Site icon PinterPolitik.com

Media Haram Menularkan Teror?

media perang

Ilustrasi jurnalis peperangan. (Foto: Bonn Institute)

Respons cepat Kapolda Jawa Tengah (Jateng) Irjen Pol. Ahmad Luthfi menyanggah ledakan Sukoharjo merupakan aksi teror kiranya menguak betapa krusialnya peran media massa dalam mencegah aksi lanjutan yang tidak diinginkan siapapun. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Apresiasi patut diberikan kepada Polri saat bergerak cepat mengonfirmasi ledakan di Sukoharjo yang terjadi pada Ahad pekan lalu bukanlah aksi terorisme. Jika terjadi keterlambatan momentum dalam mengantisipasi pemberitaan media, hal yang berbeda mungkin saja terjadi.

Ya, sebuah ledakan terjadi di asrama polisi di Jalan Srikandi, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng), pada 25 September 2022 lalu.

Bripka Dirgantara Pradipta Sukoco menjadi korban dalam ledakan yang ternyata merupakan kelalaian tersebut. Hingga kini, dirinya masih menjalani perawatan intensif di RSUD Dr Moewardi Solo lantaran luka berat yang dialaminya.

Menariknya, Polri melalui Kapolda Jateng Irjen Pol. Ahmad Luthfi bersama jajarannya langsung bergerak cepat menyelidiki kejadian tersebut. Di malam yang sama dan bukan menggunakan pakaian dinas, Irjen Luthfi menegaskan bahwa itu bukan teror yang ditujukan kepada Korps Bhayangkara.

“Saya harapkan tidak usah resah, memang benar ledakan itu bukan bom dan teror. Situasi TKP saat ini sudah normal kembali, proses identifikasi Inafis maupun Labfor sudah selesai dan tidak ada kejadian yang menonjol di wilayah Sukoharjo, termasuk masyarakat sekitar sudah melaksanakan aktivitas seperti biasa,” begitu penjelasan Irjen Luthfi di depan awak media.

Memang, pemberitaan di menit-menit awal setelah kabar ledakan beredar cenderung spekulatif. Bahkan, ada sejumlah media yang memberikan hipotesis prematur dan mengaitkannya kepada serangan terorisme.

Selain itu, peristiwa yang terjadi di tengah-tengah berbagai isu nasional yang berkelindan membuat peristiwa tersebut tidak sedikit yang tampaknya dibingkai secara kurang tepat di lini warta, terutama media massa elektronik.

Dengan tingkat penyebaran kabar yang begitu cepat serta sangat dinamis, nyatanya peredaran kabar yang belum terkonfirmasi secara resmi dari aparat berwenang memiliki potensi malapetaka yang kerap terabaikan. Mengapa demikian?

Tertular Berita Prematur?

Di permukaan, beredarnya kabar simpang siur atas peristiwa terorisme secara umum kiranya perlu dikritisi lebih dalam. Hal ini tak lain berangkat dari peran media massa secara spesifik dalam sebuah kasus teror.

Jessica White dalam Terrorism and the Mass Media Circle menjabarkan bahwa pembingkaian teror menjadi aksi yang menyedot perhatian luas kiranya perlu disikapi dengan bijak.

Itu dikarenakan, media dapat memberikan efek menular dalam sebuah aksi teror. Dalam publikasinya, White menyebutkan dua teori untuk menegaskan kecenderungan itu, yakni social contagion theory dan mimetic theory.

Secara definisi sederhana, kedua teori hampir memiliki kemiripan, yaitu dengan menjelaskan bahwa berita-berita awal sejak sebuah peristiwa yang masih diduga sebagai aksi terorisme dapat memantik aksi teror di tempat lain.

White menyebutkan empat kata kunci mengenai dahsyatnya efek pemberitaan media, yakni mendorong (encourage), menginspirasi (inspiring), publisitas (publicity), dan pengakuan (recognition) dari sebuah aksi teror.

Bagaimanapun, esensi berita yang aktual memang tidak bisa ditawar dalam koridor jurnalisme. Akan tetapi, jika mempertimbangkannya secara komprehensif dan mendalam, siapapun agaknya sepakat bahwa khusus pemberitaan mengenai dugaan aksi teror oleh media tampaknya perlu ditinjau ulang.

Dalam pisau bedah social contagion theory dan mimetic theory, ketika satu berita mengenai aksi teror – baik yang terkonfirmasi ataupun belum – berpotensi diterjemahkan sebagai kode aksi oleh sel teror atau individu lain yang selama ini “tertidur”.

Jika itu terjadi, akibatnya tentu fatal. Efek “teror kedua” bisa saja secara langsung berdampak kepada orang-orang tidak bersalah, tanpa terkecuali, di tempat lain.

Misalnya yang terjadi pada kasus-kasus teror sebelumnya yang dipengaruhi oleh “penularan”, seperti kasus teror bom Makassar dan Mabes Polri pada awal tahun 2021 lalu.

Oleh karena itu, respons Polri kiranya cukup tepat dalam mengonfirmasi sesegera mungkin ledakan di Sukoharjo sebagai kelalaian dan bukan aksi teror mengingat efek pemberitaan media massa saat ini sebagaimana dijelaskan White di atas.

Terkait persoalan momentum, langkah cepat Irjen Pol. Luthfi kiranya juga selaras dengan teori aplikatif dari social contagion theory, yakni contagion theory of terrorism. Mirip dengan case di media yang perlu dikritisi dan dibenahi, secara spesifik aksi teror memang sangat mungkin “menular”.

Dalam publikasi berjudul Revisiting the Contagion Hypothesis: Terrorism, News Coverage, and Copycat Attacks, Brigitte L. Nacos juga menyebutkan istilah contagion atau penularan mengacu pada bentuk peniruan kejahatan (copycat crime).

Individu dan kelompok akan meniru bentuk kekerasan yang menarik bagi mereka berdasarkan contoh atau peristiwa yang disaksikan di media massa. Sekali lagi, media massa menjadi aktor vital yang juga disinggung Nacos.

Pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, misalnya, teroris Palestina melancarkan sejumlah pembajakan pesawat komersial.

Saat itu, pembajakan yang sengaja dilakukan secara berkepanjangan agar mendapatkan liputan besar-besaran dari media untuk menyuarakan pesan-pesan politik pelaku teror. Nacos menjelaskan hal itu telah menginspirasi kelompok lain untuk mengikuti langkah mereka.

Lantas, benarkah penularan itu terjadi? Seberapa besar bahaya konkret yang ditimbulkan?

Masalah Galton?

Meskipun cukup menjelaskan, teori contagion masih mendapat kritik. Salah satunya datang dari Robert G. Picard dalam tulisannya News Coverage as the Contagion of Terrorism: Dangerous Charges Backed by Dubious Science.

Picard membantah adanya relasi kausal antara tindakan terorisme dengan pemberitaan media massa.

Dalam analisisnya, serangan teror bukan sesuatu yang dapat dilakukan hanya berdasar pada inspirasi pemberitaan. Menurut Picard, sebuah serangan teror membutuhkan proses, mulai dari perencanaan, pengumpulan dana, perakitan bom, ataupun penentuan target.

Dengan demikian, serangan teror yang mirip atau yang terjadi dalam waktu yang berdekatan bisa saja merupakan dua serangan yang memang telah disiapkan sebelumnya, namun memiliki momentum yang berbeda.

Eric Neumayer dan Thomas Plümper dalam Galton’s Problem and Contagion in International Terrorism along Civilizational Lines menyebut benturan telaah itu sebagai Galton’problem.

Jika dirunut melalui contagion theory, serangan teror kedua diinspirasi oleh serangan teror pertama. Akan tetapi, muncul satu pertanyaan, yakni bagaimana apabila kedua serangan dipicu oleh penyebab yang sama?

Itulah yang disebut dengan Galton’s problem.

Akan tetapi, substansi persoalan pemberitaan, terutama dengan narasi prematur yang dilebihkan kiranya tetap harus dikritisi dan diperbaiki oleh media massa.

Dalam ledakan bom Makassar lalu muncul serangan di Mabes Polri, misalnya, Kapolri Listyo Sigit Prabowo menyebut aksi dilakukan oleh pelaku lone wolf atau bergerak secara mandiri.

Dari keterangan yang tentu berbasis penyelidikan itu, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan dua aksi teror itu bukan dalam ranah debat Galton’s problem, tetapi contagion theory.

Hipotesis inspirasi serangan kedua yang terjadi berdekatan dengan serangan pertama dan terjadi melalui pemberitaan media kiranya cukup untuk menjelaskan hal tersebut.

Penjelasan itu diperkuat pula oleh analisis pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib.

Dia mengatakan pasca serangan di Mabes Polri ada semacam impresi yang ditinggalkan bahwa wanita saja berani melakukan aksi, dan ini menjadi preseden buruk dari sudut pandang sel lain atau potensi pelaku laki-laki lainnya.

Di akhir telaahnya, Ridlwan mewanti-wanti jika aksi tersebut berpotensi menjadi inspirasi bagi aksi-aksi yang lain.

Akan tetapi, apabila dibatasi pada ledakan bom di Makassar dan penangkapan sejumlah terduga teroris dan penemuan bom selepas aksi tersebut, analisis Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) menguak perspektif yang menjurus kepada Galton’s problem.

“Bisa jadi ini mereka merencanakan gerakan serentak nasional,” begitu dugaan sekaligus warning dari JK.

Namun, sekali lagi, esensi empat kata kunci yang disebut oleh White, yakni mendorong (encourage), menginspirasi (inspiring), publisitas (publicity), dan pengakuan (recognition) kiranya cukup menjadi alarm. Terutama bagi media massa dalam menyajikan maupun membingkai suatu peristiwa.

Meski bukan aksi terorisme, respons sigap Kapolda Jateng Irjen Luthfi tampaknya juga menjadi semacam cerminan betapa pentingnya keterkaitan antara konstruksi narasi pemberitaan media massa – plus momentumnya – dengan upaya pencegahan lanjutan sebuah aksi teror.

Skala apapun aksi terorisme, kemungkinan besar bisa berdampak pada siapapun. Bahkan, bukan subjek utama target dan justru orang terdekat kita.

Oleh karena, itu telaah kritis beserta sampel-sampel di atas yang ditujukan kepada media massa diharapkan dapat menjadi refleksi agar narasi pemberitaan benar-benar terkonfirmasi dan disajikan dengan bijaksana serta proporsional. (J61)

Exit mobile version