Sebagai media lintas batas, media sosial mampu menjadi kekuatan rakyat baru. Namun dibaliknya juga tersimpan ancaman. Bagaimana menyikapinya?
PinterPolitik.com
“Ketika Anda memberi semua orang suara dan memberikan rakyat kekuatan, biasanya sistem akan berjalan dengan sangat baik. Sehingga, kami melihat tugas kami sebagai pemberi kekuasaan pada rakyat.” ~ Mark Zuckerberg
[dropcap size=big]M[/dropcap]edia sosial (medsos) di Indonesia, tak hanya Facebook yang didirikan oleh Mark Zuckerberg, tapi juga platform lain seperti Twitter, Instagram, Path, dan banyak lagi, mulai semakin memperlihatkan taringnya dalam menggalang opini publik. Tak jarang, melalui jejaring dunia maya ini timbul pergerakan masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok yang hasilnya cukup mengejutkan.
Sayangnya, kemampuan media sosial yang diakui Zuckerberg sebagai kekuatan suara rakyat ini, lambat laun mulai dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan negatif. Salah satu yang kini menjadi ancaman bersama adalah ramainya berita bohong (hoax) yang bersliweran di dunia maya dan membentuk opini masyarakat, sehingga kerap menimbulkan pertentangan dan kebencian.
Pada peringatan Hari Pers Nasional ke-72 (9/2) lalu, Presiden Joko Widodo bahkan menyatakan kehadiran media sosial (medsos) memusingkan dirinya, terutama akibat banyaknya berita hoax. Permasalahan ini, akunya, bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. “Media mainstream itu bisa diajak bicara, tetapi kalau medsos siapa yang bisa pagari? Bukan Indonesia, tapi seluruh negara sama,” ujarnya.
Masalah hoax ini juga kembali dikeluhkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara pada acara pembukaan World Press Freedom Day (WPFD), di Jakarta, Selasa (2/5). Menurutnya, perlu upaya bersama melawan berita hoax, termasuk dari media massa. “Hoax ini muncul karena dari medsos. Bagi mereka kan yang penting kecepatan, akurasi tidak nomor satu,” ujarnya.
Bahkan, Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai melihat adanya ancaman penggunaan medsos oleh kelompok radikal dalam perekrutan dan pelatihan militer, serta penyebaran paham radikal di lingkungan pendidikan. Sayangnya, kelompok ini malah dimanfaatkan oleh elit politik untuk mendulang suara. “Elit politik sebenarnya bukan mendukung mereka, tapi menunggangi untuk meraih suara,” ujarnya, Senin (8/5).
Agen Perubahan Sosial
“Kekuatan media sosial adalah kemampuannya untuk mendorong perubahan-perubahan yang dibutuhkan.” ~ Erik Qualman
Untuk memahami mengapa medsos memiliki kekuatan seperti yang dikatakan Qualman di atas, mungkin kita bisa meminjam istilah Thomas L. Friedman dalam bukunya, The World is Flat : a Brief History of The Twenty First (2005). Kolumnis koran The New York Times ini telah memprediksikan bahwa pada masa depan, dunia tidak lagi bulat tapi berubah datar akibat konvergensi (integrasi dalam satu titik tujuan).
Menurut Friedman, dunia kini menyatu dalam satu ruang yang disebut internet (cyberspace). Medsos sebagai salah satu platform internet, mampu memberikan hak yang sama bagi tiap individu untuk berkontribusi dalam mengemukakan pendapat dan membangun ide, berkat terbukanya jalur komunikasi. Media ini juga mampu menampung diskusi yang melibatkan semua anggota, sehingga menjadi komunitas virtual yang tidak dibatasi oleh apapun.
Hadirnya medsos, pada akhirnya membentuk perilaku tersendiri dalam masyarakat. Dalam waktu relatif singkat, jejaring ini menjadi ruang raksasa yang menampung segala macam informasi, protes, dan kritik, hingga tuntutan revolusi dari masyarakat. Internet bukan lagi sekedar dunia maya, tetapi mentransformasi tuntutan tersebut ke dalam dunia nyata. Baik dalam bentuk apatisme terhadap politik, gerakan sosial, hingga tuntutan revolusi.
Dengan demikian, internet tidak hanya sekadar merevolusi cara manusia berelasi dan berkomunikasi yang menembus jarak, ruang, dan waktu, tetapi juga telah menciptakan satu bentuk masyarakat baru yaitu masyarakat virtual atau dengan istilah Benedict Anderson adalah komunitas imajiner yang dipersatukan oleh kesamaan ketertarikan, ideologi dan bahasa virtual melalui gerakan sosial menuju ke arah perubahan.
Kekuatan medsos untuk mendorong perubahan ini, juga yang telah dibuktikan oleh pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta baru yang akan dilantik Oktober depan. Walau Anies mengaku tidak menggunakan buzzer, tapi belakangan ketahuan juga kalau Anies-Sandi sebenarnya menggunakan tim digital yang gigih menggiring opini di medsos.
Koordinator Relawan Digital Anies-Sandiaga, Anthony Leong mengakui kalau medsos adalah teknologi di era digital yang sangat berperan penting dalam mengubah persepsi seseorang, serta menjadi sarana yang efektif dalam menjaring suara. Menurutnya, medsos juga sarana paling ampuh untuk berkampanye karena jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang dan didominasi pengguna aktif jejaring sosial.
Penggerak Kekuatan Massa
“Lima tahun lalu saya katakan, Jika Anda ingin memerdekakan suatu kaum, yang Anda butuh hanya internet. Sekarang, saya percaya jika untuk memerdekakan masyarakat, kita harus lebih dahulu memerdekakan internet.” ~ Wael Ghonim
Dalam revolusi politik yang terjadi di Mesir pada 2011 lalu, medsos berperan penting sebagai pembentuk opini publik, katalisator pergerakan massa, dan pembentukan komunitas yang menginginkan perubahan, disatukan oleh kemarahan yang sama terhadap rezim Hosni Mubarak. Pada saat itu, medsos memperlihatkan kekuatan lebih unggul dibanding media konvensional, seperti TV, radio, media cetak.
Gerakan massa ini disatukan oleh seorang warga Mesir bernama Wael Ghonim yang membuat akun Facebook dengan nama “We are all Khaled Said” pada Juni 2010. Tujuan akun tersebut adalah mengecam pembunuhan Khaled Said, pemuda yang dipukuli polisi Mesir hingga tewas. Dampak yang ditimbulkan akun ini ternyata luar biasa, karena akhirnya menjadi trigger pergolakan politik menentang rezim Mubarak.
Kekuatan revolusi di abad 21 yang dicapai melalui medsos, bukan hanya di Mesir. Sejarah mencatat, sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia, Libya, Bahrain, Suriah, Yaman, Aljazair, Irak, Jordania, Maroko, dan Oman, atau yang dikenal dengan istilah “Arab Spring” (Pemberontakan Arab). Medsos diyakini sebagai alat pergerakan untuk melakukan koordinasi, komunikasi, dan peningkatan kesadaran masyarakat Arab.
“Kami menemukan bukti kalau medsos telah membawa kebebasan dan demokrasi di Afrika utara serta Timur Tengah, juga membantu keberhasilan pemberontakan politik,” kata Philip Howard, profesor bidang komunikasi di Universitas Washington, AS. “Pendukung demokrasi membangun jaringan sosial yang luas dan terorganisasi. Medsos menjadi bagian penting sarana bagi kebebasan yang lebih besar,” tulisnya dalam, “New Study Quantifies Use of Social Media in Arab Spring”, 12 September 2011.
Di Indonesia, gerakan massa yang terpicu oleh medsos juga mewarnai Pilkada DKI Jakarta, yaitu ketika Buni Yani mengunggah cuplikan video pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selaku Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu. Dalam video itu, Ahok menyitir surat Al Maidah ayat 51. Video ini menjadi viral dan berhasil menyedot ribuan peserta Aksi Bela Islam turun ke jalan menuntut proses hukum Ahok. Gerakan masif itu juga didorong sikap MUI yang menyebut Ahok menistakan agama.
Video yang ia beri judul “Penistaan Terhadap Agama?” ini, menimbulkan desakan publik dan ketegangan politik yang cukup besar di ibukota, bahkan pemerintah pun harus turun tangan. Kekuatan massa yang dipicu oleh sebuah video ini, terbukti ampuh dalam menjatuhkan Ahok yang ikut maju dalam bursa pencalonan Gubernur DKI periode selanjutnya, ia tak hanya ditetapkan sebagai tersangka penista agama, tapi juga kehilangan kesempatan untuk menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta kembali.
A must-read, from @Ghonim, if you are interested in the role of social media in the global problems of democracy: https://t.co/RNwD8vx3kN
— Jonathan Haidt (@JonHaidt) October 29, 2016
Ancaman Kebencian dan Hoax
“Hanya jurnalis dan media yang mandiri, berkarakter, obyektif, dan memiliki penilaian baik saja yang dapat menghalau badai besar dari dunia baru yang dapat mengancam kebebasan informasi di mana saja.” ~ Guilermo Cano Isaza
Ucapan ini adalah prinsip Isaza, wartawan Kolumbia yang dibunuh pada 1986 saat menjalankan tugas. Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO mengulangnya kembali saat memberikan sambutan pembukaan WPFD dan jamuan makan malam penghargaan Guillermo Cano World Press Freedom Day 2017 di Jakarta, Rabu (3/5). Ia mengatakan, ancaman kebebasan informasi dapat diatasi jika wartawan dan media berpegang pada independensi, jati diri, obyektivitas, dan keputusan yang tepat.
Pers dan media menghadapi tantangan terbesar dalam sejarah. Berita palsu, bohong, dan ujaran kebencian memborbardir di ruang publik. Mencemari kebebasan informasi dan berekspresi. Solusinya kembali pada jati diri wartawan dan media yang berpegang pada obyektivitas, karakter, penilaian yang baik, dan independensi. “Wartawan sudah mendapat kebebasan di dunia dan di Indonesia. Namun kebebasan juga ada tanggung jawabnya,” kata Jokowi, mengingatkan insan pers agar tidak terjebak berita bohong.
Bahkan Wael Ghonim pun akhirnya kecewa. Pelopor demonstran Mesir dan pemimpin Google Mesir ini mengaku prihatin, karena medsos yang awalnya dipergunakan sebagai pembawa kekuatan rakyat telah berubah menjadi alat penyebar kebencian, provokasi, adu domba, dan berita bohong. Berbagai pihak menuntut Zuckerberg untuk bertanggung jawab atas maraknya berita palsu yang menguntungkan kandidat pengecer nasionalisme dan sensasionalisme vulgar di media sosialnya.
Dari data yang diperoleh perusahaan pemantau jejaring sosial, Buzzsumo, klaim ini memiliki dasar. Dari 16 juta respons yang diperoleh 20 berita teratas perihal pemilu di Facebook, 8,7 juta respons tertuju pada berita palsu seperti “Paus Francis Mendukung Trump” atau “Hillary Terungkap Wikileaks Menjual Senjata ke ISIS”. Sebagian besar berita itu melejitkan citra Trump dan mencederai citra Hillary. Apakah situasi semacam ini pernah terjadi di Pilkada DKI lalu? Tentu saja ada.
Dalam salah satu sesi dengar pendapat di WPFD tersebut, Imam Wahyudi, jurnalis dan anggota Dewan Pers Indonesia mengatakan, berita palsu menemukan dimensi baru dalam ajang Pilkada lalu. Hoax memasuki dimensi politik yang kemudian berdampak sangat serius, bukan saja mengancam eksistensi pers atau media sebagai pilar keempat demokrasi, tapi juga mengancam persatuan bangsa dan negara.
Begitu besarnya ancaman tersebut, para perwakilan dari 105 negara dalam WPFD ini berkeinginan kuat untuk bersama-sama memerangi berita palsu. Ini adalah kerja mulia untuk melindungi masyarakat dunia. Berita palsu wajib diperangi karena meniadakan pikiran kritis dan menganggap hanya berita tersebut yang paling benar. Hal yang mengancam demokrasi dan masyarakat dunia.
Menurut para delegasi ini, kebebasan berpendapat harus tetap dijunjung. Namun kebebasan berpendapat tidak bisa diartikan dengan cara menyuarakan kebencian, penghinaan, dan tuduhan. Berkembang biaknya berita palsu justru melukai kebebasan berpendapat, karena masyarakat dijauhkan dari kebenaran sehingga bisa salah dalam mengambil keputusan. Semoga keinginan ini bukan hanya sekedar wacana semata. Berikan pendapatmu.
(Berbagai sumber/R24)