Gofar Hilman terseret namanya di publik akibat pengungkapan salah satu pengguna akun Twitter atas kekerasan seksual yang dilakukan oleh Gofar atas dirinya. Sosial media yang menjadi tempat bercerita korban kekerasan seksual menjadi fenomena tersendiri. Apakah ini menjadi bukti ketidakpercayaan publik pada hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual?
Gofar Hilman tengah menjadi pembicaraan publik akibat kasus pelecehan seksual yang terjadi beberapa tahun lalu. Gofar sendiri merupakan seorang entertain, dirinya adalah penyiar radio, presenter, YouTuber dan pengusaha.
Salah satu pemilik akun Twitter membuat utas yang menjelaskan kronologis atas kekerasan seksual yang dialaminya. Mundur ke tahun 2018, Gofar menjadi bintang tamu pada salah satu acara di Malang. Sang pemilik akun yang waktu itu berada di depan panggung tiba-tiba dipeluk oleh Gofar dan disentuh bagian tubuh yang sensitif sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman. Melihat kejadian itu, beberapa penonton yang hadir sontak mendukung aksi Gofar.
Utas ini membuat respons yang berbeda-beda di publik. Banyak yang mendukung korban karena telah berani bersuara. Melalui cuitannya, selebriti Arie Kriting memberikan dukungan dan berpihak pada korban.
Di sisi lain, masih banyak warganet yang tidak berpihak pada korban, misalnya Nikita Mirzani yang mengaku menjadi salah satu teman dekat Gofar. Nikita berspekulasi bahwa korban memang menginginkan Gofar bertindak demikian.
Sosial media yang menjadi tempat menampung cerita korban kekerasan seksual menjadi suatu fenomena tersendiri. Fenomena ini dipicu oleh gerakan #MeToo di Twitter di mana banyak korban yang menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya di media sosial. Gerakan yang bermula di Amerika Serikat tersebut menjadi gerakan global.
Lantas mengapa fenomena pengungkapan kasus kekerasan seksual di media sosial terjadi? Apakah ini menjadi tanda ketidakpercayaan publik kepada negara dalam menuntaskan kasus kekerasan seksual?
Hukum dan Patriarki
Michel Foucault dalam bukunya The History of Sexuality menjelaskan seksualitas adalah konstruksi sosial yang mengatur bodily functions yang tak lepas dari gender dan persoalan relasi kuasa. Seksualitas berhubungan dengan nilai, norma dan etika yang menentukan batas kenormalan dalam perilaku seksualitas yang menjadi pengetahuan masyarakat.
Foucault mengatakan bahwa ada relasi antara kekuasaan dan pengetahuan. Konstruksi sosial atas seksualitas yang dibakukan menjadi pengetahuan masyarakat berdampak pada perolehan kekuasaan. Dengan kekuasaan tersebut maka publik dapat mengatur kehidupan seksualitas seseorang sesuai dengan batas kenormalan yang ditetapkan masyarakat.
Pemahaman kekuasaan dan pengetahuan Foucault berhubungan dengan budaya patriarki, di mana posisi laki-laki berada di atas perempuan akibat ketimpangan relasi kuasa pada gender. Budaya patriarki menjadi pengetahuan masyarakat sehingga masyarakat memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan seksualitas perempuan.
Budaya patriarki mengakibatkan sikap ketidakberpihakan pada perempuan sebagai korban dalam kasus kekerasan seksual, di mana pengalaman perempuan tidak divalidasi dan pendapat laki-laki cenderung lebih didengar.
Perempuan sebagai sosok yang dianggap suci dan bersih diekspektasikan untuk menjaga dirinya agar tetap masuk pada imej “perempuan baik” sebagai imej ideal. Ketika perempuan mengalami pelecehan, sering kali korban dipersalahkan karena dianggap tidak menjaga diri atau “mengundang” untuk dilecehkan.
Persepsi ini sering mengakibatkan reviktimisasi pada korban karena korban dinilai bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang dialaminya. Pakaian perempuan dan jam malam sering menjadi bahan reviktimisasi sehingga muncul narasi, seperti “diperkosa karena pakaian minim” dan sebagainya.
Danielle Cusmano dalam tulisannya Rape Culture Rooted in Patriarchy, Media Portarayal, and Victim Blaming mengutip Buchwald dalam menjelaskan rape culture. Rape culture merupakan kepercayaan yang mendorong agresi seksual laki-laki dan mendukung kekerasan terhadap perempuan. Normalisasi kekerasan seksual ini berkontribusi dalam menentukan perspektif masyarakat dalam merespons kekerasan seksual yang dipengaruhi oleh budaya patriarki.
Rape culture dapat menjelaskan bahwa normalisasi kekerasan seksual yang berkontribusi pada tingginya angka kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan mencatat sejak 2008, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 451 persen dan 93 persen tidak melaporkan kejahatan tersebut.
Baca Juga: Pemerkosaan dalam Cengkeraman Negara Laki-Laki
Rendahnya pelaporan kekerasan seksual menjadi bukti korban enggan untuk membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Hal ini dipengaruhi oleh ketakutan mendapatkan stigma negatif dan pengalamannya yang dianggap sebagai aib.
Danika Nurkalista selaku Koordinator layanan psikologis di Yayasan Pulih mengatakan perempuan yang melapor mengalami dampak negatif, seperti reviktimisasi, kecenderungan lingkungan yang membela pelaku, stigma negatif, persekusi, dan pemberitaan media yang mengeksploitasi cerita korban.
Selain itu, budaya patriarki masih kental pada sistem hukum Indonesia sehingga jalur hukum tidak dilihat sebagai proses memperoleh keadilan. Media sosial menjadi cara baru bagi korban untuk memperoleh keadilan dan memberikan pelaku hukuman sosial sebagai hukuman alternatif.
Tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia melatarbelakangi pernyataan Komnas Perempuan yang mengatakan Indonesia darurat kekerasan sosial. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mendeklarasikan darurat kekerasan seksual di Indonesia sejak 2016, namun hingga kini, hukum belum menjadi jalan untuk memperoleh keadilan bagi korban.
Polisi dinilai masih kerap tak melindungi korban dan seringkali berpihak pada pelaku. Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referandum mengatakan dalam melakukan proses hukum, polisi masih belum memiliki perspektif korban.
Pada beberapa kasus yang ia tangani, polisi melakukan reviktimasi dan meminta korban mencari alat bukti, di mana hal ini seharusnya menjadi tugas polisi. Pada kasus lainnya, polisi meminta korban melakukan hal yang tidak pantas dalam pelaporan, seperti meminta korban melakukan reka ulang kejadian pelecehan saat proses penyelidikan.
Proses hukum yang tidak berpihak pada korban memberikan trauma ganda kepada korban kekerasan seksual. Hal ini yang mengakibatkan banyak kasus yang menguap.
Budaya patriarki juga mempengaruhi perundang-undangan yang tak berperspektif korban. Secara yuridis, Indonesia memiliki tiga UU terkait penghapusan kekerasan seksual antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun, KUHP memiliki keterbatasan definisi kekerasan seksual yang tak bisa menaungi 15 definisi kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan. Kekosongan hukum ini mengakibatkan tidak ada landasan normatif bagi penegak hukum untuk menindaklanjuti jenis tindak pidana yang dialami korban dan membuka ruang bagi pelaku untuk bebas.
Peraturan saat ini kurang fokus pada pemenuhan hak dan pemulihan korban. Pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono mengatakan peraturan masih berorientasi pada hak tersangka daripada hak korban, seperti layanan kesehatan, konseling, dan sebagainya.
Jika ditimbang dari segi keuntungan dan kerugiannya, proses hukum memberikan lebih banyak kerugian kepada korban dalam memproses kasus kekerasan seksual. Hukum belum bisa menjadi jalan memperoleh keadilan karena ketiadaan sistem hukum yang berspektif korban dan pemulihan korban.
Logos Spermatikos?
Dalam masyarakat patriarki, hak-hak perempuan sulit untuk dipenuhi karena kebenaran terletak pada logika laki-laki. Hal ini disebut dengan logos spermatikos, di mana moral ditentukan oleh apa yang baik menurut laki-laki.
Tubuh perempuan diatur oleh logika laki-laki sehingga perempuan terjebak dengan pengendalian narasi yang ditentukan oleh laki-laki. Misalnya “kesucian” perempuan menentukan apakah perempuan tersebut berharga atau tidak. Jika dikaitkan dengan pemahaman Foucault, logika laki-laki menjadi pengetahuan masyarakat sehingga laki-laki memiliki kekuasaan untuk mengontrol tubuh perempuan.
Lembaga legislatif yang masih didominasi oleh laki-laki membentuk produk hukum berdasarkan refleksi dari pengalaman laki-laki. Hal ini menjelaskan sistem hukum Indonesia yang masih tidak ramah gender dan tidak berpihak pada perempuan.
Logos spermatikos menjelaskan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) tidak kunjung disahkan. RUU P-KS yang disebutkan menjadi payung hukum atas permasalahan kasus kekerasan seksual tersandung prosesnya akibat narasi dari kelompok konservatif di legislatif.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU P-KS menilai produk hukum tak sesuai dengan norma ketimuran dan mengesampingkan nilai-nilai agama. Disebutkan bahwa RUU ini mendukung perzinaan dan LGBTQ+.
Baca Juga: RUU PKS yang Dipandang Sebelah Mata
Penanganan kasus yang menggunakan logika laki-laki akan sulit memberikan keadilan kepada korban karena pengalaman korban tidak dianggap valid. Penyelesaian kasus kekerasan seksual akan terus memberikan beban ganda pada korban karena solusi ditentukan oleh refleksi laki-laki.
Hal ini dapat kita lihat pada kasus anggota DPRD Bekasi yang memperkosa anak di bawah umur pada Mei lalu. Pernikahan yang ditawarkan menjadi solusi menjadi bentuk logos spermatikos. Pernikahan sering kali dianggap menjadi solusi kasus pemerkosaan karena perempuan tersebut sudah “tidak suci” dan seharusnya dinikahkan oleh orang yang bersetubuh dengannya.
Selama budaya patriarki masih kental di norma dan nilai masyarakat, maka hak perempuan akan sulit dipenuhi, terutama di ranah hukum. Logos spermatikos dalam penanganan kasus kekerasan seksual membuat hukum tidak menjadi jalur korban untuk memperoleh keadilan. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.