Site icon PinterPolitik.com

Matinya Gerakan Politik Milenial Indonesia

Matinya Gerakan Politik Milenial

Foto: Istimewa

“As young people connect, communicate, and assert their rights, their cries are less likely to be tearful pleas for charity than defiant marches demanding justice.” – Eglantyne Jebb


Pinterpolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]nak muda sering kali dianggap menjadi faktor penentu bagi penggerak dan pengubah sejarah. Bahkan, anak muda telah terlibat secara mendalam bagi terciptanya gerakan sosial di berbagai belahan dunia. Misalnya, lahirnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Kini, gerakan politik yang diinisiasi oleh anak muda atau milenial seperti mendapat tempat kembali dan menjadi fenomena global.

Mahasiswa di Chile misalnya berhasil mendorong kebijakan kuliah gratis yang dibiayai dari pajak korporasi, karena mereka turun ke jalan-jalan untuk aksi massa dengan tuntutan-tuntutan yang menekan penguasa sejak tahun 2006 melalui apa yang dinamai Penguin Revolution.

Sementara, pada 2015 lalu di Hong Kong, seorang pemuda bernama Nathan Law memimpin pelajar yang berdemonstrasi. Dalam aksi Gerakan Payung yang berlangsung selama 79 hari tersebut, para milenial Hong Kong itu menuntut proses demokrasi dalam penentuan pemimpin untuk wilayah Hong Kong kepada pemerintahan Tiongkok. Ini menyusul keputusan Tiongkok untuk tidak mengabulkan demokrasi penuh di Hong Kong dalam pemilihan umum tahun 2017.

Gerakan yang dilakukan oleh anak-anak muda tersebut tidak main dan mendapatkan perhatian dari dunia. Lalu, bagaimana dengan kelompok milenial di Indonesia saat ini? Apakah mereka juga membentuk gerakan kepemudaan untuk mengaspirasikan suara mereka?

Pentingnya Mengorganisasi Diri

Kontributor untuk The AtlantisDerek Thompson menulis bahwa generasi milenial, memiliki pandangan politik yang liberal, bahkan berpihak di sayap kiri dan menyerempet dengan aliran sosialis. Ini yang kemudian turut juga mendorong sikap mereka untuk lebih terlibat merealisasikan pandangan politiknya.

Kelompok milenial memiliki karakter kreatif, percaya diri, dan terkoneksi. Dengan karkater itu kelompok ini dapat mengorganisasi diri melalui komunitas atau kelompoknya masing-masing. Dengan konektivitas tersebut, mereka membuka ruang untuk menyuarakan aspirasi mereka terkait ketidakadilan yang selama ini ada di depan mata, bahkan yang mereka alami sendiri.

Kita bisa melihat dengan berkembangnya gerakan sosial-politik milenial di berbagai belahan dunia terjadi karena kelompok ini mulai jenuh dengan keadaan, dan lebih jauh lagi karena mereka sudah tidak percaya dengan pemerintahan yang berkuasa.

Kesadaran politik kelompok milenial terbentuk tidak hanya melalui interaksi sosial, namun melalui aktivitas sosial dan aktivitas politik yang terorganisir sesuai dengan tujuan.

Pelajar di India melakukan aksi menolak pernikahan anak (Foto: theirworld.org)

Gerakan milenial juga harus belajar dari perjuangan gerakan pemuda pada masa sebelumnya. Mereka harus bersikap tegas dengan berbagai kajian dan tidak hanya riuh dengan selebrasi politik. Tidak hanya bergerak lewat dunia maya, misalnya dengan gerakan petisi online, akan tetapi juga bergerak dalam aksi nyata. Mahasiswa di Chile contohnya, berhasil mendorong pemerintahnya untuk mengeluarkan kebijakan kuliah gratis.

Di India, Global March Against Labor telah memobilisasi jutaan anak-anak muda untuk berjalan jutaan kilo untuk mengakhiri pekerja anak dan hak-hak untuk mendapatkan pendidikan.

Sementara pada bulan Februari lalu, pelajar di Peru melakukan aksi demonstrasi di Lima untuk menentang apa yang mereka sebut “Youth Slave Law” atau hukum perbudakan anak muda. Saat itu mereka memprotes kebijakan terkait pelajar yang tidak mendapatkan upah alias tidak dibayar saat pemagangan.

Gerakan-gerakan milenial yang cenderung masif tersebut mengambarkan realita dunia hari ini. UN Special Envoy for Global Education, Gordon Brown menyebutnya sebagai mengglobalnya pertarungan untuk kebebasan. Fenomena ini adalah pesan yang kuat  dari anak-anak milenial bahwa mereka akan menagih hak-haknya ketika orang dewasa – baik lingkungan sosial terdekat maupun pemerintah – gagal untuk memenuhinya.

Milenial Indonesia, Mau Ke Mana?

 Dalam waktu 1 tahun ke depan Indonesia akan menggelar Pemilihan Presiden (Pilpres), dan mulai dari sekarang dua kubu sudah mulai melakukan persiapan untuk menjaring suara. Salah satu kelompok yang diperebutkan adalah suara milenial.

Kelompok milenial menjadi sasaran empuk kandidat yang akan bertarung. Siapa bisa menguasai mengamankan suara milenial setidaknya bisa diprediksi akan memenangi Pilpres.

Sebenarnya generasi muda di Indonesia ingin suara mereka didengar. Dan kesempatan yang paling mudah untuk mewujudkannya adalah dengan memberi suara mereka dalam pemilihan umum.

Pemilih milenial merupakan demografi penting di negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara ini. Sejak tahun 2004, jumlah pemilih muda – orang-orang di antara usia 17 dan 30 – telah meningkat dari 18 hingga 30 persen. Saat ini, lebih dari setengah dari 196,5 juta pemilih Indonesia berusia di bawah 35 tahun.

Namun, dengan besarnya angka kelompok milenial di Indonesia, sebenarnya ada hal yang bisa dilakukan oleh kelompok milenial daripada hanya menjadi penyumbang suara pada saat Pemilu.

Pada perayaan ulang tahunnya yang ke-81 di tahun 2006, Pramoedya Ananta Toer mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup menarik: “Mengapa pemuda yang dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak menghasilkan tokoh politik nasional? Padahal pemudalah yang memberikan kepemimpinan dan energi dalam setiap perubahan penting di sepanjang sejarah Indonesia serta tampil menjadi tokoh politik nasional. Mengapa sekarang tidak?”

Tentu pertanyaan itu bisa direnungkan secara mendalam, kenapa akhirnya di Indonesia tidak muncul tokoh-tokoh besar, bahkan nyaris tidak ada gerakan sosial-politik yang dilakukan oleh kelompok milenial hari ini.

Mungkin nihilnya gerakan yang lahir di Indonesia bisa dijelaskan setidaknya dalam dua hal. Pertama adalah adanya hegemoni berupa politik ketakutan yang disebar dengan masih berkuasanya kekuatan politik lama, agar muncul kebutuhan akan solusi berupa rasa aman.

Rasa aman ini membutuhkan aktor pengaman yang seringkali berubah menjadi aktor politik. Hubungan dependensi ini menjadikan politik ketakutan berpeluang diproduksi terus-menerus. Misalnya, hingga sekarang diskursus terbuka tentang PKI masih menjadi hal yang “ditakutkan”.

Kecenderungan tersebut didukung dengan fakta jika kelompok milenial saat ini adalah generasi yang tidak mengalami fase-fase historis besar bangsa secara langsung. Jadi, seperti ada masa yang terputus (unconnected links) antara milenial dan pengenalan peristiwa-peristiwa historis.

Faktor kedua adalah adanya pengaruh industri kapitalisme yang memperkuat perilaku konsumtif. Arus informasi semakin deras, dapat dikatakan seolah tiada batas, dan memberikan dampak yang lebih luas.

Melalui televisi, media cetak, dan terutama internet yang sebelumnya hanya diterima kalangan terbatas, akses terhadap informasi seolah tak terhentikan. Semua lapisan masyarakat dapat memperoleh informasi tentang budaya pop yang sama mengenai makanan, pakaian, musik, atau film.

Kehadiran pusat-pusat perbelanjaan yang tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi hingga ke daerah-daerah pinggiran, semakin mendorong keinginan anak muda secara umum untuk menjadi bagian dari kebudayaan konsumsi tersebut. Kelompok milenial seolah dipaksa tunduk terhadap rezim kapitalisme dengan budaya konsumtif tersebut.

Sebenarnya, Indonesia dalam waktu yang belum lama ini melahirkan sebuah gerakan yang diinisiasi oleh kelompok milenial. Gerakan itu bernama Teman Ahok, gerakan relawan yang mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju sebagai gubernur DKI Jakarta lewat jalur independen.

Kelompok itu bisa dikatakan sebagai arus baru dalam politik praktis di Indonesia yang coba melawan kekuatan politik besar yang selama ini dikuasai elite partai politik. Namun, kehadiran kelompok ini masih belum bisa dirasakan sebagai kekuatan penekan terhadap kekuatan oligarki di Indonesia.

Seperti yang disampaikan oleh peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Donny Ardyanto, bahwa potret gerakan anak-anak muda Teman Ahok ini masih dalam tahap menolak sistem politik Indonesia yang berbau oligarki.

Selain itu, Teman Ahok sudah tidak menunjukkan eksistensinya. Sementara, kelompok-kelompok lain tidak bermunculan, meski kini sudah memasuki tahun-tahun politik.

Sejatinya kelompok anak muda di Indonesia bukan kelompok politik yang terkonsolidasi secara matang atau, dengan kata lain, bukan kelompok yang mengonsolidasikan diri secara sengaja berbasis kesadaran atas preferensi politik tertentu (terutama sebagai gerakan politik baru).

Meminjam istilah sejarawan sekaligus seorang Indonesianis, Benedict Anderson kondisi masyarakat Indonesia – khususnya milenial –  yang mendominasi kelompok kelas menengah perkotaan dengan withdrawal symptoms atau suka untuk berada di zona nyaman. Kelas menengah dan borjuis yang terbiasa dengan stabilitas dan ketenangan ini akhirnya tidak memiliki kuasa atau terlelap dalam kondisi mapan.

Keberagaman preferensi politik dan posisi ideologis ini menjadikan kelompok muda semakin berpeluang terseret menjadi area perebutan dominasi, terutama oleh ideologi yang mapan. Dengan kata lain, kelompok milenial masih berposisi menjadi objek, bukan subjek penentu. Perebutan dominasi itu sejalan dengan karakteristik kelompok milenial yang kaya minat, tetapi samar dalam ideologi (secara sadar dan terkonsolidasi).

Kini, kelompok milenial disebut akan kesulitan, misalnya untuk membeli rumah, karena harga tanah yang semakin mahal di perkotaan. Sistem pasar kerja fleksibel juga menjadi faktor milenial terus berpindah pekerjaan dan berupah pas-pasan. Mau tidak mau kelompok milenial harus berani menyuarakan kepentingannya. Tentu pertanyaannya adalah pilihan kubu politik yang akan dipilih kelompok ini di tahun politik nanti? (A37)

 

 

Exit mobile version