Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti menyebutkan bahwa peran dan ketegasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah kunci agar kapal-kapal ikan asing tak masuk lagi ke wilayah laut Indonesia. Benarkah begitu? Bagaimana asumsi ini bila dilihat dari pemikiran John J. Mearsheimer?
PinterPolitik.com
“Only a misguided state would pass up an opportunity to be the hegemon in the system because it thought it already had sufficient power to survive.” – John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (2001)
Keahlian dan kecakapan seseorang dalam suatu bidang memang tak serta merta secara mudah muncul. Agar seseorang pandai dalam bidang tertentu, diperlukan waktu dan jerih payah yang terkadang butuh kesungguhan.
Alexander Graham Bell, misalnya, tak begitu saja menemukan telepon praktis yang akhirnya kini digunakan oleh umat manusia di seluruh penjuru dunia. Bell dan keluarganya dikenal telah lama berkecimpung dalam eksperimen dan percobaan yang berhubungan dengan pendengaran dan suara (elokusi).
Penelitian-penelitian inilah yang akhirnya mengantarkan Bell menemukan sebuah gawai telepon praktis pertama. Beliau juga menjadi salah satu pendiri perusahaan telekomunikasi ternama yang masih berdiri hingga kini di Amerika Serikat (AS), yakni AT&T (Alexander Telephone & Telegraph Company).
Mungkin, rasa percaya diri dalam satu bidang yang diakibatkan dari jerih payah dan pengalaman semacam inilah yang akhirnya membuat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti berkomentar terkait masuknya kapal-kapal ikan asing (KIA) di Laut Natuna Utara.
Itulah kenapa dalam acara kemarin saya memohon dr lubuk hati saya yg terdalam kpd Bapak Presiden untk menghentikan semua ini. Sebelum semua kembali seperti sebelum November 2014. 🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) June 13, 2020
Bagaimana tidak? Susi ketika masih menjabat sebagai Menteri KP pada tahun 2014-2019 telah menorehkan sebuah gebrakan yang dikenang publik, yakni kebijakan untuk menenggelamkan KIA yang melakukan illegal fishing di wilayah Indonesia.
Harapnya, penenggelaman itu dapat menjadi upaya deterrence agar para KIA yang melakukan penangkapan ilegal dapat jera dan berhenti melalukan hal serupa. Bahkan, negara tertentu menyatakan ketidaksepakatannya dengan kebijakan Susi.
Kini, setelah tidak menjabat, Susi memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengambil peran yang tegas dalam mencegah masuknya KIA ke wilayah laut tersebut. Bagi mantan Menteri KP tersebut, Jokowi memiliki kekuatan untuk didengar oleh dunia internasional dan negara-negara lain.
Namun, sebenarnya, Jokowi sendiri telah menyatakan sikap tegasnya dalam polemik Laut Natuna Utara. Dalam beberapa insiden, baik pada tahun 2016 dan tahun 2020, sang presiden telah menunjukkan sikap tegasnya dengan berkunjung ke Natuna, Kepulauan Riau.
Namun, insiden masuknya KIA ke wilayah tersebut terus berulang. Bahkan, di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) ini, KIA dari sejumlah negara – seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) – disebut semakin banyak melaut di Laut Natuna Utara.
Tentunya, berulangnya insiden-insiden kapal-kapal Tiongkok ini menyisakan beberapa pertanyaan. Mengapa pernyataan sikap dari Jokowi tak ampuh? Apa yang sebenarnya perlu dilakukan oleh Indonesia?
Tiongkok Haus Kekuatan?
Salah satu alasan yang mungkin membuat berulangnya insiden masuknya kapal ikan Tiongkok di wilayah Laut Natuna Utara adalah tumpang tindihnya klaim historis Tiongkok (nine dash line) dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Meski tidak tumpang tindih dengan wilayah teritorial Indonesia, bisa jadi sengketa berlanjut dengan adanya sumber daya laut yang diperebutkan di ZEE tersebut.
Pertanyaannya pun akhinya berlanjut. Lantas, mengapa Tiongkok bersikeras mempertahankan klaim historisnya yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia tersebut?
Jawabannya mungkin dapat dijelaskan dengan pemikiran John J. Mearsheimer – seorang profesor Hubungan Internasional di University of Chicago. Dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of Great Power Politics, Mearsheimer menjelaskan bahwa negara-negara besar akan terus berupaya untuk meningkatkan kekuatannya (power) di tengah situasi yang tak pasti dalam politik internasional.
Asumsi Mearsheimer ini dikenal sebagai cara pandang neorealis yang ofensif (offensive neorealism). Pada intinya, negara-negara besar tidak akan pernah merasa puas dengan kekuatan yang dimilikinya, seperti apa yang dilakukan Tiongkok saat ini.
Sebagai negara yang dapat menjadi negara potensial pesaing Amerika Serikat (AS), bukan tidak mungkin Tiongkok merasa insecure dengan posisi AS dalam perpolitikan dunia. Bila mengacu pada pemikiran Mearsheimer, AS hingga kini mengisi peran sebagai penjaga malam (night watchman) yang menjaga situasi di berbagai kawasan di dunia.
Tiongkok sebagai hegemon kawasan (regional hegemony) – sebuah konsep yang juga diperkenalkan oleh Mearsheimer – juga harus berhadapan dengan hegemon kawasan lainnya yang lebih disukai oleh AS, yakni Jepang. Alhasil, situasi anarki ini membuat Tiongkok semakin merasa insecure.
Maka dari itu, Tiongkok akhirnya berusaha “menawarkan diri” untuk menjadi hegemon kawasan secara lebih luas. Kawasan yang disebut-sebut menjadi sasarannya adalah Asia Tenggara – di mana Indonesia berada secara geografis.
Mungkin, inilah sebabnya mengapa Tiongkok tak akan tinggal diam meski Jokowi telah menyatakan sikapnya terkait Laut Natuna Utara. Bahkan, bukan tidak mungkin Tiongkok tetap mempertahankan klaim historisnya di Laut China Selatan (LCS) walaupun Indonesia – dan negara-negara Asia Tenggara lainnya – menolak klaim tersebut dengan menekankan pada hukum internasional.
Lantas, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia bila pernyataan sikap tegas seperti biasanya tak mempan terhadap Tiongkok?
Ramalan Prabowo Terwujud?
Boleh jadi, minimnya dampak dari deterrence dan sikap tegas Jokowi terhadap Tiongkok disebabkan oleh citra kekuatan (power prestige) yang dimiliki Indonesia. Pasalnya, meski Indonesia memiliki kekuatan yang dapat diperhitungkan, kapabilitas militer Indonesia juga kecil bila dibandingkan dengan negara-negara lain.
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Prabowo Subianto dalam Debat Pilpres 2019 lalu. Menurut beliau yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), citra Indonesia di luar negeri perlu diikuti dengan kapabilitas militer yang memadai.
Hal ini sejalan dengan penjelasan Yuen Foong Khong dalam tulisannya yang berjudul Power as Prestige in World Politics. Khong menyebutkan bahwa kapabilitas militer merupakan salah satu sumber kekuatan yang penting bagi peningkatan citra di panggung politik internasional.
Khong pun mencontohkan pernyataan salah satu pejabat tinggi Inggris yang menganggap kemampuan militer menjadi salah satu hal yang penting agar dapat “bermain” di tingkat negara-negara besar lainnya, seperti AS, Rusia, dan Tiongkok. Lantas, mampukah Indonesia membangun kapabilitas militernya agar dapat “bermain” dengan negara-negara besar – khususnya Tiongkok?
Kini, Indonesia sebenarnya telah memulai pembangunan kapabilitas militer di bawah Menhan Prabowo. Hal ini terlihat dari bagaimana anggaran untuk Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menjadi salah satu yang tertinggi pada tahun 2020, yakni sekitar Rp 126 triliun. Prabowo sendiri juga sempat menyatakan akan mengerahkan pertahanan di beberapa choke point wilayah Indonesia.
Namun, pemerintah Indonesia mungkin perlu menerapkan beberapa strategi lainnya agar dapat didengar oleh negara-negara besar seperti Tiongkok. Boleh jadi, Indonesia perlu menjalankan cara-cara diplomatis lainnya agar stabilitas keamanan di wilayah LCS dapat terwujud.
Jepang, misalnya, mengandalkan pendekatan yang unik di tengah situasi keamanan yang berubah di Asia Timur pasca-Perang Dingin. Kuniko Ashizawa dalam tulisannya yang berjudul Japan’s Approach Toward Asian Regional Securitysebagai multi-tiered approach.
Dalam pendekatan itu, Jepang dinilai menggunakan peningkatan koordinasi dengan negara-negara Asia Timur lainnya – seperti dengan kerja sama bilateral. Dengan Tiongkok misalnya, Jepang disebut-sebut memiliki interdependensi ekonomi dan politik pada tingkatan tertentu.
Meski mengandalkan pendekatan koordinasi semacam itu, Jepang tetap mengandalkan peran AS yang disebut Marsheimer sebagai offshore balancer – guna menyeimbangi kekuatan hegemon kawasan lainnya, yakni Tiongkok. Hal ini terlihat dari bagaimana Jepang tetap bergantung pada kesepakatan keamanan dan kerja sama, serta pelatihan militer yang dimilikinya dengan AS dan beberapa negara lain.
Apa yang dilakukan Jepang ini bisa saja menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam menghadapi Tiongkok di LCS – khususnya Laut Natuna Utara. Mungkin, Indonesia perlu mempertahankan hubungan diplomatisnya yang baik dengan negara Tirai Bambu tersebut.
Namun, di sisi lain, bukan tidak mungkin Indonesia membutuhkan peran AS untuk menjadi offshore balancer di Asia Tenggara. Peran AS seperti ini mulai terlihat dari rencana Indonesia yang hendak membeli beberapa alat utama sistem pertahanan (alutsista) produksi negara Paman Sam.
Lagi pula, Prabowo sendiri disebut-sebut memiliki kedekatan tertentu dengan AS. Siapa tahu kerja sama Indonesia dan AS secara lebih lanjut dapat terbangun melalui kedekatan tersebut? Mari kita tunggu saja kelanjutannya. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.