HomeNalar PolitikMedia Sosial, Jokowi Lampaui Trump?

Media Sosial, Jokowi Lampaui Trump?

Langkah Twitter untuk membekukan akun media sosial (medsos) milik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi diskursus yang tengah diperdebatkan publik negeri Paman Sam. Sejumlah pihak menilai langkah ini membahayakan posisi politik negara terhadap dominasi platform medsos. Apakah gejala serupa akan terjadi di Indonesia?


PinterPolitik.com

Keputusan platform media sosial Twitter untuk menutup akun Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump masih menjadi pusat pemberitaan global dalam beberapa waktu terakhir. Bagaimana tidak? Trump memang merupakan politikus yang lekat dengan twit-twit kontroversialnya. 

Tak hanya Twitter, langkah yang sama juga diambil platform media sosial lainnya. Facebook dan YouTube juga memutuskan untuk membekukan akun Trump pasca penyerbuan Capitol Hill di Washington D.C. belum lama ini. 

Keputusan Twitter tersebut ditanggapi beragam oleh publik AS dan dunia. Sebagian aktivis dan mayoritas pendukung Partai Demokrat menyambut baik keputusan tersebut karena menilai propaganda yang dilakukan Trump di sosial media berbahaya. Sebaliknya, tak sedikit juga yang menilai para big tech company telah melakukan sensor dan membahayakan kebebasan berpendapat. 

Tak pelak, fenomena ini pun memicu kekhawatiran politikus-politikus dunia mengenai besarnya pengaruh yang dimiliki platform media sosial. Komisaris Uni Eropa untuk pasar internal, Thierry Breton misalnya mengatakan bahwa langkah raksasa teknologi yang dapat membekukan akun Presiden AS tanpa adanya checks and balances merupakan hal yang membingungkan. 

Menurutnya hal Ini tidak hanya menegaskan kekuatan platform, tetapi juga menunjukkan betapa lemahnya posisi masyarakat di ruang digital. 

Kanselir Jerman Angela Merkel pun menilai, pemblokiran akun media sosial Trump bermasalah. Ia menyebut kebebasan berpendapat merupakan hal yang fundamental dan hanya dapat dibatasi oleh mekanisme hukum, bukan semata keputusan manajemen platform media sosial. 

Menariknya, besarnya kekuatan platform media sosial ini diamini oleh Jack Dorsey, CEO Twitter. Ia tak menampik bahwa pemblokiran ini memberikan preseden yang cukup berbahaya, yakni kekuatan individu atau perusahaan atas percakapan publik secara global. 

Menyikapi hal ini, haruskah publik Indonesia juga ikut khawatir bahwa pengaruh media sosial ke depannya akan dapat melampaui pengaruh politik pemimpin negara sebagaimana telah menimpa Trump? 

Kingmaker atau Kingkiller?

Tak hanya dimanfaatkan sebagai media komunikasi dan propaganda politik, signifikansi kekuatan media sosial nyatanya juga bisa menjadi alat yang berperan penting dalam terpilihnya seorang pemimpin negara. 

Sebuah editorial yang diterbitkan Irish Examiner yang berjudul Social Media a New Kind of Kingmaker mengatakan bahwa dulu sebelum era perkembangan media sosial, News Corp, konglomerasi media milik Rupert Murdoch yang membawahi The Sun di Inggris dan Fox News di AS kerap menepuk dada ketika calon-calon atau partai yang mereka dukung menang dalam pemilu. 

Trump, John Major dan Brexit adalah tiga dari sekian banyak ‘produk’ politik di mana Rupert Murdoch dan jaringan medianya memegang peran cukup besar dalam kejayaannya. 

Akan tetapi seiring dengan naiknya popularitas media sosial, pamor Murdoch sebagai kingmaker politik mulai memudar. Meski kerap didekati para politisi—termasuk Trump—mereka menilai Murdoch dan platform beritanya sudah semakin tidak menarik. 

Irish Examiner menilai kekuatan bos News Corp itu sudah dikalahkan oleh petinggi media sosial yang hingga saat ini sulit ditundukkan oleh lembaga penegakan hukum, regulator, kongres atau bahkan pemerintah seperti Uni Eropa. Pembekuan akun milik Trump menjadi bukti paling nyata bahwa media sosial dan big tech di belakangnya  memang sangat powerful.

Kendati kini berseteru dengan bos-bos big tech company, namun tak dapat dipungkiri Trump sendiri merupakan salah satu politikus yang berhasil memenangkan kekuasaan berkat media sosial. Hal ini diakui sendiri oleh Trump yang mengatakan pada 2017 lalu, bahwa media sosial berperan besar dalam membantunya menjadi penghuni Gedung Putih. 

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Dipayan Ghosh dalam tulisannya yang berjudul Social Media and Politics: Towards Electoral Resilience mengatakan bahwa kemampuan segmentasi audience dan ad-rounding (pembulatan iklan) canggih yang ditawarkan oleh platform media sosial memungkinkan tim kampanye Trump mendesain konten-konten ‘menohok’ yang langsung menjangkau audience yang dibidik.

Berangkat dari pengalaman Trump ini, maka dapat dikatakan platform media sosial sejatinya dapat berfungsi sebagai kingmaker maupun kingkiller. Artinya, selain dapat dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan, di saat yang sama media sosial juga dapat menggerus pengaruh penguasa.

Lantas bagaimana dengan Indonesia, sudahkah pengaruh media sosial mampu melahirkan atau bahkan ‘membunuh’ pamor penguasa?

Masih Bisa Dibendung?

Dalam konteks Indonesia, pengaruh media sosial dalam dinamika politik sebenarnya mulai terasa sejak Pemilu 2014 lalu. Sejak laga pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) melawan mantan pesaingnya Prabowo Subianto, keduanya sudah menjadikan media sosial sebagai arena pertarungan memperebutkan simpati publik. 

Tren itu pun berlanjut di pemilu 2019. Rematch antara Jokowi-Prabowo kala itu bahkan sampai menimbulkan perang digital yang ditandai dengan tagar #2019GantiPresiden versus #Jokowi2Periode. 

Hootsuite, sebuah platform yang menyajikan data mengenai internet secara berkala, mencatat bahwa per Januari 2020, jumlah pengguna sosial media aktif di Indonesia bahkan telah mencapai 106 juta pengguna.

Kendati memiliki penetrasi yang cukup tinggi, namun sepertinya pengaruh politik media sosial di Indonesia belum lah sebesar seperti yang ada di AS. Hal ini terbukti lantaran di Indonesia, media sosial nyatanya belum berhasil berperan melahirkan penguasa atau pun menjatuhkannya. 

Untuk membuktikan hal tersebut, kita dapat merujuk pada pengalaman yang menimpa eks politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Faldo Maldini. Pada pemilu 2019 lalu, Ia merupakan salah satu satu Juru Bicara (Jubir) Prabowo-Sandi yang kerap menjadi buah bibir di linimasa media sosial.

Sayangnya, ketenaran Faldo di media sosial nyatanya tak mampu mendongkrak suaranya untuk dapat lolos ke Senayan. Begitu pun ketika Ia berlabuh ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan berambisi mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatra Barat pada Pilkada 2020 lalu. Ia kembali harus menelan pil pahit lantaran gagal nyalon karena tak mendapat dukungan yang cukup dari partai politik lain. 

Sebelum Faldo merapat, PSI sendiri sebenarnya juga telah membuktikan bahwa pengaruh media sosial belum lah cukup kuat untuk menghimpun dukungan elektoral di Indonesia. Partai besutan Grace Natalie tersebut yang memang mengandalkan kampanye lewat platform online itu harus puas dengan perolehan suara yang hanya menyentuh angka 1,89 persen saja di Pemilu 2019. 

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Selanjutnya, meski dalam derajat tertentu media sosial memang efektif menghimpun gerakan-gerakan sosial, namun nyatanya sebagian besar gerakan-gerakan tersebut kandas di tengah jalan sebelum mencapai tujuannya. Demonstrasi penolakan terhadap revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) ataupun aksi menolak pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) adalah contoh nyatanya. 

Jika di AS digital platform mampu berperan sebagai king maker dan king killer, lalu pertanyaannya mengapa hal tersebut tak terjadi di Indonesia?

UU ITE adalah Kunci?

Terbendungnya pengaruh media sosial dalam konteks politik nasional sepertinya sedikit banyak disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya kemampuan pemerintah dalam mengontrol arus informasi di media sosial. Kedua, adanya hubungan yang terjalin baik antara negara dan platform-platform tersebut. 

Pada alasan pertama, kita dapat melihat pembuktian empirisnya pada kasus-kasus penangkapan aktivis-aktivis yang vokal mengkritik negara melalui platform media sosial. Hal ini bisa dilakukan karena pemerintah memiliki senjata pamungkas yang tak dimiliki AS, yakni Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Selain instrumen hukum, konteks hubungan baik antara pemerintah dan platform media sosial juga merupakan faktor yang tak bisa dikesampingkan. Ini setidaknya bisa dibuktikan jika kita kembali pada pengalaman yang menimpa Donald Trump. 

Seperti yang diulas sebelumnya, meski awalnya Trump memanfaatkan media sosial untuk memperoleh kekuasaan, namun pada perkembangannya Ia justru menjadikan platform-platform tersebut sebagai sasaran politiknya. 

Aaron Rupar dalam tulisannya di Vox menyebut bahwa hal ini dilakukan Trump karena Ia menganggap upaya platform media sosial dalam menyeleksi konten-konten yang dinilai mengandung disinformasi, termasuk menandai unggahan-unggahannya sebagai hoaks merupakan serangan pribadi terhadapnya. 

Rupar bahkan menyebut pemerintahan Trump telah menjadikan Departemen Kehakiman sebagai senjata untuk menekan mereka. Alhasil, hubungan Trump dengan platform media sosial semakin memburuk. 

Berbeda dengan pendekatan Trump yang menarget platform media sosial secara langsung, pemerintah Indonesia lebih memilih menarget pengguna dengan UU ITE dan merangkul platform media sosial. Hubungan baik ini setidaknya tercermin dari kerja sama yang dilakukan pemerintahan Jokowi dan platform media sosial Facebook dalam menangkal hoaks dan kabar bohong pada Pemilu 2019 lalu.

Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut, setidaknya dapat disimpulkan bahwa langkah Trump yang menjadikan platform media sosial sebagai musuh bisa dibilang merupakan langkah blunder yang membuatnya berada dalam posisi sulit seperti saat ini. Singkatnya, dengan memperhitungkan besarnya potensi pengaruh politik yang dimiliki, memusuhi platform media sosial merupakan prospek yang sebaiknya tak dilakukan penguasa. 

Pada akhirnya, dalam konteks Indonesia, sepertinya pengaruh politik media sosial belum akan melampaui pengaruh politik negara sebagaimana yang saat ini tengah diributkan di AS. Kendati begitu, sampai kapan kiranya pemerintah akan mampu membendung pengaruh tersebut hanyalah waktu yang sanggup menjawabnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...