertajuk Women for President menganalisis bias gender dalam pemberitaan media ketika memberitakan mengenai sejumlah capres perempuan, mulai dari Woodhull, Belva Lockwood, Margaret Chase Smith, hingga Carol Moseley Braun.
Menurutnya, pers menggambarkan kandidat perempuan sebagai sosok yang tak bergairah, tidak natural, tak berkompeten, dan sering kali mengabaikan atau meremehkan perempuan ketimbang melaporkan gagasan dan tujuan mereka. Perbandingan kampanye laki-laki dan perempuan ini menunjukkan kekhawatiran akan tren seksisme dalam pemberitaan media.
Indonesia Lebih Baik?
Dalam konteks nasional, meski Megawati telah diakui sebagai presiden perempuan pertama Indonesia, namun tak dapat dipungkiri terpilihnya putri Presiden Soekarno sebagai kepala negara lebih disebabkan karena adanya gonjang-ganjing politik kala itu.
Megawati dilantik menjadi presiden setelah mendapatkan voting terbanyak yang kala itu masih dilakukan oleh MPR. Pemilu dadakan ini dilakukan setelah lembaga tertinggi negara itu memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena mengeluarkan dekrit pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dianggap bertentangan dengan hukum oleh Mahkamah Agung (MA).
Faktanya, sebelum dipilih menggantikan Gus Dur, Mega sebenarnya sempat gagal menjadi presiden, meski saat itu PDIP menjadi partai pemenang pemilu setelah meraih sekitar 36 juta suara atau hampir 34 persen.
Kekalahan Mega dari Gus Dur ini disebut-sebut terjadi lantaran ada sejumlah partai, yang tergabung dalam poros tengah di parlemen tak setuju Ia menjadi presiden karena alasan gender.
Setelah Indonesia menerapkan pemilu langsung secara penuh, peluang Mega untuk kembali terpilih menjadi presiden pun justru semakin tertutup. Ia kalah dua kali berturut-turut dari kandidat laki-laki yang kala itu masih terbilang baru di dunia politik, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Meski ada banyak faktor yang mungkin saja menyebabkan Mega gagal mempertahankan posisinya, namun alasan gender bisa saja menjadi salah satunya.
Shriley M. Rosenwasser dan Jana Seale dalam tulisan mereka yang berjudul Attitudes Toward a Hypothetical Male or Female Presidential Candidate mengatakan bahwa kualitas ‘maskulin’ dianggap lebih dibutuhkan dalam tugas kepresidenan, ketimbang kualitas ‘feminin’.
Pendapat keduanya kemudian diafirmasi lagi oleh riset yang dilakukan Sally White dan Edward Aspinall pada 2019 lalu. Mereka menyebut bahwa ada hambatan sosial sistemik berupa keyakinan sebagian besar orang Indonesia terhadap nilai-nilai patriarkis yang mendalam dan menghalangi kandidat perempuan secara signifikan.
Berangkat dari studi-studi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa demokrasi Indonesia dalam konteks kesetaraan gender sebenarnya tidaklah lebih baik dari AS. Sebaliknya, perempuan di kedua negara ini dihadapi pada persoalan yang tidak jauh berbeda, yakni persepsi publik terhadap kualitas kepemimpinan seorang perempuan.
Lantas pertanyaan besarnya, apa sebenarnya akar permasalahan yang menyebabkan persepsi tersebut mengakar di masyarakat?
Faktor Neuroplasitas?
Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Homo Sapiens menyebut sebenarnya ada satu masa di mana manusia pernah hidup tanpa adanya hierarki hubungan. Pada masa itu, baik perempuan maupun laki-laki bahkan bebas berganti-ganti pasangan sesukanya.
Namun sejak memasuki masa Revolusi Agrikultur yang terjadi pada 10.000 tahun sebelum masehi, mulai muncul satu hierarki yang menjadi urusan tertinggi dalam semua masyarakat manusia, yakni hierarki gender, di mana manusia menggolongkan diri menjadi laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung memiliki kedudukan lebih baik.
Masyarakat patriarkal kemudian mengedukasi para laki-laki untuk berpikir dan bertindak dengan cara maskulin dan kaum perempuan untuk berpikir dan bertindak secara feminin. Masyarakat ini akan cenderung menghukum siapa pun yang berani melampaui batasan itu.
Disparitas peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan ini kemudian terus tereproduksi hingga hari ini. Hal tersebut tak bisa dilepaskan dari adanya faktor neuroplasitas yang dimiliki otak manusia.
Kendra Cherry dalam tulisannya yang berjudul How Experience Changes Brain Plasticity mengatakan bahwa neuroplasitas merupakan kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi sebagai hasil dari pengalaman. Penelitian modern menunjukkan bahwa otak terus menciptakan jalur saraf baru dan mengubah yang sudah ada untuk beradaptasi dengan pengalaman baru, mempelajari informasi baru, dan menciptakan ingatan baru.
Berangkat dari sini, maka bisa disimpulkan bahwa persepsi masyarakat terhadap keterbatasan perempuan dalam bidang-bidang tertentu merupakan hasil dari neuroplasitas yang dimiliki otak manusia. Manusia, yang semula hidup tanpa struktur yang hierarkis kemudian mulai beradaptasi untuk menerima perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang mulai berkembang sejak zaman Revolusi Agrikultur.
Kesimpulan tersebut, kemudian bisa dijadikan jawaban mengapa dalam masyarakat AS maupun Indonesia, peran perempuan dalam panggung politik menemui hambatan-hambatan yang sulit untuk disangkal.
Bagaimana pun, sekelumit ulasan ini merupakan analisis teoretis yang masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi, bukti bahwa dulu manusia pernah hidup tanpa bingkai hierarki gender merupakan temuan yang begitu menarik. Jika temuan tersebut benar, maka rasionalnya bukan tidak mungkin suatu saat nanti manusia bisa kembali hidup tanpa bingkai tersebut. Kembali kepada pidato Kamala Harris, meski Ia merupakan perempuan pertama yang berhasil meraih jabatan wapres terpilih AS, bisa saja Ia bukanlah yang terakhir. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.