Adanya partai kuat yang dominan memang menjanjikan stabilitas, akan tetapi hal ini bukannya tanpa risiko.
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]alam perjalanan politik Indonesia pasca reformasi 1998, Pemilu langsung sudah dihelat empat kali dalam perjalanan. Selama itu, tidak pernah ada satu kali pun partai politik yang berhasil menang secara berturut-turut. Selama periode 1999 hingga 2014, PDIP, Golkar, dan Demokrat bergantian menang dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Tidak hanya itu saja, Pemilu di negeri ini juga tidak pernah menghasilkan pemenang dengan kemenangan yang benar-benar absolut. Sudah lebih dari satu kali pemilihan langsung, tidak ada partai politik yang pernah menang dengan perolehan suara 30 persen ke atas.
Terlihat bahwa di Indonesia tidak ada satu partai kuat yang dominan. Berdasarkan kondisi tersebut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA melakukan survei untuk membahas perlunya ada satu partai yang kuat. Hasilnya, 77,8 persen masyarakat setuju ada partai politik yang kuat agar pemerintahan lebih stabil.
Lantas benarkah negeri ini membutuhkan partai yang benar-benar kuat dan dominan? Adakah keuntungan dan kerugian dari keberadaan partai kuat tersebut? Lalu, partai mana yang bisa menjadi inti dari sistem partai dominan tersebut?
Mencari Stabilitas
Ada beberapa alasan mengapa partai dominan dapat menjadi salah satu opsi yang menarik di negeri ini. Survei LSI sendiri menyebutkan beberapa pandangan publik terkait dengan sistem partai yang didominasi oleh satu partai terkuat ini.
Responden survei tersebut menyebut presiden kuat perlu didukung partai kuat sebagai alasan utama. Setelah itu, survei itu juga menyebut alasan-alasan pendukung lain, yaitu merekatkan keberagaman, memudahkan pengambilan keputusan, hingga mengurangi negosiasi yang tidak perlu.
Secara teori, sistem partai dominan tunggal ini berbeda dengan sistem partai tunggal yang dapat ditemui di negara seperti Tiongkok. Menurut Raymond Suttner, sistem partai dominan adalah suatu kondisi di mana partai politik atau organisasi politik yang telah memenangi Pemilu secara berurutan yang kekalahannya di masa depan tidak bisa dibayangkan atau kemungkinan tidak kalah dalam waktu dekat.
Senada dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden survei LSI Denny JA, Suttner mengungkap alasan khusus yang dalam kadar tertentu dianggap sebagai keuntungan dari sistem partai dominan. Salah satu yang mengemuka adalah perkara stabilitas.
Mengapa diperlukan Gerakan Masyarakat untuk Indonesia Kuat? Justru dalam menyambut Pilpres 2019 pic.twitter.com/0INNsTKchr
— Denny JA (@DennyJA_WORLD) October 5, 2018
Stabilitas menjadi salah satu kunci bagi berjalannya berbagai program pemerintah. Minimnya riak dapat membuat kebijakan pemerintah berjalan lebih maksimal. Dalam kadar tertentu, proses pembangunan dan juga investasi juga lebih mudah melaju di rezim yang lebih stabil.
Meski dianggap memberikan sejumlah manfaat, munculnya satu partai kuat dalam satu negara bukannya tanpa risiko. Masalah korupsi, patronase dan kebijakan buruk yang bertahan lama menjadi beberapa kekurangan dari sistem partai dominan tunggal.
Melalui partai tunggal, korupsi menjadi praktik yang lebih mudah berjalan. Hal ini ditunjukkan misalnya melalui rezim Institutional Revolutionary Party (PRI) di Meksiko. Korupsi begitu terinstitusionalisasi dikarenakan partai yang berkuasa begitu dominan.
Masalah patronase juga dapat muncul berbarengan dengan praktik korupsi. Praktik klientelisme di mana seorang patron memberi jabatan kepada kliennya meski tidak cukup kompeten kerap menjadi risiko dari sistem partai dominan.
Dari segi kebijakan, partai dominan yang terus berkuasa bisa saja melanggengkan kebijakan buruk yang dibuat oleh suatu rezim. Minimnya kekuatan oposisi yang bisa menantang membuat kebijakan tersebut akan berlanjut selama beberapa periode.
Dominan di Negeri Jiran
Ada banyak partai di seluruh dunia yang menikmati manfaat sebagai partai dominan di masing-masing negara. Partai-partai seperti AKP (Turki), ANC (Afrika Selatan), atau United Russia (Rusia) kerap menjadi contoh dari partai kuat yang mendominasi politik di masing-masing negara.
Di luar partai-partai itu, ada satu negara tetangga yang dikuasai oleh satu partai selama lebih dari 50 tahun. Negeri Singapura merupakan salah satu negara yang dianggap memiliki sistem partai dominan di bawah kendali People Action Party (PAP).
Ada beberapa hal yang menyababkan PAP bisa menjadi partai yang sangat kuat di Singapura. Joshua Kurlantzick misalnya menyebutkan bahwa PAP hampir selalu bisa melakukan “serangan” yang tepat terhadap oposisi utama mereka. Mereka dapat mengadaptasi strategi sesuai dari lawan terkuat yang akan dihadapi pada sebuah pemilihan.
Selain itu, PAP juga memiliki tokoh kunci, yaitu Lee Kuan Yew yang membuat dominasi mereka sulit untuk dikandaskan. Sosok Lee Kuan Yew memang memberi warna tersendiri bagi pembangunan ekonomi dan politik negeri singa. Kuatnya sosok Lee mampu menjaga hegemoni PAP selama bertahun-tahun. Bahkan, saat Lee wafat di tahun 2015, Kurlantzick menyebut kematian tersebut mampu membuat PAP mendapatkan 70 persen suara, padahal di tahun itu banyak yang memprediksi PAP akan kalah.
Stabilitas memang penting, tapi perlukah Indonesia punya satu partai dominan? Share on XPAP memang memiliki beberapa kontroversi karena dianggap mengadopsi unsur-unsur otoriter. Meski begitu, banyak masyarakat yang mengakui bahwa selama bertahun-tahun Singapura di bawah kendali PAP, ada banyak kemajuan yang dialami oleh negeri jiran tersebut. Sikap berbau otoriter ini amat terkait dengan stabilitas yang diperlukan bagi pembangunan Singapura.
PAP, terutama di bawah Lee Kuan Yew berhasil menekan angka korupsi ke titik yang rendah. Lingkungan yang minim korupsi ini berhasil menarik perhatian investasi dari seluruh dunia. Apalagi, hal itu dikombinasikan dengan kebijakan ekonomi dan finansial yang amat kuat.
Selama bertahun-tahun berkuasa, meski kerap dianggap sebagai rezim bertangan besi, PAP dan Lee tidak melupakan aspek kesejahteraan masyarakat. Hal ini mereka sadari sebagai salah satu syarat untuk menjaga stabilitas. Kebijakan perumahan dan lapangan kerja mampu membuat masyarakat Singapura jatuh hati kepada mereka, sehingga terus-menerus menjadi kampiun dalam setiap Pemilu.
PDIP Partai Kuat?
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Adakah partai yang bisa disamakan atau setidaknya mendekati PAP di Singapura? Jika hal itu merujuk pada hasil Pemilu di era pasca Orde Baru, sulit untuk menyebut satu partai yang bisa dianggap sejajar dengan PAP.
Hasil survei LSI Denny JA memunculkan nama PDIP sebagai partai yang berpotensi menjadi partai dominan di negeri ini. Sebanyak 37,4 persen responden menyebut bahwa PDIP adalah partai yang paling mungkin menjadi partai kuat menyingkirkan partai-partai lain seperti Golkar, Gerindra, atau Demokrat.
Sebenarnya sulit untuk bisa menyebut bahwa PDIP dapat menjadi partai yang paling kuat di negeri ini. Memang, partai ini dalam beberapa tahun terakhir tengah mendapatkan angin. Akan tetapi, sulit untuk bisa menemukan kesuksesan yang dihadirkan partai kuat lain seperti PAP atau mungkin AKP di Turki dalam diri PDIP.
Selama dua kali PDIP menjadi pemenang Pemilu, sulit untuk menyebut bahwa Indonesia sempat menikmati pembangunan yang serupa dengan Singapura. Tidak ada unsur-unsur kebijakan penting atau strategi khusus serupa PAP, sehingga mereka dapat terpilih terus-menerus selama beberapa periode.
PDIP juga tidak memiliki sosok serupa Lee Kuan Yew yang dapat memberikan lonjakan suara yang signifikan pada setiap Pemilu. Megawati Soekarnoputri boleh jadi sebuah fenomena di era awal reformasi, tetapi pesona sang ketua umum belakangan terus memudar.
Selain itu, sejumlah risiko dalam sistem partai dominan di bawah PDIP juga berpotensi menguat. Secara statistik misalnya, PDIP merupakan salah satu partai dengan jumlah koruptor terbanyak di negeri ini. Berdasarkan kondisi tersebut, risiko dominasi partai digunakan untuk praktik rasuah bisa saja menguat.
Jika merujuk pada definisi yang diungkapkan oleh Suttner, partai kuat merupakan partai yang telah menang berturut-turut dan tidak terbayangkan akan kalah dalam waktu dekat. Dalam konteks PDIP, berdasarkan survei jelang Pemilu 2019, partai ini memang masih teratas. Survei Indikator Politik Indonesia misalnya menempatkan PDIP di urutan pertama dengan perolehan 22,9 persen suara.
Meski demikian, jika menengok pada hasil Pilkada serentak beberapa waktu lalu, PDIP boleh jadi bukanlah partai yang sama sekali tidak bisa kalah seperti partai kuat di negara lain. Berdasarkan kondisi ini, PDIP boleh jadi masih membutuhkan waktu untuk mencapai level partai kuat seperti PAP dan partai-partai lain.
Partai kuat yang dominan memang menjanjikan stabilitas. Akan tetapi, ada sejumlah risiko jika sistem ini berjalan di negeri ini. Secara khusus, PDIP boleh jadi belum mencapai level serupa dengan PAP jika ingin menjadi partai paling utama di negeri ini. Lalu, bagaimana menurutmu, perlukah ada partai kuat di negeri ini? (H33)