Megawati Soekarnoputri menjadikan Pancasila sebagai ideologi PDIP. Bahkan, Megawati meminta mereka yang tidak mau berideologi Pancasila untuk keluar dari Indonesia. Mungkinkah Megawati tengah mengadopsi strategi intelijen politik yang dijalankan Operasi Khusus (Opsus) binaan Ali Moertopo?
Seperti yang telah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Andika dan Prabowo Terkenal karena Mitos?, ada semacam persepsi bersifat anomali di tengah masyarakat Indonesia. Menariknya, kendati terjadi trauma politik akibat dwifungsi ABRI di Orde Baru (Orba), masyarakat Indonesia justru mendambakan sosok pemimpin berlatar militer.
Ini dapat dilihat pada mencuatnya sosok berlatar militer di bursa capres 2024. Saat ini, ada Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang menjadi dambaan masyarakat dan elite politik untuk diusung di Pilpres 2024.
Pada objek politik lain, anomali persepsi juga terlihat pada diri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Telah sejak lama Megawati menjadi sosok frontal yang menyuarakan ideologi Pancasila. Saat ini, ia juga menjadi Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Megawati sampai meminta mereka yang tidak ingin berideologi Pancasila untuk keluar dari Indonesia.
Penekanan-penekanan itu menjadi menarik karena narasi keras mendorong Pancasila seperti itu adalah ciri khas rezim Soeharto, rezim yang memberikan Megawati trauma politik. Di bawah rezim Orde Baru, Soekarno yang merupakan Bapak Proklamasi harus menghabiskan hidupnya menjadi tahanan rumah. Peristiwa itu sampai menciptakan kesepakatan di keluarga Soekarno agar tidak lagi terlibat politik praktis.
Di titik ini, ada satu pertanyaan sederhana yang dapat diajukan. Kenapa Megawati seperti mengulang strategi politik Soeharto yang menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal?
Jika ingin menarik simpati masyarakat luas dan meningkatkan citra PDIP, kenapa Megawati tidak melakukan politik diferensiasi dengan Soeharto? Sebagai contoh, Megawati tetap menyuarakan Pancasila, tapi tidak terkesan seperti asas tunggal.
Rekayasa Politik Opsus
Kembali membahas anomali persepsi. Menariknya, tidak hanya soal mengangkat kembali Pancasila sebagai asas tunggal, Megawati juga sepertinya mengadopsi strategi intelijen politik yang dilakukan oleh Operasi Khusus (Opsus) binaan Letnan Jenderal TNI Ali Moertopo. Secara khusus, Megawati sepertinya tengah mengadopsi teori pendulum.
Salah satu agen intelijen binaan Jenderal TNI LB Moerdani, Marsekal Muda TNI Teddy Rusdy dalam bukunya Jenderal LB. Moerdani Generasi Jembatan TNI menjelaskan bahwa teori pendulum digunakan Orde Baru sebagai pedoman dalam melakukan rekayasa politik.
Pada Orde Baru (Orba), Pancasila dijadikan sebagai equilibrium point (titik keseimbangan). Ada kalanya negara ke kanan (Islam) atau ke kiri (sosialis), namun bola pendulum harus tetap ke equilibrium point, yakni Pancasila.
Mengelaborasinya dengan buku mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali yang berjudul Perjalanan Intelijen Santri, secara spesifik, frictionless point atau yang mengatur arah bola pendulum adalah Operasi Khusus yang dikomandoi oleh Ali Moertopo.
Mengelaborasinya dengan buku mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali yang berjudul Perjalanan Intelijen Santri, secara spesifik, frictionless point atau yang mengatur arah bola pendulum adalah Operasi Khusus yang dikomandoi oleh Ali Moertopo.
Rekayasa politik Opsus yang paling terkenal adalah fusi partai politik pada tahun 1973. Partai politik dilebur menjadi tiga, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan representasi Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang membawa nilai nasionalisme, dan Golongan Karya (Golkar) yang secara tersirat merupakan representasi kekuasaan Soeharto.
Tidak hanya melakukan fusi, menurut As’ad, Opsus bahkan melakukan rekayasa perolehan suara. Pada Pemilu 1977, misalnya, kemenangan PPP di Aceh dan Jakarta sebenarnya merupakan politik perimbangan dan penghibur agar mayoritas masyarakat yang beragama Islam merasa bangga bisa menguasai dua daerah prestisius tersebut.
Aris Santoso dalam tulisannya Jejak Ali Moertopo dalam Pilpres 2019 menjelaskan bahwa rekayasa politik Opsus juga dilakukan dengan cara mendiskreditkan partai pesaing Golkar. Menjelang pemilu, akan dibuat isu negatif untuk memberikan kesan buruk ke partai lain.
Dengan demikian, di Orde Baru, teori pendulum tampaknya tidak hanya digunakan untuk mengatur Pancasila sebagai titik keseimbangan, melainkan juga menempatkan Golkar sebagai pusat gravitasi politik.
Alhasil, karena fungsinya sebagai pusat gravitasi, untuk menduduki kursi kekuasaan, bergabung atau merapat ke Golkar merupakan suatu keniscayaan.
PDIP sebagai Gravitasi Politik
Nah, menariknya, rekayasa politik semacam itu tampaknya tengah dilakukan Megawati saat ini. Tidak hanya menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang tidak dapat diganggu gugat, Megawati juga menempatkan PDIP sebagai gravitasi politik.
Ada empat alasan di balik kesimpulan itu. Pertama, Megawati tampaknya menjadikan Pancasila sebagai tolak ukur kawan dan lawan politiknya. Partai atau politisi yang ingin merapat harus menyuarakan Pancasila.
Kedua, posisi PDIP saat ini berada di atas angin karena menjadi satu-satunya partai yang mampu mengusung capres-cawapres tanpa perlu berkoalisi. Ini membuat PDIP menjadi magnet kuat bagi siapa pun yang ingin maju di Pilpres 2024 ataupun sekadar ingin mendapat sokongan politik.
Ketiga, PDIP menempatkan dirinya sebagai kekuatan penentu. Ini terlihat dari pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ketika menegaskan PDIP tidak merasa ketinggalan dengan partai lain yang sudah bermanuver.
“Jadi justru kami yang menarik, tidak pernah meninggalkan, kami tidak pernah ditinggalkan,” ungkap Hasto pada 27 Mei 2022.
Keempat, berbagai pejabat elite terlihat mendekati Megawati dan PDIP untuk mendapatkan dukungan politik. Dua diantaranya adalah Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Laksamana TNI Yudo Margono.
Seperti yang telah diinterpretasi dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Dudung Tiru Manuver Gatot?, tidak seperti sangkaan banyak pihak, melesatnya karier militer Dudung dalam dua tahun terakhir ini bukan karena melawan Front Pembela Islam (FPI) atau menurunkan baliho Habib Rizieq Shihab (HSR) pada November 2020, melainkan karena meresmikan patung Presiden Soekarno di Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jawa Tengah Pada 7 Februari 2020.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri turut meresmikan patung itu. Menurut politisi PDIP Utut Adianto Wahyuwidayat, Dudung yang menginisiasi pembangunan patung Bung Karno di Akademi Militer membuat Megawati begitu terharu dan bahagia.
Menurut Utut, pembangunan patung tersebut memiliki makna yang dalam karena sebelumnya Bung Karno dipersepsikan bukan sebagai sahabat Angkatan Darat. “Saya lihat Ibu bukan hanya gembira, campur terharu lah, setelah sekian puluh tahun akhirnya bisa cair seperti itu,” ungkapnya pada 17 November 2021.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya 27 Juli 2020, Dudung dipromosikan menjadi Pangdam Jaya. Belum genap setahun menjabat, Dudung diangkat menjadi Pangkostrad pada 25 Mei 2021. Dan pada 17 November 2021 diangkat menjadi KSAD. Benar-benar karier yang luar biasa. Tidak heran kemudian berbagai pihak menyebut Dudung sebagai “anak emas Megawati”.
Jika interpretasi itu tepat, manuver Dudung tersebut tampaknya tengah diikuti Yudo saat ini. Pada 20 Juni 2022, bersama dengan Megawati, Yudo resmi menamakan kapal perang kecil (Korvet) bernama KRI Bung Karno-369. Seperti pernyataan Megawati, ini adalah kapal perang pertama Indonesia yang dinamai Bung Karno.
Sama dengan Dudung, jika hubungan Yudo dan PDIP kian dekat, bukan tidak mungkin itu menjadi modal berharga untuk menjadi Panglima TNI menggantikan Andika Perkasa.
Well, sebagai penutup, dapat dikatakan Megawati tengah mengadopsi teori pendulum yang digunakan Opsus binaan Ali Moertopo saat ini. Sebagai pusat gravitasi politik, Megawati menempatkan dirinya dan PDIP sebagai titik keseimbangan.
Saat ini, berbagai partai politik menanti keputusan politik Megawati terkait Pilpres 2024. Keputusan Megawati akan menentukan jumlah koalisi, siapa capres-cawapres yang maju, hingga peta kekuatan.
Seperti telah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, SBY-JK-Paloh Taklukkan Megawati?, tiga king maker, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla (JK), dan Surya Paloh disinyalir akan menyatukan kekuatan untuk melawan Megawati di Pemilu 2024 mendatang.
Terakhir, untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan, tentu jawabannya adalah kekuasaan dan pengaruh. (R53)