Kalau semua partai terlihat sama, bagaimana caranya memilih satu di antara mereka?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]enyaksikan pertentangan antara kubu Demokrat dan Republikan di AS merupakan hal yang menarik. Kedua partai tersebut terlihat berada di kutub yang saling berseberangan dan tampak sangat berbeda. Setidaknya itu yang dirasakan oleh banyak orang Indonesia di wilayah Amerika Utara tersebut.
Mereka berharap mendapatkan kondisi serupa dan berpihak pada satu kubu saat pulang ke tanah air. Sayang, begitu mereka menyalakan layar kaca dan melihat berita di layar telepon, ekspektasi tersebut sirna. Seluruh partai terlihat sama saja tanpa ada beda dalam sikap, apalagi ideologi.
Secara tradisional, kerapkali ada dikotomi antara partai Islam dan partai nasionalis di negeri ini. Akan tetapi, belakangan perbedaan tersebut tidak lagi nampak setidaknya dalam sikap dan kebijakan yang dikeluarkan masing-masing partai.
Kondisi ini jelas membingungkan bagi mereka yang ingin memilih dan berpihak pada partai tertentu. Jika semua tampak sama, mereka sulit menentukan apa yang menjadi dasar mereka dalam memilih. Mengapa hal demikian dapat terjadi di negeri ini?
Mematikan Ideologi
Jika melihat sejarah, pada awalnya masyarakat Indonesia disuguhi pilihan banyak partai politik dengan spektrum ideologi yang berbeda-beda pula. Di masa Indonesia masih sangat muda, semangat zaman memberikan kesempatan bagi ideologi yang berbeda-beda untuk muncul.
Meski begitu, perlahan-lahan pembedaan ideologi tersebut mengalami kemunduran. Secara struktural, ada sebuah langkah pemerintah yang memberi andil dalam tidak berkembangnya politik berbasis ideologi. Langkah tersebut adalah pemberlakuan asas tunggal Pancasila oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1983.
Jika melihat kondisi belakangan, terjadi peyorasi atau pemburukan makna bagi berbagai spektrum ideologi di luar Pancasila. Ada banyak ideologi atau isme yang dikambinghitamkan bagi berbagai hal buruk atau kegagalan yang terjadi di negeri ini. Selain itu, ada pula cap anti-Pancasila bagi partai yang menentang penetapan asas tunggal ideologi tersebut.
Kalo seseorang atau sekelompok org mau bikin partai politik, mrk hrsnya sudah ada FONDASI IDEOLOGI yg solid tentang arah tujuan partai, dan tahu gimana cara memperjuangkannya.
Kalo habis bikin partai baru kursus politik… aduh…
— Daemoen (@Mentimoen) April 6, 2018
Ada banyak narasi yang kerap mengalamatkan kekacauan yang terjadi di Indonesia karena neoliberalisme dan juga kapitalisme. Seringkali pula masyarakat mendengar soal bahaya laten komunisme pasca peristiwa 1965.
Kondisi tersebut membuat banyak partai politik enggan mengidentifikasi diri secara formal, berada di spektrum mana sebenarnya partai tersebut berdiri secara ideologi. Akan lebih aman bagi mereka untuk mendeskripsikan diri sebagai pengusung Pancasila, ketimbang menggunakan ideologi lain.
Memang pernah ada partai berhaluan Islam yang bersikap keras, saat asas tunggal Pancasila akan diberlakukan. Akan tetapi dalam beberapa kesempatan, mereka kerap kalah suara dibandingkan partai-partai lain. Dalam beberapa kasus, partai Islam ini seringkali dicap anti-Pancasila ketika bersikap demikian. Hal ini membuat partai mengalami kesulitan untuk mengekspresikan ideologi mereka.
Rasional atau Pragmatis?
Selain terjadi secara struktural, minimnya perbedaan partai politik juga berasal dari masyarakat dan partai politik itu sendiri. Beberapa peneliti menunjukkan, hampir bisa dikatakan bahwa era ideologi di Indonesia sudah berakhir.
Menurut Saiful Mujani dan William Liddle, faktor sosiologis sudah tidak lagi berpengaruh dalam keterpilihan partai politik di Indonesia. Mereka menggambarkan bahwa faktor-faktor seperti aliran, kewilayahan, dan juga kelas sosial, tidak lagi mempengaruhi partai politik.
Sebagai gantinya, menurut mereka, muncul faktor baru yaitu kepemimpinan atau ketokohan dari figur tertentu. Ada kecenderungan bahwa pemilih mencoblos salah satu logo parpol di surat suara karena sosok pemimpin dari partai tersebut.
Kondisi ini tampak sejalan dengan kemunculan berbagai partai politik di Indonesia. Banyak parpol yang sangat identik dengan tokoh ketua umum atau pendiri mereka. Partai jadi seperti kendaraan politik bagi tokoh-tokoh tersebut untuk mengarungi dunia politik tanah air.
Perilaku pemilih yang menentukan pilihan berdasarkan tokoh sekilas, tampak seperti sesuatu yang rasional. Akan tetapi, jika dilihat di sisi yang lain, perilaku ini dapat pula dikategorikan sebagai sesuatu yang pragmatis. Pemilih memiliki tujuan atau keinginan yang sesuai dengan tokoh yang mereka pilih, dalam jangka pendek. Ideologi bisa saja dipertimbangkan jika hal itu menguntungkan bagi mereka.
Jika melihat kondisi tersebut, hal itu sejalan dengan pragmatisme, sebuah gerakan filsafat yang menekankan bahwa suatu ideologi atau pernyataan, dinyatakan benar jika menguntungkan. Filsuf terkemuka dari gerakan ini, misalnya adalah Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey.
Dalam pandangan Liddle dan Mujani, masyarakat dan juga partai politik lebih banyak menekankan bahwa kinerja pemerintahan yang efektif tampak lebih menarik bagi pemilih. Hal ini mematikan politik aliran yang dahulu begitu dominan.
Berdasarkan pandangan tersebut, sangat wajar jika partai politik bersikap lebih banyak untuk mencari kekuasaan terlebih dahulu. Partai berkuasa terlihat lebih untung karena lebih menarik bagi pemilih.
Partai politik tampak menyadari perilaku pemilih di Indonesia tersebut. Mereka kemudian meninggalkan aspek-aspek ideologis dan fokus pada tokoh-tokoh yang disukai masyarakat. Tidak jarang, mereka memilih mendukung figur non-kader yang populer agar kesempatan menang lebih besar.
Perilaku tersebut membuat parpol seperti enggan mengidentifikasikan diri dengan hal-hal berbau ideologis. Yang paling penting bagi mereka, adalah untuk memenuhi pragmatisme masyarakat agar dapat memperoleh suara sebanyak-banyaknya.
Jika mereka akan menggunakan hal-hal yang berbau ideologis, maka sesuai dengan pandangan pragmatisme di atas, mereka akan menggunakan ideologi hanya untuk keuntungan mereka. Hal ini misalnya, nampak dari gencarnya penggunaan identitas Islam oleh berbagai parpol belakangan ini.
Kondisi-kondisi tersebut kemudian berkaitan dengan menurunnya rasa kedekatan terhadap partai politik atau party ID di Indonesia. Saat ini, sangat jarang ada masyarakat di luar kader atau simpatisan yang mengidentifikasikan diri pendukung partai tertentu. Di antara negara-negara demokrasi, Party ID di Indonesia tergolong rendah yaitu hanya dikisaran 12 persen.
Lemahnya Finansial Parpol
Lemahnya identifikasi parpol juga disinyalir memiliki akar dari buruknya kondisi finansial partai di tanah air. Menurut Marcus Mietzner, buruknya kondisi finansial ini merupakan hal yang paling serius dalam dinamika partai politik di negeri ini.
Buruknya sistem pendanaan parpol, membuat mereka lebih rawan terpapar praktik korupsi. Secara spesifik, menurut Mietzner, mereka juga rawan terkena kepentingan oligarki yang ada di negeri ini. Sekelompok orang dengan kemampuan finansial lebih dapat menyetir partai politik, agar sesuai dengan kepentingan mereka.
Pendanaan politik yang buruk itu bukan masalahnya partai politik, tapi masalah kita bersama. Publik kita ini ruwet, mengkritik penggunaan APBN tetapi juga pelit menyumbang.
Akibatnya hulu politik kita yaitu partai-partai, tetap keruh.
— sumantri suwarno (@mantriss) March 4, 2018
Para pengusaha ini sendiri, memang memiliki agenda atau kepentingan tertentu kepada partai politik. Mereka juga memiliki sikap pragmatis dan kemudian menanamkan dananya kepada partai tertentu, untuk kepentingan jangka pendek. Mereka harus mengamankan bisnis mereka, terutama melalui partai berkuasa, setidaknya untuk satu periode.
Hal ini membuat partai politik bersikap pragmatis dan memilih untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka terlebih dahulu. Oleh karena itu, mereka cenderung akan bersikap untuk menyenangkan oligarki, para pengusaha yang menyediakan modal bagi mereka terlebih dahulu.
Sikap partai politik pada akhirnya tidak mencerminkan ideologi atau pandangan politik apapun. Sikap mereka sudah terlebih dahulu “dibeli” oleh para pengusaha yang mendanai mereka. Hal ini membuat sikap dan kebijakan mereka lebih banyak menggambarkan sikap para pengusaha ketimbang isme-isme tertentu.
Mietzner kemudian menyarankan adanya reformasi pendanaan partai, agar mereka tidak tersandera oleh kepentingan oligarki tersebut. Hal ini dapat dikatakan cukup penting, selain melakukan reformasi dalam hal institusi partai. Jika keduanya berjalan beriringan, maka persoalan kebingungan identifikasi partai dapat dipecahkan. (H33)