HomeNalar PolitikMedia Sosial adalah Pilar Kelima Demokrasi?

Media Sosial adalah Pilar Kelima Demokrasi?

Hadirnya media sosial memungkinkan setiap kalangan menuangkan ekspresi, mengangkat suatu isu, hingga menuntut keadilan. Lantas, dengan cara kerjanya yang mirip dengan media massa atau pers, mungkinkah media sosial akan menjadi “pilar kelima” demokrasi?


PinterPolitik.com

“Social media is the ultimate equalizer. It gives a voice and a platform to anyone willing to engage.” – Amy Jo Martin

Jika bicara demokrasi, tentu tidak dapat dilepaskan dari aspek historisnya di era Yunani Kuno. Dalam buku Origins of Democracy in Ancient Greece, Kurt A. Raaflaub melihat demokrasi modern yang berbasis perwakilan, khususnya di negara besar dan beragam seperti Amerika Serikat (AS), telah menciptakan ketidakpuasan dan memunculkan narasi untuk kembali ke bentuk demokrasi langsung, setidaknya di tingkat lokal.

Pada praktiknya dulu, demokrasi Athena menawarkan kemewahan pertarungan ide dan gagasan secara langsung. Ini membuat aktor-aktor demokrasi benar-benar merasa terlibat dalam percaturan politik. Konteks itu agaknya tidak terjadi saat ini, di mana pertarungan ide dan gagasan hanya terjadi di level elite atau perwakilan.

Terkait masalah itu, Raaflaub melihat perkembangan teknologi komunikasi telah menawarkan diri untuk memenuhi kebutuhan partisipasi langsung tersebut.

Kehadiran media sosial membawa babak baru. Dengan modal gawai, internet, dan akun media sosial, setiap pihak dapat mengakses dan membagikan informasi. Dan yang terpenting, kebebasan bersuara khas demokrasi modern benar-benar terfasilitasi.

Aktivitisme Digital

Dalam perkembangannya, media sosial juga bertransformasi menjadi medium aktivisme. Kita mengenalnya dengan cyber activism, digital activism, atau internet activism. Seperti namanya, itu adalah bentuk aktivisme yang menggunakan internet dan media digital sebagai platform utama untuk mobilisasi massa dan aksi politik.

Marcela Fuentes dalam tulisannya Digital Activism, menjelaskan bahwa pada awalnya para aktivis digital menggunakan internet sebagai media distribusi informasi, mengingat kapasitasnya untuk menjangkau khalayak luas dan melintasi batas-batas negara secara instan.

Bentuknya kemudian berkembang dan semakin variatif seiring dengan perkembangan teknologi yang terjadi. Kehadiran World Wide Web (WWW), misalnya, dimanfaatkan untuk membuat situs protes dan petisi guna memperkuat demonstrasi offline.

Dan sekarang, perkembangan pesat berbagai platform media sosial, seperti Instagram, Twitter, YouTube, dan TikTok melahirkan bentuk baru pengawasan politik. Salah satu contohnya adalah video Bima yang mengkritik infrastruktur di Lampung.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Video itu melahirkan atensi luar biasa berskala nasional. Video pendek itu membuat masyarakat luas menyadari terdapat masalah infrastruktur yang tidak diurus selama bertahun-tahun di Lampung.

Ada pula kasus menarik, di mana media sosial menjadi semacam CCTV bagi pejabat negara yang memamerkan harta kekayaannya. Viralnya konten-konten seperti itu sampai menciptakan aturan agar pejabat negara tidak memamerkan harta di media sosial.

Singkatnya, tidak hanya menjadi tempat mengakses dan berbagi informasi, media sosial telah menjadi tempat untuk mengangkat suatu isu, mengawasi pejabat negara, hingga menuntut keadilan. Untuk yang terakhir, kita akrab dengan istilah “no viral no justice”.

Lantas, dengan perannya yang seperti lembaga pengawas, mungkinkah media sosial menjadi “pilar kelima” demokrasi?

medsos jadi “pilar kelima” demokrasi

Lahirnya “Pilar Kelima”?

Untuk menyimpulkan apakah media sosial dapat menjadi pilar kelima demokrasi, kita harus mengetahui terlebih dahulu kenapa media massa atau pers disebut pilar keempat demokrasi.

Priya Kumari dan Suhas M.P dalam tulisan Is Media the Fourth Pillar of Democracy?, menjelaskan istilah pilar keempat demokrasi pertama kali digunakan oleh sejarawan Skotlandia, Thomas Carlyle pada tahun 1840.

Media massa berperan untuk memberi informasi tentang semua kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Media massa hadir seperti cermin yang memantulkan realitas ke hadapan publik. Media massa juga memiliki kekuatan penekan untuk mendorong penyelidikan kasus dan menuntut keadilan.

Mengutip artikel berjudul The Role of Media in Democracy: A Strategic Approach, terdapat dua peran media massa di demokrasi. Pertama, media massa memberikan akses informasi ke masyarakat, misalnya terkait calon pemimpin atau perwakilan.

Kedua, media massa menjalankan fungsi pengawasan dan pemeriksaan karena memiliki kekuatan penekan. Media massa memberikan informasi tentang kinerja pejabat, khususnya apakah mereka menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Sekarang pertanyaannya, bukankah alasan dan peran-peran itu juga terlihat di media sosial? Bahkan, jika membuat komparasi, media sosial tampaknya lebih menjanjikan. Alasan utamanya adalah akses.

Ya, seperti diketahui, meskipun media massa memiliki peran yang besar, kelemahannya terletak pada akses. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk membuat berita.  

Itu sangat berbeda dengan media sosial yang memiliki sifat real-time dan komunikasi dua arah. Ketika terjadi pungli di suatu lembaga, misalnya, masyarakat tidak perlu menunggu revisi editor, melainkan langsung mengunggahnya di akun media sosial.

Sisi Gelap Media Sosial

Kendati sangat menjanjikan, terdapat satu lubang besar yang membuat ide pilar kelima mendapat tantangan hebat. Berbeda dengan media massa yang memiliki regulasi yang jelas, tidak terdapat regulasi dan kontrol di media sosial. Itu membuat media sosial menjadi sarang ujaran kebencian.

Sisi gelap itu juga disebutkan Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment. Pada tahun 1990-an, berbagai ilmuwan politik (termasuk dirinya) menaruh harapan dan percaya bahwa internet akan menjadi kekuatan penting untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi.

Namun, alih-alih memenuhi harapan sebagai penyebar nilai-nilai demokrasi, Fukuyama melihat media sosial justru bertransformasi menjadi wadah “politik kebencian”. Tidak hanya menghapus batas-batas kesopanan, media sosial juga telah menjadi preseden atas menguatnya politik identitas.

Kendati demikian, sekiranya tidak adil jika menitikberatkan media sosial pada dampak negatifnya. Kita harus melihatnya seperti pisau. Di satu sisi pisau dapat “menjaga kehidupan” ketika digunakan untuk memasak. Di sisi lain pisau dapat “menghilangkan kehidupan” ketika digunakan untuk membunuh.

Demikian pula dengan media sosial. Memang ada sisi-sisi gelap seperti buzzer politik, ujaran kebencian, dan seterusnya. Namun, terdapat sisi-sisi terang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sekali lagi, ini tergantung bagaimana media sosial digunakan. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...